Rabu, 13 Januari 2010

Benturan Peradaban Pasca Invasi Amerika Terhadap Irak


Kemenangan Amerika Serikat (AS), di bawah Presiden George W. Bush, dan sekutunya (Inggris Tony Blair dan Australia) atas Irak Saddam Hussein, meninggalkan rusaknya tatanan peradaban. Kerusakan tersebut antara lain ditandai dengan hancurnya sistem dan pelaksanaan hukum, ketertiban dan keamanan dengan perwujudan terjadinya penjarahan harta benda besar-besaran, yang belum pernah terjadi di mana pun – karena penjarahan tersebut telah menjangkau tempat paling elit di Irak, seperti Istana Kepresidenan, rumah-rumah keluarga Saddam dan para pejabat tinggi di Bagdad, oleh rakyat Irak sendiri.

Penjarahan tersebut menjadi lebih memalukan karena melibatkan pasukan AS, yang ketahuan mencuri dolar dan wartawan yang menyembunyikan belasan lukisan mahal keluarga Saddam Hussein. Agaknya tidak hanya sebagian rakyat Irak yang rusak mental dan moralnya karena perang, melainkan juga para anggota pasukan AS dan sekutu, serta wartawannya.
Tidak hanya itu, Museum sebagai penanda peradaban yang agung pada masa lampau pun mengalami penjarahan. Dari Washington, DC diberitakan (Suara Merdeka/SM Rabu Wage, 23 April 2003: I & X), para kolektor dan pedagang benda seni mengatakan, mereka siap membeli benda-benda bersejarah hasil jarahan dari museum-museum di Irak. Federal Bureau of Investigation (FBI – Biro Penyidik Federal AS) mencium, orang-orang di AS siap membeli 60 persen benda seni kelas dunia dari Museum Bagdad, illegal maupun legal. Ribuan benda bersejarah, sebagian berusia ribuan tahun (dari masa Asyria, Sumeria, Mesopotamia, dan lainnya), dijarah ketika pasukan AS menggulingkan rezim Saddam Hussein. Bekerja sama dengan badan-badan penegakan hukum internasional dan Pemerintah AS (Departemen Kehakiman, Departemen Luar Negeri, Bea Cukai, CIA dan Interpol), serta para kolektor benda seni, juru lelang dan pakar, FBI berusaha menemukan kembali benda-benda berharga itu, yang diperkirakan akan dijual ke negara-negara kaya seperti AS, Inggris, Jerman, Jepang, Prancis, dan Swiss. Lynnch Chaffinch, manajer Program Pencurian Seni FBI, mengatakan, “Itu adalah kelahiran peradaban. Buka Cuma warisan Irak saja, melainkan juga warisan budaya dunia” (SM Rabu Wage, 23 April 2003: X).
Namun demikian, belum jelas bagi kita, apakah benda-benda seni yang dijarah itu, apabila sudah ditemukan, juga akan dikembalikan ke Irak?

II. Dominating Culture dan Subordinate Culture

Setelah Perang Dunia Kedua dan setelah Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet yang berakhir dengan keporakperandaan Soviet, AS benar-benar menjadi satu-satunya adikuasa dan adidaya di dunia. AS adalah Maharaja Kebudayaan dan Peradaban Dunia (World Dominating Culture) yang didukung unsur-unsur kebudayaan dan peradaban yang begitu canggih dalam SDM, manajemen dan teknologi, terutama teknologi informasi, komunikasi, perang, dan bioteknologi, yang tak tertandingi.
Sebagai Maharaja, tak jarang AS menjadi Maharaja Raksasa yang siap melalap apa saja yang diinginkan dan dikehendakinya, tanpa ada yang mampu mengendalikannya.
Invasi AS ke Irak bukan hanya menimbulkan akibat pergeseran tatanan politik dan pemerintahan, karena kegiatan perang membawa serta akibat berupa kerusakan elemen-elemen kebudayaan dan peradaban lain, termasuk peninggalan budaya dan peradaban dari masa lampau yang begitu berharga yang bernilai begitu tinggi. Selain itu, sebagai negara yang berpenduduk dan bersejarah panjang dalam kebudayaan dan peradaban Islam, tentulah kandungan kebudayaan dan peradaban Islam, yang tak ternilai harganya, tergilas sebagai korban tak tergantikan.
Bagi AS, Irak adalah sebuah kebudayaan dan peradaban subordinat (Subordinate Culture) yang begitu kecil, dengan wadah geografis yang tak lebih luas dari sebuah Negara Bagian. Telah menjadi karakteristik bagi subordinate culture bahwa nasibnya dikangkangi, dikalahkan, dipengaruhi, dan diungguli dalam kebudayaan material. Nasib Irak demikian juga.
Lebih-lebih dalam tatanan peradaban dunia yang tidak seimbang, di mana negara-negara subordinat lain, termasuk Indonesia beserta rakyatnya, hanya mampu berteriak-teriak, dengan suara yang lemah dan kemudian hilang, agar dicari cara-cara lain dalam AS mencapai tujuannya untuk “menghapus senjata pemusnah massal” dan “menggulingkan rezim Saddam Hussein.” Bahkan ratusan ribu rakyat AS sendiri dan rakyat negara-negara sekutunya, yang berkumpul di kota-kota dunia – termasuk di Washington, DC sendiri, London dan Sydney - untuk memprotes kelakuan pemerintahan George W. Bush yang begiru agresif pun tidak sedikit pun menggeser keputusannya.

III. Peradaban Dunia Baru

Tatanan peradaban dunia dengan sistem yang terlanjur berpola dominating dan subordinate culture memang begitu timpang, di mana kekuasaan dan kekayaan material negara adidaya AS begitu luar biasa besarnya, sedangkan negara-negara lain yang juga kaya – seperti Jerman dan Prancis, sekalipun mereka disatukan - tak cukup besar untuk menandinginya.
Belum lama ini, sejumlah intelektual Indonesia, yakni Jusuf Wanandi (Centre for Strategic and International Studies/CSIS), Roeslan Abdulgani (tokoh 45), Sri-Edi Swasono (pakar ekonomi), dan Nurcholish Madjid (pakar sosial dan keislaman), terlibat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh surat kabar Pelita dengan tajuk “Tatanan Dunia Baru Pasca Perang Irak-AS.” Liputan diskusi tersebut (Kompas Jum’at, 25 April 2003/3) menyimpulkan bahwa
“Masih terlalu dini untuk membicarakan tentang tata dunia baru setelah serangan pasukan gabungan pimpinan Amerika Serikat (AS) ke Irak. Situasi internasional kini masih berubah, aliansi-aliansi baru antarbangsa masih dalam taraf pembentukan. Namun, suka atau tidak suka, harus diakui bahwa AS merupakan satu-satunya negara adidaya dunia, setidaknya sampai masa 20-30 tahun ke depan, sebelum muncul kekuatan penyeimbang baru.”

Menurut Jusuf Wanandi, apa yang dilakukan (AS) di Irak baru merupakan tindakan awal. Tujuan akhir AS adalah melakukan pencegahan total kemungkinan berulangnya peristiwa semacam serangan 11 September. Peristiwa serangan 11 September amat menyakitkan bagi AS, negara yang sebelumnya hampir tak pernah bias menjadi sasaran serangan pihak asing.
Roeslan Abdulgani mengingatkan bahwa “di masa depan konflik antara Amerikanisme dan Zionisme di satu pihak melawan negara-negara miskin masih akan terus berkembang. Sebab serangan AS ke Irak antara lain akan mengakibatkan bangkitnya kembali gerakan-gerakan radikal Islam.”
Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan, “dalam menuju tata dunia baru perlu digalang berbagai forum kerja sama internasional untuk menghadapi AS. Karena, hanya dengan cara itu dunia dapat mengekang sikap unilateralisme AS. Menurut Nurcholish, “Di dalam negeri sikap Pemerintah AS yang unilateralis sudah mendapat banyak tentangan. Akan tetapi, juga harus ada check and balances di tingkat global. Jika tidak, AS bias menjadi sewenang-wenang,” dengan tambahan bahwa, “Jerman, Perancis, Rusia, dan Cina secara bersama-sama  kini sudah mencoba menjadi kekuatan penyeimbang AS.”

IV. Penutup: Benturan Peradaban

Benturan demi benturan peradaban pasca perang AS di Irak agaknya akan terus terjadi. Sekalipun banyak analis menyatakan bahwa perang tersebut bukan perang agama, tak pelak akibat darinya sangat mudah membangkitkan kembali semangat radikal Islam untuk melakukan “serangan-serangan” balasan, yang bukan tidak mungkin juga didukung oleh negara-negara di luar lingkaran AS dan sekutunya, dengan modus-modus yang lebih canggih dan cermat.
Namun demikian, benturan peradaban yang berkembang tidak akan menuju benturan berbasis keagamaan, dengan mempertimbangkan keyakinan Nurcholish Madjid, misalnya, bahwa “perang itu bukanlah perang salib atau perang agama.” Alasan Nurcholish, “Kalau perang di Irak itu adalah perang salib, maka berarti Jerman adalah kekuatan yang ikut Islam, sementara Kuwait merupakan bagian dari pasukan salib.”
Pada pengamatan saya, dalam waktu yang panjang, AS masih akan tetap mendominasi dunia, tetapi ia harus selalu siap menghadapi berbagai kemungkinan teror dan serangan sporadis, yang membuat sistem keamanan dan investigasinya cukup kewalahan - sekalipun teror dan serangan tersebut tidak akan membuat AS bangkrut sedemikian besar.
Dalam benturan peradaban material, AS masih akan tetap menjadi pemenang yang unggul, tetapi dalam perlombaan kebudayaan spiritual banyak negara di dunia – terutama di belahan Timur - memiliki keunggulan yang menjadi incaran AS. Namun demikian, AS pun sesungguhnya punya kemampuan yang besar dan luar biasa untuk tidak habis-habisnya berusaha mencapai incaran-incaran dalam peradaban spiritual.***



Referensi

Kompas. Jum’at, 25 April 2003/3, “Terlalu Dini Bicarakan Tata Dunia Baru Pascaserangan AS ke Irak.”

Suara Merdeka.  Rabu Wage, 23 April 2003/I & X, “Barang-Barang Jarahan dari Museum Irak Dijual ke AS.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar