Kamis, 14 Januari 2010

Ki Sulhaspati Membangun Budaya Keperwiraan di Kaki Bukit Tidar

Ki SULHASPATI
- Membangun Budaya Keperwiraan
di Kaki Bukit Tidar
I. Pendahuluan
Buku Ki Sulhaspati: Pengabdian dan Perjuangan ini disusun pertama-tama untuk ”mengenang kembali peristiwa-peristiwa dan mengambil makna yang terkandung dalam kurun waktu” para Taruna Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang Angkatan masuk 1958 dan 1959 sampai 1962 dan 1963 mengalami transformasi dan menjalani gemblengan fisik dan mental dalam rangka membangun budaya keperwiraan di kaki Bukit Tidar Magelang. ”Ki Sulhaspati” adalah Paguyuban Kompi Sulhaspati, yang merupakan himpunan dan singkatan dari mantan Taruna Kompi Sultan Agung, Kompi Hasanuddin dan Kompi Pattimura, yakni nama-nama dari kompi Taruna AMN. Sifat dan tujuan paguyuban ini tidak untuk kepentingan politik dan status sosial melainkan silaturrahmi .
II. Transformasi dan Gemblengan
Transformasi yang dialami para Taruna meliputi perubahan pola dan gaya hidup kaum muda dari kehidupan remaja akhir lulusan SMA yang ”bebas” ke pola dan gaya hidup asrama militer yang menuntut kedisiplinan dan penuh dengan aturan untuk membangun budaya keperwiraan. Para pemuda yang kemudian menjadi taruna AMN pada waktu itu digambarkan sebagai berikut:
”Para pelajar SMA B (jurusan ilmu pasti dan alam) tahun 1959 pada umumnya mempunyai cita-cita masuk perguruan tinggi seperti kedokteran dan teknik untuk menjadi dokter maupun insinyur. Akan tetapi keadaan sosial ekonomi keluarga kebanyakan tidak mendukung cita-cita tersebut dan memilih untuk memasuki perguruan tinggi atau akademi yang menyediakan bea siswa. Bagi keluarga guru, pegawai negeri, petani, pedagang, tentara dari mana mereka sebagian besar berasal, menyekolahkan anak sampai lulus SMA sudah dianggap cukup dan selanjutnya mereka harus bekerja atau ke sekolah yang lebih tinggi tetapi dengan biaya ringan atau mendapat bea siswa” .

Keputusan para lulusan SMA untuk menjadi Taruna AMN di Magelang beragam. Beberapa di antaranya memilih AMN sebagai lembaga pendidikan terbaik, bahkan ada calon dokter angkatan darat (Rasyid Ritonga) dan mahasiswa Fakultas Kedokteran (Susanto) yang pindah ke AMN. Sebagian lain karena terpengaruh kehidupan familinya yang berjuang melawan Belanda atau sudah menjadi anggota tentara. Beberapa lagi karena tertarik melihat keindahan pakaian seragam dan kegagahan para taruna AMN, dan ada pula yang memilih AMN karena memberikan pendidikan gratis sehingga meringankan beban keluarga.
”Setelah melalui berbagai ujian saringan administrasi, fisik, akademik dan psychologi, maka terpilihlah sebanyak 111 calon taruna AMN tahun 1959. Dengan berbagai latar belakang suku, agama, ras dan golongan tetapi dengan tujuan yang sama untuk berkarier di lingkungan Angkatan Darat, para pelajar SMA B dari seluruh Indonesia datang ke Magelang untuk dididik menjadi taruna Akademi Militer Nasional.”

Kol. Sentot Iskandardinata yang menjabat Gubernur AMN mulai 5 Agustus 1959 menerima para calon Taruna angkatan ketiga Magelang dari Panitia Seleksi (Direktur Ajudan Jenderal) Letnan Kolonel Gondodipuro untuk dididik di lembah Tidar. Kemudian mereka digembleng untuk ”menjadi prajurit calon pemimpin kesatuan yang terorganisir dan mementingkan kekompakan ... dengan cara yang sistematis dan terarah.”
Selain ketahanan mental yang dibentuk sejak awal mereka masuk AMN, kerjasama dan solidaritas sesama taruna juga dibangun melalui kehidupan sehari-hari sampai saat tidur pun mereka harus memakai piyama dengan terbalik, dengan kancing baju berada di belakang punggung sehingga tanpa bantuan teman mereka tidak mungkin mengancingkannya. Sedang tidur nyenyakpun mereka dibangunkan sekedar untuk apel dan tidur lagi.
III. Gambaran Kesejahteraan Sosial & Kejujuran
Demikianlah 111 orang muda, yang berbeda asal dan adat kebiasaan, menjadi satu kesatuan yang kompak bersaudara dan siap menjalani hidup bersama dalam lingkungan akademi militer. Tidak ada perbedaan perlakuan terhadap mereka dari latar belakang kaya atau miskin, atau pun derajat sosial dan status yang tinggi dan rendah, disiplin merupakan hal yang mutlak agar organisasi dapat berjalan. Latihan fisik terus menerus dengan menu makanan yang baik membentuk tubuh yang kuat dan tahan banting. Berat badan mereka rata-rata naik dengan kekuatan otot yang mengeras, bukan lagi pemuda loyo melainkan gagah dengan dada bidang yang menonjol, dagu ditarik, mata menatap lurus ke depan dan berdiri tanpa berkedip. Itulah profil para calon taruna angkatan ketiga AMN Magelang.
Selama tahun pertama di Akademi setiap bulan para Taruna mendapat jatah natura dan bahan kebutuhan hidup berupa rokok Kartika (CIAD) satu slof (dipelesetkan dengan Cigaret Iki Aja Didol, rokok ini jangan dijual), sabun mandi, sabun cuci, sikat gigi, odol; 1 kaleng margarine Palmboom, gula, kopi dan teh. Natura dan bahan kebutuhan hidup itu biasanya tidak terpakai habis sehingga bisa dibawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh ketika cuti. Selain itu, selama tingkat satu para Taruna mendapat uang saku Rp. 125,- per bulan (sebagai perbandingan, harga karcis bioskop kelas satu di Magelang adalah Rp. 3.50).
Untuk melatih, menjaga, dan menguji kejujuran taruna, akademi menyelenggarakan penjualan makanan di kantin dengan cara honor system, tanpa penjaga, yakni taruna mengambil dan membayar sendiri. Sistem ini berjalan baik tapi kemudian berhenti karena ada kesulitan dalam masalah uang receh untuk pengembalian yang tidak selalu tersedia.
Semua ”ajaran” dan ”tradisi” itu seharusnya menjadi landasan moral dan mental para taruna kelak mereka menjadi pempimpin tidak saja di lingkungan kemiliteran melainkan di lingkungan masyarakat yang lebih luas. Bagaimana pun, manusia beserta kualitas manusia dan bukan semata-mata alat atau wadah yang menentukan keberhasilan seorang pemimpin; demikian pula yang terjadi dalam kemiliteran, sebagaimana amanat yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada akhir pidato tanpa teks dalam melantik 112 lulusan Sersan Mayor Taruna menjadi Letnan Dua Angkatan Darat pada tanggal 20 Desember 1962:
”It is not the gun, but the men behind the gun. Even not the men under the dress, but the men under the skin who will win the war.”
Filsafat militer yang sangat mengena sampai pada abad ke 21 ini.
IV. Penutup: Membangun Budaya Keperwiraan
Demikianlah di lembah Tidar AMN menjadi lembaga pendidikan dan pelatihan militer yang handal yang menghantarkan para Taruna angkatan ”Ki Sulhaspati” menapaki karier yang kelak mewarnai dinamika dan kemajuan bangsa dengan bidang pekerjaan dan kepemimpinan profesional tidak hanya di bidang kemiliteran melainkan juga di bidang politik dan pemerintahan, serta bidang-bidang lainnya. AMN mencetak dan menghantarkan para taruna ”Ki Sulhaspati” menjadi elit dan pemimpin bangsa dan masyarakatnya di berbagai bidang pengabdian dan perjuangan.
Dari buku Ki Sulhaspati: Pengabdian dan Perjuangan, para pembaca belajar dan memetik nilai-nilai yang sangat dibutuhkan bangsa, tidak hanya nilai-nilai keprawiraan, keperwiraan, kewiraan, ketentaraan, dan kejuangan yang mengandung amalan kedisiplinan, keberanian, kesiap-siagaan, bela negara, ketahanan fisik dan mental, dan kegagahan, melainkan juga amalan keteguhan, ketangguhan, kepatriotan, ketegasan, dan keberbaktian yang membutuhkan semangat kerjasama, kesetiakawanan, kekompakan dan kesetiakawanan. Dengan nilai-nilai luhur dan sangat dibutuhkan itu kiranya kelak ”Ki Sulhaspati” mewasirkan estafet pengabdian dan perjuangannya kepada para penerus bangsa. Wassalam (NHK).***
Semarang, Selasa, 18 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar