Rabu, 13 Januari 2010

Wawasan Budaya dan Teori Kebudayaan


1. Manusia, Binatang dan Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan tak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun kehidupan. Tak ada kebudayaan tanpa manusia dan tak ada manusia tanpa kebudayaan. Batasan tentang kebudayaan bisa dilakukan dengan simbol atau penyimbolan (symboling), dalam hubungan ini manusia disebut symboling animal (binatang yang menyimbolkan).
Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan terjadi dengan penyimbolan (symboling). Konsepsi umum tentang kebudayaan meliputi “beliefs, ideologies, social organization, and technology (the use of tools)” (White, 1973: 9).
Bagaimana dengan tingkah laku binatang yang berbeda dari Homo sapiens? Kenapa tingkah laku mereka tidak disebut kebudayaan? Semua binatang punya organisasi sosial, bahkan tanaman pun punya (Plant ecology: plant sociology). Beberapa binatang menggunakan peralatan, membuat rumah/sarang, yang dipelajari dan diwariskannya dari generasi sebelumnya.
Beberapa binatang juga memiliki pengetahuan dan konsepsi. Kenapa tingkah laku mereka bukan (produk) kebudayaan?
Karena tingkah laku, organisasi sosial species mereka ditentukan secara biologis, organisasi sosial mereka merupakan suatu fungsi dari struktur tubuhnya, fungsi dari komposisi genetiknya. Karakteristiknya antara lain, nonprogressive, nonaccumulative. Dalam species manusia, organisasi sosial bukan semata-mata fungsi struktur tubuh, melainkan fungsi suatu tradisi external suprabiological yang disebut “kebudayaan.” Dalam jenis manusia terdapat macam-ragam organisasi sosial dan proses peralatan yang tak terhingga variasinya, yang bersifat progressive dan cumulative, serta symboling atau conceptual.
Oleh sebab itu terdapat dua sosiologi yang secara mendasar membedakan antara organisasi sosial manusia dan organisasi sosial makhluk-makhluk lain:
(1) the sociology of nonhuman species, which is a subdivision of biology;
(2) the sociology of human beings, which is a subdivision of the science of culture, or culturology, because it is a function of this external suprabiological, supraorganic tradition called culture (White, 1979: 9-10).
Kemampuan berbicara pada manusia adalah karakteristik dari proses kebudayaan yang amat penting dan merupakan bentuk karakteristik dari symboling. Dengan kemampuan tersebut manusia mengembangkan kebudayaan sehingga apa yang dihadapinya di dunia dapat diklasifikasikan, dikonseptualisasikan, diverbalisasi-kan. Dengan demikian pula hubungan-hubungan antar benda-benda disusun atas dasar konsepsi-konsepsi (White, 1979: 10).
Hubungan-hubungan biologis sekaligus sosial dipahami melalui ujaran artikulasi (articulate speech). Simpanse dan kera serta binatang-binatang lain punya ayah-ibu, paman-bibi, dan sebagainya, tapi mereka tidak mampu mengklasifikasikan semua hubungan-hubungan tersebut dengan ujaran artikulasi, yang bersamanya mengandung pula norma, etika, aturan, kebiasaan dan nilai-nilai (adat-istiadat). Dengan ujaran artikulasi, semua orang dengan siapa dia berhubungan sosial diklasifikasikan dan ditentukan; tugas dan kewajiban ditentukan untuk setiap kategori (White, 1979: 11).
2. Sistem dan Konsep Budaya
Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.” Dalam pengertian “sempit” yang meluas, kebudayaan dipahami sebagai “kesenian.” Pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya; misi kesenian yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan praktek demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-unsur atau isi kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan.
Unsur-unsur atau isi kebudayaan secara keseluruhan dari suatu masyarakat terkandung dalam suatu sistem budaya, yaitu
“seperangkat pengetahuan dan pekerjaan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum, dari suatu masyarakat, yang dapat dicapai melalui proses belajar dan dimanfaatkan sebagai pedoman untuk menata, mengatur, menilai, dan menafsirkan kegiatan dan aspek-aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan” (lihat juga Melalatoa, 1997: 4-5).

Sosiolog Anthony Giddens (1991: 31) mengenai kebudayaan (culture) dan masyarakat (society):
Culture consists of the values the members of a given group hold, the norms they follow, and the material goods they create. Values are abstract ideals, while norms are definite principles or rules which people are expected to observe. Norms represent the ‘dos’ and ‘don’ts’ of social life....
When we use the term in ordinary daily conversation, we often think of ‘culture’ as equivalent to the ‘higher things of the mind’ – art, literature, music and painting… the concept includes such activities, but also far more. Culture refers to the whole way of life of the members of a society. It includes how they dress, their marriage customs and family life, their patterns of work, religious ceremonies and leisure pursuits. It covers also the goods they create and which become meaningful for them – bows and arrows, ploughs, factories and machines, computers, books, dwellings.
‘Culture’ can be conceptually distinguished from ‘society’, but there are very close connections between these notions. ‘Culture’ concerns the way of life of the members of a given society – their habits and customs, together with the material goods they produce. ‘Society’ refers to the system of interrelationships which connects together the individuals who share a common culture. No culture could exist without a society. But, equally, no society could exist without culture. Without culture we would not be ‘human’ at all, in the sense in which we usually understand that term. We would have no language in which to express ourselves, no sense of self-consciousness, and our ability to think or reason would be severely limited….
(Giddens, 1991: 31-32).

3. Unsur-Unsur Kebudayaan
Para ahli kebudayaan sekarang memandang kebudayaan sebagai suatu strategi (van Peursen, 1976: 10). Salah satu strategi adalah memperlakukan (kata/istilah) kebudayaan bukan sebagai “kata benda” melainkan “kata kerja.” Kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda lainnya. Kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (van Peursen, 1976: 11) yang bekerja, yang merasakan, memikirkan, memprakarsai dan menciptakan. Dalam pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa dan cipta manusia.” Dengan begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi meningkatnya harkat dan martabat manusia. Akan tetapi, memahami konsep kebudayaan secara demikian tidak begitu mudah. Penjelasan lebih lanjut tentu diperlukan, demikian.
Secara konseptual, kebudayaan mengandung unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi kebudayaan. Unsur-unsur atau isi kebudayaan tersebut (Koentjaraningrat, 1974), yang membuat kita lebih mudah memahami kebudayaan secara luas, meliputi:
(1) Sistem dan organisasi kemasyarakatan;
(2) Sistem religi dan upacara keagamaan;
(3) Sistem mata pencaharian;
(4) Sistem (ilmu) pengetahuan;
(5) Sistem teknologi dan peralatan;
(6) Bahasa; dan
(7) Kesenian.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan isi kebudayaan yang universal, yang terdapat pada semua masyarakat manusia di mana pun mereka berada (Koentjaraningrat, 1974), baik dalam masyarakat sederhana (less developed) dan terpencil (isolated), berkembang (developing), maupun maju (developed) dan rumit (complex). Unsur-unsur tersebut juga menunjukkan (jenis-jenis atau kategori) pekerjaan manusia untuk “mengisi” atau “mengerjakan”, atau “menciptakan” kebudayaan, yang sekaligus adalah tugas manusia sebagai “utusan (khalifah)” di dunia.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari dengan kategori-kategori sub-unsur dan sub-sub-unsur, yang saling berkaitan dalam suatu sistem budaya dan sistem sosial.
4. Sistem Budaya Indonesia
Para ahli kebudayaan memandang tidak mudah menentukan apa yang disebut kebudayaan Indonesia, antara lain dengan melihat kondisi masyarakat yang majemuk. Secara garis besar, terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan, atau sub-kebudayaan, dalam masyarakat Indonesia, yakni
(1) Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45;
(2) Kebudayaan suku-suku bangsa;
(3) Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya perbedaan-perbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat yang saling berbeda kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar atau kota (Melalatoa, 1997: 6).
Sementara itu, Harsya W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut berkembangnya 4 (empat) sistem budaya di Indonesia, yakni
(1) Sistem Budaya Etnik: bermacam-macam etnik yang masing-masing memiliki wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih);
(2) Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;
(3) Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia, Pancasila dan UUD-RI.
(4) Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur Tengah, Cina, Amerika, Jepang, dsb.
Selain itu, dapat ditambah “Sistem Budaya Campuran”.
Semarang, 16 September 2005


Kepustakaan

1) Alexander, Paul. Ed. 1989. Creating Indonesian Cultures. Sydney: Oceania Publications.
2) Alfian. Ed. 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
3) Bachtiar, Harsya W., Mattulada, Haryati Soebadio. 1985. Budaya dan Manusia Indonesia. Yogyakarta: Hanindita.
4) Benedict, Ruth. 1959. Patterns of Culture. Boston: Houghton Mifflin Company.
5) Birket-Smith, Kaj. 1965. The Paths of Culture. Madison and Milwaukee: The University of Wisconsin Press.
6) Geertz, Clifford. 1960. 1976. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press.
7) ________. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
8) ________. 1983. Local Knowledge – Further Essays in Interpretive Anthropology. New York: Basic Books.
9) ________. 1995. After the Fact – Two Countries, Four Decades, One Anthropologist. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
10) Giddens, Anthony. 1989. 1991. Sociology. Cambridge, UK: Polity Press.
11) Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: HarperCollins.
12) Koentjaraningrat (Redaksi). 1971. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
13) ________. 1974. 1984a. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
14) ________. 1984b. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
15) Malinowski, Bronislaw. 1960. A Scientific Theory of Culture and Other Essays. New York: Oxford University Press.
16) Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP UI dengan PT Pamator.
17) Montagu, M. F. Ashley. Ed. 1968. Culture: Man’s Adaptive Dimension. London: Oxford University Press.
18) Mulder, Niels. 1989. Individual and Society in Java – A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
19) Murphy, Robert F. 1979. An Overture to Social Anthropology. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
20) Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java”. Ithaca and London: Cornell University Press.
21) Peursen, C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia; Yogyakarta: Kanisius.
22) Quilici, Folco. 1972. 1975. Primitive Societies. London: Collins. New York: Franklin Watts.
23) White, Leslie A. with Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture. Minneapolis, Minnesota: Burgess.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar