Rabu, 13 Januari 2010

Strategi Penggalangan Massa Berdasarkan Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Jawa Tengah




I.      Pendahuluan

Presentasi ini menyangkut 2 (dua) persoalan yang saling dikaitkan yaitu (1) pertama, strategi penggalangan massa, dan (2) kedua, kondisi sosial budaya masyarakat Jawa Tengah. Oleh karena kondisi sosial budaya masyarakat Jawa Tengah adalah yang diharapkan menjadi dasar dari strategi penggalangan massa, maka ia akan dipahami lebih dahulu. Dari pemahaman tersebut, kita diharapkan mampu menyusun strategi mobilisasi masyarakat Jawa Tengah.

II.   Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Jawa Tengah
Jawa Tengah adalah bagian dan pusat dari kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa bukanlah suatu kesatuan yang tunggal, tidaklah homogin. Kondisi sosial budayanya, dengan demikian, juga tidak bisa dipandang sama bagi semua orang Jawa atau pun orang Jawa Tengah.
Keaneka-ragaman regional masyarakat Jawa Tengah agaknya juga sesuai dengan keaneka-ragaman unsur-unsur kebudayaannya. Logat bahasa Jawa yang digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat Jawa Tengah, misalnya, sudah diketahui cukup beragam. Bahasa Jawa logat Tegal, logat Pekalongan, logat Banyumasan, logat Jepara-Rembang-Pati, logat Magelang-Borobudur-Muntilan, logat Solo, logat Semarang, dan bahkan logat Kaliwungu saja pun berbeda dari logat tetangganya, Kendal. Begitu pula unsur-unsur kebudayaan lainnya, seperti makanan, kesenian, tradisi upacara atau ritual, bahkan juga pakaian dan peralatan (lihat juga Koentjaraningrat 1984: 25-29).
Namun demikian, orang dapat memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa Tengah dengan melalui kawasan geografis, alam dan lingkungan. Dalam masyarakat Jawa Tengah dikenal “orang pesisiran” dan “orang pedalaman.” Orang-orang pesisiran Jawa Tengah dapat dilihat dari letak geografis yang dipengaruhi karakteristik masyarakat pesisiran yang terbentang dari Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Pati sampai Blora dan Cepu; sedangkan orang-orang pedalaman meliputi kawasan yang luas dari pengaruh kerajaan Sala, yang dikenal sebagai Negarigung, seperti Sragen, Banyumas, Magelang, Ambarawa, Salatiga dan hampir Ungaran, yang juga dipengaruhi oleh pusat-pusat kebudayaan Jawa seperti Yogyakarta.
Orang-orang Jawa Tengah pesisiran pada umumnya dikenal dengan karakteristik masyarakat yang lebih terbuka, agak kasar, suka berterus-terang, liberal, dan lebih demokratis; sedangkan orang-orang Jawa Tengah pedalaman agak tertutup, lebih halus, kurang suka berterus terang, dan lebih feodal.
III. Perubahan
Meskipun simpul-simpul kebudayaan dan peradabannya masih cukup kental, karakteristik-karakteristik orang pesisiran dan orang pedalaman seperti itu sekarang ini sudah berubah dan agak kabur, sebagai hasil dari pergaulan yang panjang dan pertukaran nilai-nilai yang makin terbuka antara masyarakat-masyarakat yang dipengaruhi kebudayaan pesisiran dan masyarakat-masyarakat yang dipengaruhi kebudayaan pedalaman dan nilai-nilai keraton Jawa. Sehingga dapat kita dapatkan orang-orang pesisiran yang cukup “halus” dan orang-orang pedalaman, kraton, yang “agak beringas,” “agak kasar,” dan “suka berterus-terang.” Keadaan sosial budaya demikian menjadi semakin tidak jelas apabila kita lihat dari merasuknya pengaruh nilai-nilai budaya lain sebagai hasil dari proses-proses globalisasi, yang didukung oleh kecanggihan manajemen, teknologi, dan secara khusus teknologi komunikasi dan informasi.
Dari perkembangan sosial budaya yang demikian, dapat saja terjadi peleburan nilai-nilai dan karakteristik-karakteristik pesisiran, pedalaman, dan global, Barat, moderen, pasca-moderen, dan seterusnya. Pemahaman terhadap masyarakat Jawa Tengah menjadi semakin rumit, kompleks, disebabkan oleh berkecamuknya pertemuan antar nilai-nilai. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa Tengah sudah mengalami terjadinya perubahan nilai-nilai sosial budaya, sehingga menggenggam nilai-nilai baru, namun nilai-nilai lama belum sepenuhnya ditinggalkan.
IV.     Strategi Penggalangan Massa
Dapat dikatakan bahwa masyarakat Jawa Tengah mengalami proses-proses menjadi masyarakat moderen, sehingga strategi penggalangan massa, mau tidak mau, juga mempertimbangkan metode-metode moderen. Dalam pengertian demikian, partai politik adalah sebuah organisasi moderen.
Salah satu hal penting yang harus diperhatikan dalam penggalangan massa adalah dengan memperlakukannya sebagai upaya pembangunan citra (image building). Metode-metode yang lazim digunakan dalam pembangunan citra adalah metode-metode public relations (hubungan masyarakat) dengan media massa (mass media of communication) untuk menyampaikan informasi.
Berikut ini disampaikan metode-metode strategis dalam penggalangan massa melalui satuan hubungan antara masyarakat, informasi dan media.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar