Kamis, 14 Januari 2010

Upacara Tradisional Wahana Persatuan Kesatuan Karanganyar-Kebumen 22-23 Apr 2006

I. PENDAHULUAN: UPACARA-UPACARA
Secara garis besar upacara dapat dibagi ke dalam beberapa macam, yaitu
(1) Upacara resmi, yang diselenggarakan di kantor-kantor dan lembaga-lembaga resmi pada hari-hari tertentu, seperti upacara di halaman kantor pada hari Senin.
(2) Upacara hari besar nasional, yang diselenggarakan oleh kantor-kantor dan lembaga-lembaga lain, pada hari-hari besar nasional.
(3) Upacara tradisional, yang diselenggarakan oleh pribadi atau keluarga, masyarakat, dan pemerintah.
Pada umumnya semua macam upacara bertujuan mulia, yaitu untuk wahana berkumpul dengan teratur, dengan agenda tertentu, menyatukan langkah, dalam ayunan kebersamaan, melalui kegiatan hidup yang suci, dan dijalankan secara khidmat. Akan tetapi setiap upacara mengandung makna dan tujuan khusus tertentu sesuai maksud penyelenggaraannya.
II. TRADISI BARU DAN LAMA
Semua macam upacara tersebut sudah menjadi tradisi bagi bangsa Indonesia dan bagi masyarakat Jawa Tengah pada khususnya. Upacara-upacara (1) (resmi) dan (2) (hari besar nasional) dapat disebut tradisi baru, yang berkembang sejak abad ke-20 dan pasca-kemerdekaan 1945, berkaitan dengan berkembangnya sistem pemerintahan, birokrasi, kelembagaan dan perkantoran pada berbagai tingkatan; sedangkan upacara (3) (tradisional) adalah tradisi (yang lebih) lama, berkembang sejak berabad-abad, berkaitan dengan sistem dan nilai-nilai religi, agama dan kepercayaan.
Di Jawa Tengah upacara-upacara tradisi baru dan tradisi lama berkembang secara bersamaan, dan adakalanya saling bergabungan, yakni upacara tradisi lama bergabungan dengan tradisi baru dan dilaksanakan dalam satu kemasan penyelenggaraan. Dalam berbagai praktek dan tingkatan terdapat pembaharuan dan penafsiran baru terhadap upacara tradisi lama sehingga dalam pelaksanaannya membentuk tradisi yang (lebih) baru (lagi).

III. MAKNA DAN NILAI TRADISI: IDENTITAS BANGSA
Praktek demikian menunjukkan terjadinya dinamika dalam penyelenggaraan upacara sebagai buah dari interaksi, tanggap-menanggap antara pihak-pihak resmi (pemerintah) dan masyarakat, yang berbasis kepentingan dan pemberian makna dan nilai yang tinggi terhadap tradisi bersama, sebagai sesama peserta budaya, yakni budaya Jawa.
Perkembangan dan realitas tersebut menunjukkan bahwa upacara sebagai kegiatan hidup manusia Jawa Tengah dan Indonesia dihargai sebagai kegiatan yang bermakna penting, bernilai tinggi dan mendalam. Pemberian makna penting, tinggi dan mendalam terhadap upacara sebagai kegiatan yang bernilai tradisi dapat berkembang antara lain oleh adanya kesadaran akan pengalaman historis bersama sebagai bangsa atau suku bangsa yang membangun tradisi-tradisi, yang pada gilirannya menjadi identitas atau jati diri bersama. Suatu bangsa yang besar antara lain ditandai dengan kemantapan identitasnya. Pemaknaan identitas dapat dilakukan dengan pemahaman sebagai berikut.
[1] Identitas yang berasal dari tradisi upacara baru (1 dan 2) bersumber dari kebangkitan dan perkembangan nasionalisme yang dibangun sejak pra-kemerdekaan sampai kemerdekaan dan pengisian kemerdekaan masa sekarang, dengan basis penghargaan terhadap praktek-praktek dan kegiatan bernilai kebangsaan dan patriotisme nasional dalam membangun masyarakat modern, yang ditandai dengan penyelenggaraan pemerintahan dan birokrasi modern.
Upacara yang dilaksanakan juga berkaitan dengan maksud akan terbangunnya disiplin dan penghargaan terhadap penyelenggaraan praktek-praktek pengabdian dan pelayanan publik.
[2] Identitas yang berasal dari tradisi upacara lama (3) bersumber dari latar belakang historis mengenai tradisi ritual siklus hidup, ritual keagamaan dan kepercayaan yang dialami dan dihayati oleh masyarakat (daerah-daerah di) Jawa Tengah dan sekitarnya. Upacara yang membangun identitas bermula dari praktek ritual dalam keluarga-keluarga dan masyarakat yang dimaksudkan untuk menyampaikan dan mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Penguasa Alam dan arwah leluhur, yang telah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat petani dan pembudidaya (darat dan laut). Dalam tradisi Jawa, upacara demikian dimaksudkan untuk memayu hayuning bawana (menjaga keselarasan dunia).
Upacara tradisi lama semula bersifat lokal, kedaerahan, akan tetapi pada perkembangannya sekarang, tradisi-tradisi tersebut telah menjadi kebutuhan hampir semua daerah sehingga menjadi berskala nasional, dan potensial untuk membangun tradisi nasional.
Adapun upacara tradisional yang dipraktekkan dan dihayati dalam keluarga-keluarga sebagian besar berupa upacara siklus hidup (life cycle), mulai dari calon bayi manusia pada masa janin, masa kelahiran, bayi, kanank-kanak, remaja, dewasa, perkawinan, masa tua sampai ketika meninggal dunia, bahkan sesudahnya. Selametan dan bancakan merupakan wahana bangunan harmoni sosial yang dapat berkembang menjadi wahana persatuan dan kesatuan sosial. Persatuan dan kesatuan sosial lokal dan kedaerahan yang meluas, pada gilirannya akan membangun wahana persatuan dan kesatuan bangsa.

IV. PENUTUP: WAHANA PERSATUAN DAN KESATUAN
Persatuan dan kesatuan bangsa dapat terbentuk lebih kokoh apabila bangsa tersebut menyadari, mengalami dan menghormati identitas bersama (shared identity). Identitas bersama masih dapat berkembang apabila unsur-unsur pembangunnya masih didukung oleh komunitas budayanya. Upacara-upacara resmi, hari besar nasional dan tradisional dapat menjadi wahana terselenggara dan berkembang kokohnya persatuan dan kesatuan sosial yang berskala lokal dan kedaerahan, yang pada gilirannya membangun wahana persatuan dan kesatuan bangsa apabila didukung oleh para peserta budaya bangsa dengan mempraktekkannya untuk
(1) menyampaikan dan mengungkapkan rasa syukur yang tiada terhingga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa;
(2) memperkokoh identitas komunitas dan identitas bangsa;
(3) menegakkan nilai-nilai egaliter dan demokratis;
(4) membangkitkan kesadaran akan realitas dan dinamika multi-tradisi, multi-budaya;
(5) mencapai kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan bersama;
(6) meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan alam, sosial dan budaya;
(7) menyalurkan aspirasi sosial-budaya bangsa;
(8) menyediakan hiburan, rekreasi dan wisata yang sehat;
(9) melaksanakan modus dan materi yang disepakati bersama.

Semarang, 22 April 2006

Nurdien H. Kistanto




Daftar Pustaka


Alexander, Paul, Peter Boomgaard, Ben White (Editors). 1991. In the Sjhadow of Agriculture – Non-farm Activities in the Javanese Economy, Past and Present. Amsterdam: Royal Tropical Institute.

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.

Koentjaraningrat. 1974, 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Melalatoa, M. Junus. Penyunting. 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: PT Pamator.

Weber, Max. 1922, 1964. The Sociology of Religion. Boston: Beacon Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar