Kamis, 14 Januari 2010

Golongan Putih dan Golongan Busuk pada Pilihan Presiden 2004

Dalam Pemilu legislatif dan Pilpres Putaran I telah dan masih akan berkembang pada Pilpres Putaran II 2004, fenomena “golput” dan “golbus.” “Golput” (golongan putih) setidak-tidaknya dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kategori, yakni pertama “golput murni” dan kedua “golput tak sengaja.”
(1) “Golput murni” terdiri dari orang-orang yang dengan sengaja tidak menggunakan hak pilihnya, dengan cara tidak datang ke TPS untuk melakukan pencoblosan. Berbagai alasan dapat dikemukakan tapi agaknya yang menonjol adalah karena tidak ada caleg atau capres-cawapres yang berkenan di hatinya, atau sistem atau perundang-undangan Pemilu yang tidak disukainya. “Golput murni” adalah “golput yang sesungguhnya.”
(2) “Golput tak sengaja” adalah mereka yang di luar kehendak atau niatnya termasuk dalam “golput.” Mereka sendiri mungkin sangat kecewa telah dikategorikan sebagai “orang yang tidak menggunakan hak pilihnya” tanpa kehendak sendiri. Penyebabnya bisa saja sepele, karena semalam begadang, mungkin ketiduran sampai siang, atau bepergian, hingga melewati batas waktu pencoblosan; atau penyebab-penyebab lain di luar kendalinya. Mereka kecewa karena kesempatan yang sebenarnya di tunggu-tunggu itu hanya akan datang 5 (lima) tahun lagi.
Adapun “golbus” (golongan busuk) dapat dirumuskan sebagai orang-orang yang melakukan tindakan atau perilaku “tidak terpuji” atau kecurangan-kecurangan dalam Pemilu. Sangat populer dalam Pemilu 2004 adalah praktek black campaign, yang sengaja dilakukan oleh lawan capres-cawapres untuk menjatuhkan atau membunuh karakter capres-cawapres yang menjadi sasarannya. Praktek lain yang sudah lebih dulu populer adalah “pembelian suara” (vote buying) (orang Indonesia lebih suka menggunakan istilah money politics). Para calon pemilih “dibeli” suaranya dalam berbagai bentuk pemberian dengan harapan pihak pemberi dipilih dalam pencoblosan. Atau praktek mobilisasi para calon pemilih secara besar-besaran, dengan fasilitas yang juga besar-besaran. Pembuktian sebagian besar praktek-praktek busuk tersebut tidak mudah, tidak semudah pihak pelaku praktek busuk mengelak tuduhan. Praktek-praktek busuk yang lain masih banyak lagi dalam proses-proses pemilihan sampai penghitungan, pengumuman dan penetapan hasil pemilu atau pilpres.
Dalam kategorisasi, “golput murni” dan “golput tak sengaja” menjadi satu disebut “golput” saja. Padahal tingkat perbedaan substansi dan sikap serta alasan-alasannya sangat tinggi. “Golput murni” memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya dengan alasan-alasan prinsip, mungkin ideologis, filsafati dan politis; “golput tak sengaja” hanya karena kelalaian atau keteledoran setelah berniat menggunakan hak pilihnya – sekalipun menggunakan hak pilih sesungguhnya juga secara sadar atau tidak sadar bisa melewati alasan ideologis, filsafati dan politis, atau realistis, atau semata-mata “favoritisme figur”?
Kiranya perlu diselenggarakan kajian-kajian mengenai “golput murni” dan “golput tak sengaja” sehingga dapat diperoleh gambaran yang tepat mengenai karakteristik para pemilih (yang tidak menggunakan haknya) dalam Pilpres Putaran II.
Sementara itu dalam keadaan para calon pemilih menjadi lebih cerdas dan realistis, serta yakin terhadap nuraninya, dalam Pilpres Putaran II 2004, “golbus” harus menutup tokonya, menderita kebangkrutan lahir-batin dan makan hati berulam jantung. Begitu pula, dalam keadaan para calon pemilih menjadi realistis terhadap para capres-cawapres, bahwa siapa pun yang kemudian tampil dalam Pilpres Putaran II tetap “harus” ada yang dipilih dengan semangat “tanggung jawab bersama,” jumlah “golput” akan mengecil.
Dalam konteks politik dan masyarakat politik di Indonesia saat ini, kiranya yang terjadi akan sebaliknya! Masih banyak warga berhak pilih yang tidak realistis terhadap capres-cawapresnya - maunya “bukan yang maju itu” atau “bukan itu yang maju;” masih banyak pula warga berhak pilih yang bahkan mengharap-harap, menunggu-nunggu datangnya praktek-praktek “golbus” menghampiri dirinya atau kelompoknya!***
Wassalam


Semarang, Senin, 26 Juli 2004
NHK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar