Rabu, 13 Januari 2010

Pelibatan dan Pemberdayaan Stake Holders dalam Konservasi Sumberdaya Pesisir Laut


I. Pendahuluan
Pada satu-dua dasawarsa yang lalu (1980an-1990an), masyarakat cenderung dijadikan obyek dan kurang terlibat dalam merumuskan masalah dan menyusun kebijakan mengenai konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Lebih lanjut, dalam penerapan kebijakan, masyarakat hanya menjadi pihak yang menerima – bukan sebagai pelaku dan pelaksana, sehingga acapkali kebijakan kurang dipahami dan kurang dapat diterima oleh mereka. Masyarakat pada umumnya tidak mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari suatu program yang dilaksanakan. Dengan situasi demikian, masyarakat seringkali menjadi masa bodoh, kurang tanggap, atau menolak secara langsung maupun tidak langsung, tanpa alasan yang jelas, atau bereaksi keras sesudah program dilaksanakan beberapa waktu karena program tersebut ternyata mengandung dampak yang merugikan mereka (lihat Effendi, 1996).
II. Menuju Paradigma Program yang Bottom-up
Belajar dari pengalaman masa lalu, dengan program-program yang tidak mengindahkan aspirasi masyarakat, para peneliti, konsultan dan perancang pembangunan berusaha mencari, menemukan dan mencoba pendekatan-pendekatan yang sekiranya melibatkan dan memberdayakan masyarakat sebagai potensi nyata agar mereka mengetahui tujuan dan, dengan demikian, dapat merasakan manfaat dari dilaksanakannya, suatu program konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Dapat dikatakan, program-program konservasi sumberdaya pesisir dan laut yang semula dilakukan dengan pendekatan top-down (dari atas ke bawah), kini harus mulai bergeser ke pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas).
Dengan paradigma pendekatan bottom-up tersebut, secara garis besar upaya-upaya yang harus dilakukan dapat meliputi
(1)   perumusan mengenai masalah yang memang dirasakan oleh masyarakat;
(2)   perancangan program dengan kesepakatan yang dibangun bersama masyarakat, beserta analisis mengenai akibat dan dampak yang dapat timbul dari pelaksanaan program;
(3)   pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan program yang melibatkan dan memberdayakan masyarakat;
(4)   evaluasi program bersama masyarakat secara transparan;
(5)   pemeliharaan dan pengawasan pemanfaatan hasil program yang berkesinambungan.

III. Masyarakat dan Stake Holders
III. 1. Masyarakat
Sebagaimana digunakan oleh para ahli sosiologi dan geografi, (1) pertama, masyarakat atau komunitas (community) merupakan seperangkat hubungan sosial yang berlangsung pada kawasan, lokasi atau teritori tertentu. Selain itu, (2) kedua, masyarakat atau komunitas dapat mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang tidak lokal tetapi terdapat pada tingkatan yang lebih abstrak, ideologis (Jary & Jary, 1991: 97-99), seperti masyarakat pemerhati lingkungan atau masyarakat pecinta alam, masyarakat peduli pesisir dan laut – yang lebih berupa asosiasi; dan sebagainya.
Selain itu terdapat karakteristik bagi suatu masyarakat yang dapat dikenakan dalam acuan suatu kawasan atau lingkungan, seperti
(1)   Komunitas sebagai kumpulan orang dengan struktur sosial tertentu, sehingga terdapat kumpulan-kumpulan orang yang bukan komunitas;
(2)   Adanya rasa memiliki atau semangat komunitas;
(3)   Semua kegiatan sehari-hari dari masyarakat, yang bersifat kerja atau pun bukan kerja, berlangsung dalam kawasan geografis, sehingga bersifat memenuhi kebutuhan sendiri.
Dalam pengertian lain terdapat masyarakat rural (pedesaan) dan masyarakat urban (perkotaan). Kemudian masyarakat pre-industrial dan masyarakat industrial, bahkan post-industrial, berdasarkan kriteria sektoral dengan ukuran sektoral pertanian, industri dan jasa, dengan perkembangan meliputi pertanian (50%+ pertanian tradisional), industri (30%+ hasil industri) dan pasca industri (30%+ jasa atau produk jasa).
III. 2. Stake Holders
Stake holders suatu kawasan dapat dipahami sebagai orang-orang yang terlibat dalam investasi, pengawasan, dan penggunaan kawasan tersebut. Mereka adalah orang-orang yang terlibat dan turut bertanggungjawab dalam rekayasa kebaikan dan keburukan kawasan tersebut. Mereka merupakan orang-orang yang terutama dan pertama-tama harus peduli, cinta, dan memperhatikan kawasan tersebut, sebelum orang-orang atau pihak-pihak lain di luarnya. Termasuk dalam unsur stakeholder, menurut Sugeng Wahyudi (2003), yaitu “siapa saja yang berkepentingan atau terkena dampaknya atas suatu program.”
Stake holders suatu kawasan pesisir dan laut adalah bagian-bagian penting dari masyarakat pesisir dan laut yang terutama terdiri dari orang-orang yang berdiam tidak jauh dari kawasan pesisir dan laut, yang dapat terlibat dalam investasi, pengawasan, dan penggunaan kawasan tersebut.
Berdasarkan keadaan dan dinamika perkembangan lingkungan pesisir dan laut, maka stake holders pesisir dan laut tidak tunggal, tidak satu kriteria atau klas. Suatu lingkungan pesisir dan laut tertentu dapat memiliki kriteria dan klasifikasi yang berbeda dari lingkungan pesisir dan laut lainnya, meskipun pada lazimnya perbedaan tersebut tidak begitu jauh – karena lingkungan pesisir dan laut, sebagai suatu kawasan, memang memiliki karakteristik yang kurang lebih tidak jauh berbeda antara satu dan lainnya, yakni kedekatannya dengan pesisir dan laut.
Sangat lazim diketahui bahwa masyarakat yang memegangi investasi, pengawasan dan penggunaan kawasan pesisir dan laut, sehingga harus bertanggungjawab langsung terhadap kawasan tersebut, secara garis besar dapat terdiri dari
(1)   Nelayan, pemilik dan buruh;
(2)   Petambak, pemilik dan buruh;
(3)   Agen dan juragan pembelian dan penjualan ikan;
(4)   Perangkat desa kawasan pesisir dan laut;
(5)   Lembaga-lembaga pemerintah di kawasan pesisir dan laut, dan atasannya;
(6)   LSM kawasan pesisir dan laut;
(7)   Lembaga-lembaga keamanan pemerintah dan masyarakat;
(8)   Jasa-jasa lain yang berhubungan dengan kegiatan pesisir dan laut;
(9)   Pengguna jasa kegiatan pesisir dan laut; dan
(10)     Tokoh agama dan pemuka masyarakat.
Dalam kegiatan yang berorientasi melibatkan dan memberdayakan masyarakat, pengertian stake holders biasanya dilakukan dengan sistem perwakilan, sehingga kegiatan tersebut melibatkan perwakilan-perwakilan, berdasarkan kesepakatan kelompok-kelompok stake holders sendiri.
Klasifikasi stake holders suatu kawasan sering dilakukan dengan basis mata pencaharian dan pekerjaan, terutama yang berhubungan dengan kawasan, ditambah unsur-unsur penting yang bertanggungjawab dan peduli terhadap pengembangan kawasan tersebut (No. 8, 9 dan 10). Satu contoh sebagai berikut.
IV. Penyusunan Lembaga dan Tata Kerja Lembaga Daerah Perlindungan Laut dengan Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA): Strategi dan Program Pemberdayaan Stake Holders
Penyusunan lembaga dan tata kerja lembaga daerah perlindungan laut, menurut prinsip-prinsip pelibatan dan pemberdayaan stake holders, harus dilakukan melalui strategi bertahap. Secara garis besar terdapat 2 (dua) tahapan strategi pekerjaan terpadu yang harus dilaksanakan, yakni Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA) (lihat dan bandingkan, Chambers, 1996).
IV. 1. Rapid Rural Appraisal (RRA)
Tahapan RRA dalam program pelibatan dan pemberdayaan masyarakat khusus (stake holders) adalah tahapan penemukenalan masalah dalam masyarakat, yang dapat dilanjutkan dengan penyusunan lembaga, berkaitan dengan konservasi sumberdaya pesisir dan laut.
Pekerjaan ini dilakukan oleh (1) peneliti, dan/atau (2) konsultan program, dan/atau (3) perencana program, bersama dengan masyarakat khusus atau stake holders yang pada gilirannya akan dikenalinya.
Pertama-tama peneliti/konsultan/perencana harus menemui dan berkenalan dengan berbagai elemen masyarakat, yang diperkirakan menjadi stake holders, dilanjutkan dengan menyerap dan mendorong penyampaian
(1)   pengetahuan masyarakat mengenai
(a)    seluk-beluk pekerjaan mereka yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut;
(b)   gagasan dan aspirasi mereka mengenai konservasi sumberdaya pesisir dan laut;
(c)    keinginan, harapan dan cita-cita mereka berkaitan dengan konservasi sumberdaya pesisir dan laut;
(d)   potensi mereka sendiri berkaitan dengan konservasi sumberdaya pesisir dan laut;
(e)    klaim, keberatan, kritik dan saran mereka mengenai konservasi sumberdaya pesisir dan laut;
(2)   kesepakatan mereka agar bersedia bersama-sama elemen-elemen stake holders lain untuk terlibat dan melakukan pemberdayaan dalam konservasi sumberdaya pesisir dan laut;
(3)   kesepakatan bersama guna membentuk suatu lembaga pelibatan dan pemberdayaan dalam konservasi sumberdaya pesisir dan laut (semacam tim lokal untuk konservasi sumberdaya pesisir dan laut).
Penyusunan lembaga setempat dilakukan melalui forum, tempat dan agenda yang disetujui bersama, setelah kesepakatan untuk melakukan pertemuan bersama antara peneliti/konsultan/perencana dan stake holders tercapai, menuju pelaksanaan PRA.
IV. 2. Participatory Rural Appraisal (PRA)
Sebagai strategi dalam program pemberdayaan stake holders, langkah awal PRA dapat digunakan untuk memulai program pemberdayaan, dengan melakukan pemantapan lembaga setempat yang embrionya sudah disepakati dalam pertemuan-pertemuan antara peneliti/konsultan/perencana dengan para stake holders secara sendiri-sendiri sebelumnya.
Dalam program pemberdayaan melalui PRA, stake holders dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok kepentingan dalam kerangka kelembagaan setempat (local institutional frame works) untuk konservasi sumberdaya pesisir dan laut, dengan anggota-anggota kelompok yang ditentukan bersama-sama, sesuai kepentingan tersebut.
Dalam pemantapan lembaga setempat, anggota-anggota kelompok harus dapat mengangkat sendiri pimpinan/pimpinan-pimpinan kelompoknya. Dalam tahapan ketika pimpinan kelompok sudah diangkat, perlahan-lahan peneliti/konsultan/perencana menyerahkan tongkat komando pada pimpinan dan aktifis peserta program pemberdayaan dan lama-kelamaan lebih berperan sebagai pendamping, moderator, mediator, dan apabila masih diperlukan sebagai advokator program.
Tugas utama dari lembaga atau tim pemberdayaan dalam program pemberdayaan adalah merencanakan program-program kegiatan dalam konservasi sumberdaya pesisir dan laut. Perencanaan, analisis, penyusunan anggaran, mekanisme pengawasan, laporan akhir, dikerjakan bersama-sama antara peneliti/konsultan/perencana sebagai pendamping dan tim pemberdayaan atau peserta program pemberdayaan, dengan hasil pencapaian kesepakatan mengenai perencanaan yang disusun bersama tersebut.



Daftar Pustaka

Chambers, Robert. 1996. PRA/Participatory Rural Appraisal – Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Yayasan Mitra Tani, Penerbit Kanisius, Oxfam.

Effendi, Tadjoeddin Noer. 1996. “Kata Pengantar” dalam PRA/Participatory Rural Appraisal – Memahami Desa Secara Partisipatif. Yogyakarta: Yayasan Mitra Tani, Penerbit Kanisius, Oxfam, halaman 9-11.

Kistanto, Nurdien H. 1994. ‘Petani’ and ‘Buruh Industri’ – The Transformation of a Rural Javanese Labour Force. Ph. D. Thesis. Sydney: the Department of Anthropology, the University of Sydney.

Wahyudi, Sugeng. 2003. “Analisis Stakeholder Pengembangan Bursa Efek (1)” dalam Suara Merdeka, Selasa, 12 Agustus/halaman 12.


Kamus dan Dictionaries

Abercrombie, Nicholas, Stephen Hill, and Bryan S Turner. 1988. The Penguin Dictionary of Sociology. London: Penguin.

Collins Thesaurus, The. London, 1989.

Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.

Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris. I Markus Willy P & M Dikkie Darsyah. Surabaya: Arkola, 1997.

Macquarie Student Dictionary, The. Sydney, 1990.

New Webster’s Dictionary of the English Language. USA: Delair, 1985.

Random House Webster’s Dictionary of American English. New York: Random House, 1997.

Webster’s Encyclopedia of Dictionaries. USA: the Literary Press, 1958, 1977.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar