Rabu, 13 Januari 2010

Antagonisme dalam Masyarakat


Studi mengenai Penjarahan, Tawuran,

Kerusuhan Sosial-Politik, dan Santet di Jawa Tengah


Abstract


Lately social and political antagonism has been a disturbing phenomenon, especially in Central Java region. A group of social researchers initiates a research team to conduct short-term field work in order to obtain first-hand information concerning the transitional issues which took place in several locations in Central Java including Solo, Blora, Brebes, Pati, Pekalongan, Kebumen, Demak, and Semarang until the end of 1998. Findings tend to support arguments that social and political riots were among others triggered by widening social gaps between different groups in society. While trust to government apparatus tended to decrease, worse economic and political conditions facilitated uncontrollable radical mass violence.

Key words: social antagonism, Central Java, economic and political condition, mass violence.

1.      Pengantar
Menjelang puncak krisis politik dan ekonomi, sejumlah daerah dan lokasi di Jawa Tengah mengalami gejala-gejala antagonisme sosial dan politik yang sangat meresahkan dan mengganggu ketentraman masyarakat. Pertanyaan dan diskusi bertubi-tubi telah digelar di berbagai kesempatan dan media, baik yang analitis maupun yang sekedar berbagi pengalaman. Keadaan ini berlangsung beberapa tahun belakangan, ketika krisis ekonomi dan politik benar-benar merasuki sendi-sendi sosial-budaya masyarakat kita, khususnya di Jawa Tengah.
Salah satu upaya yang dianggap lazim di kalangan peneliti dan cendekiawan dalam menjawab pertanyaan dan mencari jalan ke luar bagi suatu persoalan besar yang menjadi gejala mencolok dalam masyarakat adalah menyelenggarakan penelitian atau kajian. Sekelompok peneliti dan cendekiawan berusaha mencari jawaban tentang berbagai permusuhan dan kerusuhan sosial dan politik yang terjadi di Jawa Tengah pada tahun-tahun 1997 dan 1998, ketika krisis politik dan ekonomi kemudian benar-benar mempengaruhi kehidupan dan cara menyelesaikan masalah dalam masyarakat kita. Penelitian lapangan, yang segera dilanjutkan dengan penulisan laporan, dilakukan secara serentak oleh sejumlah peneliti pada bulan-bulan Oktober-November 1998.[1]

2.      Antagonisme, Konflik dan Peperangan
Antagonisme agaknya menjadi kata kunci yang cocok untuk menyebut gejala-gejala sosial-budaya yang terjadi dan dikaji dalam penelitian ini, karena istilah tersebut mengandung pengertian “permusuhan, perlawanan, kebencian, pertentangan, peringkaran” (Echols & Shadily, 1992: 30) atau “active hostility or opposition” (Dalgish, 1997: 27). Pengertian ini dekat dengan istilah konflik yang mengemban pengertian “percekcokan, perselisihan, pertentangan” (Echols & Shadily, 1992: 138) atau “to disagree, be in opposition, clash; a fight, battle, or struggle; disagreement, quarrel, argument” (Dalgish, 19967: 163).
Apabila dikaitkan dengan tekanan demografis yang dialami penduduk Jawa Tengah, “adalah suatu paham yang setua umur manusia bahwa di dalam negeri-negeri yang berkelebihan kepadatan penduduknya ketegangan-ketegangan sosial menjadi dahsat dan perang atau revolusi sering terjadi” (Duverger, 1998: 58). Selain itu antagonisme sosial juga dapat disebabkan oleh unsur-unsur kepribadian atau temperamen para pelakunya; dalam hal ini terdapat dua pendapat: yang pertama, “temperamen adalah pembawaan sejak lahir, bersifat biologis; yang kedua, “temperamen terutama diperoleh melalui hubungan-hubungan psikososial” (Duverger, 1998: 183).
Dalam kenyataannya, antara faktor sifat biologis atau bawaan sejak lahir dan faktor pengaruh hubungan psikososial, sangat sulit untuk dipisah-pisahkan, ketika “orang banyak” sudah terjebak ke dalam “emosi massa” untuk melakukan “amuk massa” atau “kekerasan massa” (mass violence).
Dengan pengertian-pengertian antagonisme dan konflik demikian, agaknya unsur-unsur perang atau peperangan juga terlibat mewarnai peristiwa-peristiwa yang menjadi isyu pada pembicaraan kita ini. Apabila antagonisme dan konflik modern ternyata memang melibatkan unsur-unsur peperangan, maka sebenarnya nasib manusia selalu berada dalam kondisi rawan sejak zaman baheula dan ketika peradaban manusia disebut pada tahapan “belum berkembang” atau “terbelakang” – untuk menghindari sebutan “primitif.”
Dalam antropologi mengenai bangsa “primitif,” antagonisme dan konflik yang melibatkan unsur-unsur peperangan (primitive war), menurut Marvin Harris (1978b: 48), merupakan kegiatan yang sangat tua (very ancient practice), tetapi karakteristiknya berbeda-beda dalam masa prasejarah dan masa sejarah. Dalam keterangan yang lain, Marvin Harris (1978a: 52) menyebutkan bahwa “Primitive war, like cow love or pig hate, has a practical basis. Primitive peoples go to war because they lack alternative solutions to certain problems – alternative solutions that would involve less suffering and fewer premature deaths.”
Sebagian dari masyarakat Jawa Tengah modern agaknya tidak berbeda jauh dari keadaan yang digambarkan oleh Marvin Harris itu, bahwa dasar atau alasan mereka bersitegang, kemudian meningkat pada situasi konflik yang kemudian berakhir dengan antagonisme dengan kekerasan massa, adalah karena tidak berkembangnya nilai-nilai alternatif, terutama dalam pendidikan politik yang memadai. Alternatif pendidikan politik untuk terbangunnya civil society agaknya terhambat selama puluhan tahun, sehingga ketika katup-katup penyumbat kesumpekan dibuka - yang sebenarnya untuk kepentingan kebebasan berpolitik - situasi jadi penuh ledakan di sana-sini. Sebagian orang memilih “peperangan” – bahkan dengan tetangga atau dengan lingkungan yang mungkin sebelumnya menjadi satu kelompok dengannya. Karena praksis politik dan peperangan, misalnya, terdapat ungkapan, bahwa tidak ada koalisi atau kemitraan yang abadi; yang abadi adalah kepentingan politiknya itu sendiri.
Sebagaimana kepentingan politik, kepentingan ekonomi juga mendorong terjadinya antagonisme yang diikuti dengan kekerasan pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan (critical mass violence) yang dapat berakibat fatal dan tragis bagi sementara korban yang mengalaminya.

3.      Tujuan dan Manfaat
Kajian dan penelitian yang diselenggarakan bersama ini bertujuan untuk memahami antagonisme yang berwujud kekerasan dan kerusuhan sosial dan politik di Jawa Tengah sebagai bagian dari sistem nilai sosial budaya masyarakat yang menjadi fenomena menonjol belakangan ini. Sehingga kesadaran kita mengenai kesalahan-kesalahan kita dan masyarakat kita dapat menjadi pelajaran berharga yang pada gilirannya dapat bermanfaat untuk melakukan perbaikan-perbaikan diri sebagai masyarakat dan bangsa  yang berkehendak maju di tengah-tengah pergaulan bangsa dan masyarakat sendiri dan pergaulan antar masyarakat dan bangsa-bangsa lain.
Bagi pihak-pihak yang terkait kewajiban dengan persoalan dan menentukan kebijakan-kebijakan penting yang mempengaruhi masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Tengah, kiranya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dengan memetik pelajaran untuk pengambilan langkah-langkah antisipasi, pencegahan dan penanganan kasus-kasus antagonisme sosial budaya di Jawa Tengah.

4.      Struktur Kategorial dan Lokasi Penelitian
Tim peneliti merumuskan struktur kategorial dan identifikasi pola antagonisme sosial budaya sebagai langkah konseptual menuju kajian tentang masalah tersebut, dengan membagi antagonisme sosial budaya ke dalam 4 (empat) kategori, yakni (1) penjarahan; (2) tawuran; (3) kerusuhan sosial dan politik; dan (4) (isyu) santet.
            Lokasi-lokasi yang dipilih meliputi Solo dan Randublatung, Blora untuk kategori “penjarahan;” Sukolilo, Pati dan Wanasari, Brebes mengenai “tawuran;” Pekalongan dan Kebumen untuk “kerusuhan sosial dan politik;” Rowosari, Semarang dan Donorejo, Demak tentang “(isyu) santet.”
            Pelaksanaan penelitian lapangan dan analisis data yang menghasilkan laporan penelitian terutama memanfaatkan teknik-teknik, metode-metode, dan strategi kualitatif, terutama dengan observasi dan wawancara terhadap tokoh-tokoh kunci dan para informan di lokasi kejadian, yang dilengkapi dengan sumber-sumber yang berasal dari berbagai dokumen dan media – sebagaimana lazim dimanfaatkan dalam penelitian-penelitian sosial budaya.
            Laporan yang dihasilkan, oleh sebab itu, cenderung deskriptif-analitis, atau yang oleh Clifford Geertz (1973) disebut thick description. Namun demikian, sesekali para peneliti merasa perlu menyampaikan analisis data yang mengandung unsur-unsur kuantitatif, dengan statistik, sehingga dalam menyampaikan laporan (TPJT, 1998) terjadi upaya memadukan pendekatan-pendekatan kualitatif dan kuantitatif, seperti disarankan oleh kecenderungan metodologis belakangan ini (lihat Bernard, 1994; Brannen, 1997).
Berikut ini ringkasan masing-masing bagian dari laporan penelitian ini.

5.      Penjarahan, Tawuran, Kerusuhan Sosial-Politik, Isyu Santet
5.      1. Kerusuhan di Solo dan Penjarahan Kayu di Randublatung, Blora
5.      1. 1. Kerusuhan di Solo
Secara historis hingga kini, wilayah Solo atau Surakarta sering menjadi ajang konflik dan kerusuhan.  Selain konflik dan kerusuhan yang tak tercatat, pada abad ke-20 Solo mengalami sejumlah konflik dan kerusuhan, yang diawali pada tahun 1911 saat terjadinya konflik antara Kong Sing Cina dan Kong Sing Jawa, yang disusul pemogokan dan kerusuhan buruh kereta api di stasiun Solo Balapan pada tahun 1923, setelah terjadi gerakan-gerakan radikal dalam politik pada tahun-tahun 1918-1920. Kemudian terjadi kerusuhan berupa perkelahian massal pada pembukaan PON tahun 1946, lalu pergolakan anti-swapraja pada tahun-tahun 1946-1950 dan kerusuhan akibat peristiwa Madiun pada tahun 1948; di sela-sela peristiwa-peristiwa tersebut terjadi serangan umum pada tahun 1949.  Agak lama sesudah itu, di Solo pecah kerusuhan anti-Cina pada tahun 1966, yang diulang pada tahun 1980, dan kemudian kerusuhan pada bulan Mei 1998 yang sangat mencekam dan mengakibatkan korban-korban harta-benda dan jiwa sehingga dikenal dengan sebutan “Mei Kelabu.”
            Banyak orang mengatakan bahwa “Mei Kelabu” merupakan akibat dari konflik antara Tionghoa dan Jawa.  Namun jika melihat harta-benda yang dirusak, rasanya sulit mengambil kesimpulan demikian – begitu pula korban-korbannya pun bukan hanya orang-orang Cina.  Ada toko orang Jawa terbakar dan terjarah, tapi ada pula rumah makan milik orang Tionghoa yang luput dari pembakaran dan penjarahan. Kalau dikatakan penyebab kerusuhan adalah terjadinya kesenjangan dan kecemburuan sosial antara orang Tionghoa dan orang Jawa, antara orang kaya dan orang miskin, masih juga dapat dipersoalkan, karena yang menjarah toko bukan hanya orang miskin, melainkan juga mereka yang naik mobil dan tidak semua orang Tionghoa kaya, dan seterusnya.  Salah satu penyebabnya adalah terjadinya konflik nilai, kemudian kebiasaan stereotipe, dan pelabelan etnik; tetapi dapat juga dikatakan terjadinya konspirasi politik, yang disertai turunnya peran dan wibawa aparat, yang terkesan membiarkan terjadinya penjarahan harta-benda.  Tetapi agaknya para peneliti kerusuhan di kota Solo ini lebih cenderung melihat persoalan dari terjadinya pemilahan posisi timbal balik dalam kognisi antara orang Jawa dan orang Cina, yakni posisi orang Tionghoa dalam kognisi orang Jawa di satu sisi, dan posisi orang Jawa dalam kognisi orang Cina, di sisi lain.
5.      1. 2. Penjarahan Kayu Jati di Hutan Randublatung, Blora
Luas hutan di Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Randublatung adalah 32.461 ha:  85,6% (27.776,5 ha) terletak di 39 desa hutan dengan kelas hutan jati produktif, yang dihuni 137,6 ribu jiwa - yang 58,8% (80,9 ribu) di antaranya penduduk berusia produktif (15-55 tahun). Pada radius 5 km di area hutan terdapat 48 perusahaan swasta untuk pengolahan dan penggergajian kayu. Pada Mei-Juni 1988 tingkat pencurian kayu jati naik sekitar 433% (mencapai 8.733 pohon) dibanding bulan-bulan sebelumnya. Kerugian akibat pencurian mencapai sekitar Rp 150.412.000, naik 295,6% dibanding tahun 1997.
Modus operandi pencurian ditandai bergabungnya warga masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok pencuri, yang berani melawan petugas ronda gabungan dari Perum Perhutani, Polsek dan Koramil – keadaan ini dapat dipahami karena letak pemukiman warga ada di tengah hutan. Mereka beranggapan bahwa pemenuhan kebutuhan dari hasil hutan tidak bisa disebut pencurian, karena mereka mengambil “secukupnya saja” (sacukupe wae) dengan “memetik sekadarnya” (amek). Tapi agaknya sistem nilai budaya masyarakat di hutan itu mengalami perubahan, tuntutan kebutuhan hidup tak cukup dipenuhi dari pertanian sawah “tadah hujan,” ditambah terjadinya pergeseran nilai moral dan dorongan rasa cemburu atas kelakuan aparat yang cenderung leluasa mengambil hasil hutan tanpa sanksi.  Selain itu, akibat tuntutan pasar, pembeli dan penadah ada di mana-mana, ditumpuk lagi dengan situasi politik nasional dan regional yang makin tidak menentramkan perekonomian masyarakat; sehingga mereka pun terdorong untuk ikut ambil bagian dalam penjarahan “harta negara.”
Langkah-langkah pengendalian keamanan berupa tindakan preventif dan represif tidak menunjukkan hasil memadai dan tidak mendorong masyarakat sadar terhadap perbuatannya, justru sebaliknya, muncul rasa dendam di antara mereka.  Sedangkan pemberdayaan masyarakat desa hutan (PMDH) dinilai terlambat, disebabkan terjadinya perubahan sosial dan pergeseran sistem nilai budaya masyarakat.
5.      2. Tawuran di Brebes dan Pati
Tawuran antar penduduk desa Pebatan dan desa Pesantunan di Kecamatan Wanasari, Brebes merupakan tradisi turun-temurun sejak pendudukan kolonial Belanda.  Namun tawuran tersebut tidak mengakibatkan korban jiwa: biasanya korban tawuran mengalami luka kecil hingga luka serius.
Sedangkan tawuran yang terjadi antar penduduk desa Sukolilo dan desa Wotan di Kecamatan Sukolilo, Pati terjadi pada tanggal 15 Oktober 1998. Kejadian itu diikuti serangkaian perkelahian massal lain secara kecil-kecilan pada beberapa hari sesudahnya dan mengakibatkan seorang korban meninggal dunia.
Tarik-menarik antara kepentingan politik dan ekonomi tidak menjadi penyebab tawuran di Brebes dan Pati ini. Tawuran yang mereka lakukan terjadi karena ketidakmampuan menjalin komunikasi dialogis antara warga masyarakat setempat. Jaringan komunikasi warga antar desa dilakukan beberapa saat setelah terjadinya tawuran.
            Faktor-faktor penyebab tawuran di kedua wilayah tersebut adalah:
            (1).  Di satu pihak, temperamen rata-rata warga masyarakat desa Pebatan di Brebes dan desa Wotan di Pati relatif tinggi. Di lain pihak, stereotipe warga desa Pesantunan dalam pandangan warga Pebatan kurang baik; demikian pula stereotipe warga desa Sukolilo menurut warga desa Wotan pun kurang baik.
            (2).  Pengaruh dari kebiasaan minum-minuman keras, pil koplo, dan berjudi sebagian penduduk desa-desa di Brebes dan di Pati tersebut di atas.
            Sementara itu ditemukan adanya variabel antara (intervening variable) dalam tawuran antar desa-desa tersebut, seperti
            (1).  Lunturnya kredibilitas aparat pemerintahan desa di mata masyarakat.
            (2).  Kurang memadainya kualitas jenjang pendidikan formal mayoritas penduduk desa setempat.
            (3).  Kurang memadainya pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
            (4).  Mudahnya warga desa tersebut terkena terpaan media massa, cetak dan elektronik, khususnya siaran televisi.
5.    3. Kerusuhan Sosial-Politik di Pekalongan dan Geger Kebumen
5.      3. 1. Kerusuhan Sosial-Politik di Pekalongan
Kerusuhan sosial-politik yang meluas terjadi di Pekalongan Selatan, Pekalongan, pada tanggal-tanggal 24-26 Maret, menjelang Pemilu 1997. Peristiwa mencekam dan mengorbankan harta-benda, jiwa dan raga warga masyarakat setempat itu dipicu oleh perebutan pengaruh politik dalam bentuk persaingan pemasangan lambang OPP (PPP vs Golkar) dan rencana penyelenggaraan panggung tablig akbar oleh Golkar di wilayah pengaruh mayoritas PPP.
Pada mulanya terjadi ketegangan dan bentrok antara aparat penertiban bendera yang bermaksud menurunkan bendera PPP dan warga pendukung PPP. Peristiwa itu berkembang menjadi kerusuhan sosial ketika panggung Golkar yang didirikan di depan Pondok Pesantren dibakar massa.  Selanjutnya makin berkembang kerusuhan sosial yang menjalar menjadi perusakan dan pembakaran toko, kios, bangunan kantor, serta kendaraan beroda dua dan beroda empat.
Keadaan menjadi lebih parah ketika diketahui bahwa pihak aparat Kotamadya dan Muspida tidak dapat memenuhi tuntutan warga setempat untuk memindahkan panggung yang menjadi titik sengketa. Ketidakberanian Walikota dan Muspida untuk mengambil keputusan memindahkan lokasi panggung disebabkan oleh “kebijaksanaan dari atas.”  Demikian pula upaya para kiai dan pengurus pondok pesantren agar panggung tablig akbar Golkar yang didirikan di depan pondok pesantren Al-Qur’an sebagai sumber konflik dipindahkan lokasinya, pun gagal karena alasan yang sama. Yang dimaksud “dari atas” adalah “kekuasaan yang lebih tinggi” dalam ABRI maupun pemerintahan.
Massa yang melakukan kerusuhan dan aktor intelektual (provokator) tidak dapat diidentifikasikan secara jelas. Mereka hanya dikenal sebagai perusuh dan aparat tak berani menentukan dari kelompok mana datangnya para perusuh itu. Dari situasi di lapangan terlihat jelas bahwa massa yang berkumpul dalam jumlah besar tidak mempercayai aparat pemerintah dan keamanan karena para aparat tersebut dinilai telah memihak OPP tertentu.
Arogansi kekuasaan politik yang bekerjasama dengan birokrasi pemerintahan dan arogansi kekuasaan ekonomi menjadi tema penyebab kerusuhan sosial-politik ini.  Peristiwa semacam ini diharapkan tidak terjadi lagi dengan dihentikannya praktek arogansi kekuasaan, terutama di lingkungan aparat pemerintah dan keamanan.  Komunikasi dan azas kemitraan antar kelompok masyarakat harus segera dikembangkan untuk menangkal kesalahpahaman, sikap saling curiga dan menang sendiri, tanpa memikirkan akibat yang terjadi dalam skala lokal yang meluas. Kesadaran tersebut harus segera diikuti langkah-langkah operasional yang konkrit dan terencana.
5.    3. 2. Geger Kebumen
Geger Kebumen dikenal sebagai sebutan untuk kerusuhan sosial yang terjadi di kota Kebumen pada 7 dan 8 September 1998. Berpuluh-puluh tahun menikmati ketenangan, tiba-tiba Kebumen dilanda kerusuhan sosial yang meliputi perusakan, pembakaran, dan penjarahan toko, kendaraan, dan harta-benda lain milik warga etnik Tionghoa.  Mengapa peristiwa itu terjadi di Kebumen?
Peristiwa kerusuhan sosial dengan korban etnik Tionghoa bukan peristiwa unik dan berdiri sendiri, melainkan bagian dari pola umum hubungan sosial antara etnik Tionghoa dan Pribumi yang sejak lama tidak harmonis. Tapi, peristiwa itu juga merupakan bagian dari rentetan peristiwa politik di tingkat nasional.
Yang membedakan kerusuhan di Kebumen dengan kerusuhan di tempat lain barangkali faktor pencetusnya, yakni menyebarnya isyu pemukulan terhadap pelayan toko onderdil “Rejo Agung” di Jalan Mayjen Sutoyo, yang memancing kemarahan massa.  Faktor pencetus ini menyulut potensi kerusuhan yang sejak lama terpendam dan siap meledak.  Keadaan ini dapat dikatakan sebagai penyakit hubungan sosial-ekonomi.
Sumber awal penyakit hubungan antara etnik Tionghoa dan pribumi adalah perlakuan berbeda dari pemerintah kolonial Belanda. Pada waktu itu, orang-orang Tionghoa mendapat perlakuan positif sehingga mereka mudah mengembangkan usaha dan menjadi kelas perantara antara penguasa kolonial dan pribumi. Dalam kehidupan sosial-politik dan hukum, kaum Tionghoa digolongkan dalam bangsa Timur asing.
Meski perlakuan istimewa ini mengendur di zaman Soekarno, disadari atau tidak, menguat kembali pada rezim Orde Baru yang mencanangkan “pembangunan ekonomi” dan menghasilkan para oportunis ekonomi, yakni penguasa sebagai sumber penentu kebijakan dan pengusaha/pedagang Tionghoa yang punya kemampuan dan jiwa dagang yang kuat. Sementara itu terjadi peminggiran potensi pribumi secara besar-besaran terutama dalam dunia usaha dan perdagangan.
Penyakit selanjutnya adalah kecenderungan hidup mengelompok pada orang-orang Tionghoa. Pengelompokan rumah tinggal, toko, dan pergaulan sesama Tionghoa merupakan cara memperoleh rasa aman, tapi cara demikian mendorong tumbuhnya eksklusivisme dan mempermudah mereka sebagai sasaran empuk bila terjadi huru-hara.
            Selain itu, gelombang reformasi yang menggelora untuk menumbangkan pusat kekuasaan telah menumbuhkan kondisi untuk timbulnya kerusuhan sosial terhadap etnik Tionghoa. Kedekatan mereka dengan kekuasaan dan penguasa dapat ditafsirkan sebagai kejatuhan bersama penguasa, karena mereka dipandang ikut menyumbang terjadinya berbagai ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat.
            Lazim pula dilihat bahwa kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar menumbuhkan kecemburuan sosial warga pribumi terhadap orang Tionghoa. Sebab itu, ketika penguasa jatuh dan perekonomian morat-marit, negara tidak bisa mengayomi kesejahteraan rakyat banyak, dan krisis sembako makin menghimpit. Sasaran kecemburuan menjadi sangat nyata di depan mata, yaitu masyarakat etnik Tionghoa yang dilihat menumpuk bahan makanan dan harta-benda, seperti yang terjadi di sejumlah toko di Kebumen.
            Oleh karena itu, langkah-langkah terapi sosial harus segera dilakukan, antara lain:
(1)           melakukan penanganan yang terencana, sistematis untuk jangka waktu yang panjang, dengan kemauan politik yang kuat dan terbuka dari pemerintah, untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya kerusuhan sampai ke akar-akar permasalahannya;
(2)           meniadakan berbagai kebijakan yang menyebabkan marginalisasi pribumi, baik dalam perekonomian lokal, regional maupun nasional, yang diikuti dorongan pemberdayaan masyarakat pribumi dalam usaha dan perdagangan serta industri secara berkesinambungan;
(3)           menghilangkan pandangan stereotipe masing-masing pihak melalui pendidikan dalam arti luas, agar dapat dicapai pemahaman bersama yang dapat digunakan acuan dalam jalinan hubungan antar warga Tionghoa dan pribumi;
(4)           mendorong terciptanya “jembatan-jembatan” yang lebih luas dan mantap, baik secara fisik maupun sosial-budaya, yang pada ujungnya memungkinkan terjadinya hubungan yang damai dan harmonis antara Tionghoa dan pribumi, tanpa menghilangkan identitas etnik masing-masing;
(5)           menciptakan pranata-pranata sosial yang saling menguntungkan kedua belah pihak, yang dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan, politik, dan keagamaan, yang menekankan pada pentingnya hidup bersama dalam ikatan saling membutuhkan atau saling menghidupi antara kedua belah pihak.
5.    4. Isyu Santet di Semarang dan Demak
5. 4. 1.  Ingon Kethek Ireng dan Pengadilan Massa di Rowosari, Semarang
Kekerasan sosial di Desa Rowosari, Kecamatan Tembalang, Semarang dapat dilihat sebagai merasuknya pengaruh informasi media massa ke dalam masyarakat dalam sisi yang negatif.  Peristiwa kekerasan muncul pada hari Sabtu malam, 12 September 1998, jam 21.00-24.00, ketika di dua lokasi, yaitu Dukuh Pengkol dan Dukuh Sumber Rejo, Desa Rowosari terjadi perusakan dan pembakaran 12 rumah dan bangunan milik H. Dardiri, oleh massa. Peristiwa tersebut bermula dari adanya “gangguan” kerukunan sosial dalam masyarakat yang normatif, dengan deskripsi berikut.
H. Sumali dan H. Pardi adalah dua orang kaya di Desa Rowosari yang mendapat tempat di hati masyarakat karena cara mendapat kekayaan dipandang tidak merugikan atau membahayakan orang lain. Sebaliknya, H. Dardiri adalah orang kaya yang dinilai bahwa cara, proses dan ekses dari kekayaan yang dimilikinya “tidak wajar” dan dapat menimbulkan risiko atau bahaya bagi orang lain.
Kerugian yang dirasakan warga masyarakat adalah timbulnya rasa cemas karena adanya ancaman “penyakit” dan “kematian” yang diakibatkan oleh keyakinan masyarakat bahwa Dardiri memelihara buto ijo (raksasa hijau) atau kethek wulung (kera hitam) yang setiap saat bisa mencelakakan orang lain. Keyakinan ini melahirkan kemarahan massa yang menghubungkan antara penyakit atau kematian yang dialami warga ada hubungannya dengan “peliharaan” Dardiri yang dapat mencelakakan itu. Sehingga terjadi perusakan dan pembakaran rumah dan bangunan milik H. Dardiri pada malam hari oleh massa.
5.      4. 2. Isyu Santet dan Pengadilan Massa di Donorojo, Demak
Persis sebulan setelah peristiwa pembakaran rumah dan bangunan milik Dardiri di Rowosari, Semarang, pada hari Minggu malam, 11 Oktober 1998 jam 19.00 di Dukuh Manyar, Desa Donorojo, Demak terjadi peristiwa yang merenggut korban jiwa secara mengenaskan. Malam itu cuaca begitu buruk, hujan begitu deras dan guntur terdengar menggelegar berkali-kali. Kiai Rahmadi sedang mengumandangkan iqamat di mushalla yang berdiri di samping depan rumahnya, untuk shalat ‘Isya, ketika secara tiba-tiba sejumlah warga memasuki mushalla, lalu dari belakang mengalungkan tali plastik di leher Rahmadi.  Kiai itu diseret ke luar beramai-ramai, melewati jalan pedukuhan sampai di pertengahan dukuh, dan menghembuskan nafas terakhir di tengah jalan.
            Sebagian besar masyarakat desa ini adalah petani yang beragama Islam, dengan berbagai aktifitas keagamaan yang relatif menonjol, seperti pengajian rutin, sholat berjamaah di mushalla, tahlilan, berzanjen, dan manaqiban – sekaligus indikasi keNUan.  Dalam masyarakat demikian pada lazimnya status dan peran kiai menonjol, sebagai tokoh elit agama bagi masyarakat, bahkan bisa memiliki kewenangan yang lebih dari kewenangan tokoh formal seperti Kepala Desa. Status demikian menimbulkan kebanggaan bagi penyandangnya, tapi juga menimbulkan persaingan baru bagi orang lain.
Kiai Rahmadi mendapat posisi elit dalam NU sebagai Rais Syuriah. Dengan posisi itu, Rahmadi yang pernah belajar ilmu tarekat di pondok pesantren di Mranggen, terkondisi untuk melihat hubungan antara mursid dan murid dalam ketarekatan yang diterapkan dalam masyarakat umum. Sikap demikian menimbulkan tidak saja rasa kurang simpati melainkan juga kecaman dari kiai-kiai lain yang lebih senior, sehingga dapat dikatakan bahwa Rahmadi gagal menciptakan hubungan harmonis dengan santri atau warga setempat. Berkaitan dengan ini, pada masa kampanye Pemilu 1997, Rahmadi yang aktifis PPP mendapat “lawan” dari mereka yang menjadi pendukung Golkar. Kekalahan PPP di desa Donorojo tidak lepas dari figur Rahmadi yang kurang mendapat simpati dari masyarakat.
Dalam konteks tindak kekerasan, Rahmadi dikenal bisa membantu mengobati warga yang sakit, secara “wajar” maupun “tak wajar.” Posisi ini kemudian membawa ancaman bagi dirinya, karena dia gemar menyatakan bahwa dirinya bisa membuat orang lain jatuh sakit, sehingga Rahmadi dapat kelihatan “menakutkan” – tapi justru dengan demikian dia dapat “diancam” karena prasangka buruk masyarakat terhadapnya.  Ancaman terhadap Rahmadi makin kuat ketika berulangkali dia menyatakan bisa memberi “pelajaran” orang lain dan sejumlah warga yang jatuh sakit dan meninggal adalah mereka yang pernah bertengkar dengannya.
Rasa keadilan warga menuntut nyawa dibalas nyawa. Pada situasi yang rumit demikian tidak muncul pihak yang mampu menetralisir arogansi Rahmadi yang berhadapan dengan kebencian warga, sehingga kendati mestinya dia menjadi figur yang dihormati, sikap arogannya tak dapat menyelamatkan dirinya.

6.    Simpulan
(1).  Penelitian ini membagi gejala antagonisme sosial ke dalam 4 (empat) kategori, yakni (a) kerusuhan sosial dan politik yang diwarnai penjarahan barang-barang seperti yang terjadi di Solo dan Blora, serta Pekalongan; (b) kerusuhan sosial dalam bentuk tawuran seperti di Brebes dan Pati; (c) kerusuhan sosial murni hampir tanpa penjarahan seperti di Kebumen; dan (d) kerusuhan sosial yang berkaitan dengan isyu santet atau semacamnya, seperti di Rowosari, Semarang dan Donorejo, Demak.
(2). Faktor-faktor penyebab dan pemicu kerusuhan sosial di berbagai daerah berbeda-beda dan tidak tunggal, tapi pada umumnya bernuansa kesenjangan sosial-ekonomi, dan tidak mendadak, melainkan terpendam dalam waktu yang relatif lama.
(3).  Faktor-faktor penyebab kerusuhan sosial di Solo dan di Randublatung, Blora sangat kompleks, meliputi kesenjangan ekonomi, yang bercampur dengan perbedaan persepsi dan nilai-nilai budaya, serta ketidakpercayaan terhadap aparat; demikian pula yang terjadi di Kebumen dan Pekalongan. Hanya, peristiwa yang terjadi di Pekalongan sangat jelas bahwa pemicu utamanya adalah konflik yang menajam antar pendukung kelompok politik di era Orde Baru. Tawuran antar desa atau dukuh di Brebes dan di Pati lebih disebabkan oleh pertengkaran intern antar warga yang relatif bertemperamen tinggi sehingga mudah tersulut konflik fisik.
(4).  Keberanian massa untuk menuntut balas secara sepihak dengan pengadilan massa menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan, yang jika tidak disembuhkan dapat melahirkan pola kemasyarakatan yang anarkis, seperti yang terjadi dengan isyu santet yang membawa korban nyawa di Donorejo, Demak dan korban harta-benda di Rowosari, Semarang.
Terima kasih atas perhatiannya.

Daftar Pustaka


Bernard, H.  Russell.  1994.  Research Methods in Anthropology – Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks: Sage.

Brannen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Alih Bahasa: H. Nuktah Arwafie Kurde, dkk.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dalgish, Gerard M. Ed.  1997.  Webster’s Dictionary of American English.  New York: Random House.

Duverger, Maurice. 1998 (1972). Sosiologi Politik. Terjemahan Daniel Dhakidae.  Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:  Gramedia.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures.  New York:  Basic Books.

Giddens, Antony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity.

Harris, Marvin. 1978a (1974). Cows, Pigs, Wars and Witches: The Riddles of Culture. New York: Vintage.

________. 1978b (1977). Cannibals and Kings: The Origins of Cultures. New York: Random House.

Jary, David dan Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.

TPJT (Tim Peneliti Jawa Tengah). 1998. Sistem Nilai Sosial Budaya Masyarakat – Studi tentang Santet dan Kerusuhan Sosial di Jawa Tengah. Laporan Penelitian


[1] Penelitian lapangan di Solo dilakukan oleh Darmanto Jatman & Adriani Sumampouw; di Randublatung, Blora oleh Agus Maladi Irianto; di Wanasari, Brebes dan Sukolilo, Pati oleh Novel Ali & Agus Ali; di Pekalongan dan Kebumen oleh Nurdien H. Kistanto, Tjetjep R. Rohidi, dan Heddy Lugito; di Rowosari, Semarang dan Donorojo, Demak oleh Mudjahirin Thohir & Sonya H. Sinombor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar