Kamis, 14 Januari 2010

Translation of Katherine Anne Porter’s That Tree into Indonesian Pohon Itu

That Tree
He had really wanted to be a cheerful bum lying under a tree in a good climate, writing poetry. He wrote bushel basketful of poetry and it was all no good and he knew it, even while he was writing it. Knowing his poetry was no good did not take away much from his pleasure Indonesia it. He would have enjoyed just that kind of life: no respectability, no money to speak of, wearing worn out sandals and a becoming, if probably ragged, blue-shirt, lying under a tree writing poetry. That was why he had come to Mexico Indonesia the first place. He had felt Indonesia his bones that it was the country for him. Long after he had become quite an important journalist, an authority on Latin-American revolutions and a best seller, he confessed to any friends and acquaintance who would listen to him - he enjoyed this confession, it gave him a chance to talk about the thing he believed he loved hest, the idle free romantic life of a poet – that the day Miriam kicked him out was the luckiest
Pohon Itu
Lelaki itu benar-benar ingin menjadi gelandangan periang yang berbaring di bawah sebatang pohon dalam udara yang cerah sambil menulis puisi. Dia menulis puisi sekeranjang penuh dan semuanya tidak bagus dan dia tahu hal itu, bahkan selagi dia menulis puisi itu. Sekalipun dia tahu bahwa puisinya tidak bagus, hal itu tidak mengurangi kesukaannya pada puisi. Dia sudah terlanjur menyukai jenis kehidupan semacam itu, tanpa pertanggungjawaban, tanpa uang untuk diandalkan, dengan mengenakan sandal usang dan baju biru, yang meskipun rombeng tapi pantas, berbaring diatas sebatang pohon, menulis puisi. Mula-mula itulah yang mendorongnya datang ke Meksiko. Dia merasa dengan pasti bahwa itulah tanah air baginya. Lama sejak dia menjadi wartawan terkemuka,. Seorang yang berpengaruh atas pergolakan-pergolakan bangsa Amerika Latin dan seorang yang sangat populer, dia mengaku pada beberapa teman dan kenalan yang suka mendengarkannya - dia menyukai akuan ini, pengakuan yang memberinya kesempatan untuk membicarakan tentang hal yang dia percaya paling dia gemari, kehidupan romantik bebas dan bermalas-malasan dari seorang penyair – bahwa hari ketika Miriam mendepaknya merupakan hari yang paling baik

day of his life. She had left him, really, packing up suddenly In a cold quiet fury, stabbing him with her elbows when he tried to get his arms around her, now and again cutting him to the bone with a short sentence expelled teeth; but he felt that he had been, as he always explained, kicked out. She had kicked him out and it had served him right.
The shock had brought him to himself as if he had been surprised out of a long sleep. He had sat quite benumbed Indonesia the bare clean room, among the straw mats and the painted Indian chairs Miriam hated, In the sudden cold silence, his head In his hands, nearly all night. It hadn’t even occurred to him to lie down. It must have been almost daylight when he got up stiff in every joint from sitting still so long, and though he could not say he had been thinking yet he had formed a new resolution. He had started out, you might almost say that very day, to make a career for himself in journalism.
Dari kehidupannya. Miriam telah meninggalkannya, sungguh-sungguh, secara mendadak membungkus semua miliknya dalam keadaan marah yang tenang dan dingin, menyodoknya dengan sikut ketika lelaki itu mencoba untuk menggamit tubuhnya, sekali-kali menyakitinya dengan kalimat singkat yang diucapkannya melalui gerahamnya yang terkatup; dia hanya merasa bahwa dirinya telah tersepak, sebagaimana selalu dijelaskannya. Perempuan itu telah mendepaknya dan kejadian itu memang sepatutnya bagi lelaki itu.
Goncangan itu menyadarkan dirinya seolah-olah dia dikejutkan dari tidurnya yang panjang. Dia duduk lumpuh tidak berdaya di dalam ruang bersih yang kosong, diantara tikar-tikar jerami dan kursi-kursi indian berlukis yang dibenci Miriam, dalam kesunyian dingin yang serta merta, kepalanya dalam rengkuhan tangan-tangannya, hampir sepanjang malam. Keadaan itu bahkan tak menyempatkan dirinya untuk berbaring. Pastilah sudah menjelang siang bila dia bangun dengan rasa kaku disetiap sendi setelah duduk terpaku begitu lama, dan meskipun tidak dapat diungkapkannya dengan kata, dia masing beranggapan bahwa dia telah menyusun suatu keputusan baru. Lelaki itu telah memulai, hari yang hampir boleh dikatakan bersejarah itu. Untuk merintis karir baginya sendiri dalam jurnalistik.

He couldn’t say why he had hit on that, except that the word would impress his wife, the work was just intellectual enough to save his self – respect, such as it was, and even to him it seemed a suitable occupation for a man such as he had suddenly become, bent on getting on in the world of affairs. Nothing ever happens suddenly to anyone, he observed, as if the thought had just occurred to him it had been coming on probably for a long time, sneaking up on him when he wasn’t looking. His wife had called him “parasite!” she had said “ne’er do well” and as she repeat ed these things for what proved to be the last time, it struck him she had said them often before, when he had not listened to her with the ear of his mind. He translated these relatively harmless epithets instantly into their proper synonyms of loafer! and bum! Miriam had been a schoolteacher, and no matter what her disappointments and provocations may have been, you could not expect her easily to forget such discipline.
Tak dapat dikatakannya kenapa pilihannya kebetulan jauh dari bidang itu, kecuali perkataan itu mengesankan istrinya, pekerjaan itu cukup berkesan terpelajar untuk menyelamatkan harga dirinya, begitulah, dan bahkan menurut pandangannya nampaknya itu merupakan pekerjaan yang sesuai bagi seseorang seperti yang telah dialaminya secara tiba-tiba, bertekad mengikuti terus dunia peristiwa-peristiwa. Menurut pengamatannya, tidak ada yang pernah terjadi secara tiba-tiba atas diri seseorang, seakan-akan pikiran itu baru saja didapatkannya; padahal mungkin itu telah lama datang mendekat padanya, menyelinap dalam dirinya ketika dia tidak melihatnya. Istrinya menyebutnya “benalu!” dia katakan “sampah!” dan seperti yang selalu diulang-ulangnya pada akhirnya hal-hal itu terbuktilah, sehingga memberi kesan padanya bahwa perempuan tiu seringkali mengatakannya sebelumnya, manakala dia tidak mendengarkannya dengan telinga akalnya. Dia menterjemahkan kata-kata sifat yang relatif tidak menyakitkan inibegitu saja ke dalam sinonim-sinonimnya yang mestinya penganggur! Dan gelandangan! Miriam bekas guru sekolah, dan tidak memperdulikan kekecewaan-kekecewaan dan profokasi-profokasi sendiri yang mungkin terjadi, kau tidak dapat dengan mudah mengharapnya untuk melupakan kepatuhan semacam itu.

She had got into a professional habit of primness; besides, she was a properly brought-up girl, not a prissy bore, not at all, but a – well, there you are, a nicely brought – up middle-western girl, who took life seriously. And what can you do about that? She was sweet and gay and full of little crazy notions, but she never gave way to them honestly, or at least never at the moment when they might have meant something. She was never able to see the amusing side of a threatening situation which, taken solemnly, would ruin everything. No, her sense of humor never worked for salvation. It was just an extra frill on what would have been a good time anyhow.


He wondered if anybody had ever thought – oh, well, of course everybody else had, he was always making marvelous discoveries that other people had know all along – how impossible it is to explain or to make other eyes see the person you love. There was such a special kind of beauty in Miriam.
Dia telah memiliki kebiasaan untuk rapi yang mendarah daging; selain itu, dia adalah seorang gadis yang terdidik dengan baik, bukan seorang yang sopan-santunnya terlalu menjemukan, bukan sama sekali,tapi seorang- yah, begitulah, gadis dari bagian barat tengah yang terdidik dengan manis, yang menanggapi kehidupan secara serius. Dan apa yang bisa kau perbuat tentang itu? Dia manis dan periang dan penuh dengan buah-buah pikiran kecil yang bukan-bukan, tetapi dia tidak pernah membuka jalan bagi buah-buah pikiran itu secara jujur, atau paling tidak tak pernah sekalipun manakala buah-buah pikiran itu mungkin mengandung arti sesuatu. Perempuan itu tidak pernah mampu melihat segi yang menyenangkan dari suatu keadaan mengancam yang, ambillah sewajarnya, akan menghancurkan segalanya. Tidak, rasa humornya tak pernah bekerja demi keselamatan. Bagaimanapun juga rasa humor itu sekedar hiasan tambahan bagi apa yang terjadi di waktu yang menyenangkan saja.
Lelaki itu bertanya diri apakah seseorang pernah berpikir – oh ya, tentu setiap orang juga berpikir bahwa dia selalu membuat penemuan-penemuan hebat yang dikenal orang-orang lain selama itu – betapa tidak mungkinnya untuk menjelaskan atau membikinnya orang lain tahu akan sifat-sifat istimewa dalam pribadi orang yang engkau cintai. Ada semacam jenis kecantikan yang khas dalam diri Miriam.

In certain lights and moods he simply got a clutch in the pit of his stomach when he looking at her. It was something that could happen at any hour of the day, in the midst of the most ordinary occupations. He thought there was something to be said for living with one person day and night the year round. It brings out the worst, but it brings out the best, too, and Miriam’s best was pretty damn swell. He couldn’t describe it. It was easy to talk about her faults. He remembered all of them, he could add them up against her like rows of figures in a vast unpaid debt. He had lived with her for four years, and even now sometimes he woke out of a sound sleep in a sweating rage with himself, asking himself again why he had ever wasted a minute on her. She wasn’t beautiful in his style. He confessed to a weakness for the kind that knocks your eye out. Her nation of daytime dress was a tailored suit with a round-collared blouse and a little felt hat like a bent shovel pulled down over her eyes.

Dalam keadaan dan suasana hati tertentu lelaki itu hanya memegangi lekuk perutnya bila dia menatap perempuan itu. Itu merupakan hal yang dapat terjadi kapan saja di sepanjang hari, di tengah-tengah kesibukan yang paling biasa sehari-hari. Dia pikir ada sesuatu yang harus dibicarakan untuk hidup bersama dengan diri seseorang siang dan malam sepanjang tahun. Yang membawa sesuatu yang terburuk, akan tetapi sesuatu yang terbaik pula, dan yang terbaik dari Miriam adalah sesuatu yang memang paling baik. Lelaki itu tak mampu mengungkapkannya. Sangatlah mudah untuk membicarakan cacat-cela perempuan itu. Dia ingat semuanya, dia dapat menghitungnya semua di hadapan perempuan itu seperti deretan angka-angka dalam sejumlah hutang menggunung yang tak terbayarkan. Dia telah hidup bersama perempuan itu selama empat tahun, dan bahkan sekarang kadang-kadang dia terbangun dari tidur yang nyenyak dalam keadaan marah diri yang meresahkan, sambil kembali bertanya diri kenapa dia saat itu terlalu lekat pada perempuan itu. Dia tidak cantik menurut citarasa lelaki itu. Lelaki itu mengakui suatu kelemahan yang memaksa mata anda terbelalak. Pengertian perempuan itu tentang pakaian siang adalah stelan terjahit dengan blus berkerah bundar dan sebentuk topi lakan kecil seperti sekop bengkok yang tertarik ke bawah di atas matanya.
In the evening she put on a black dinner dress, positively disappeared into it. But she did her hair well and had the most becoming nightgowns he ever saw. You could have put her mind in peanut shell. She hadn’t temperament of the kind he had got used to in the Mexican girls. She did not approve of his use of the word temperament, either. She thought it was a kind of occupational decease among artist, or a trick they practiced to make themselves interesting. In any case, she distrusted artist and she distrusted temperament. But there was something about her. In cold blood he could size her up to himself, but it made him furious if anyone even hinted a criticism against her. His second wife had made a point of being catty about Miriam. In the end he could almost be willing to say this had let to his second devorce. He could not bear hearing Miriam called a mousy little nitwit – at least not by that woman …


Di petang hari dia mengenakan pakaian makan malam berwarna hitam, yang tentu tenggelam ke dalamnya. Tapi perempuan itu menata rambutnya dengan rapi dan memiliki gaun malam terpantas yang pernah dilihat lelaki itu. Anda dapat memasukkan jalan pikiran perempuan itu ke dalam kulit kacang. Dia tidak memiliki jenis perangai yang biasa dijumpai lelaki itu dalam diri gadis-gadis Meksiko. Dia juga tidak menyetujui perkataan perangai yang digunakan oleh lelaki itu. Dia pikir itu merupakan jenis penyakit yang bercokol diantara para artis, atau suatu muslihat yang mereka lancarkan untuk membuat diri mereka menarik. Bagaimanapun juga, dia merasa curiga pada artis-artis dan tidak percaya pada perangai. Tapi ada sesuatu tentang perempuan itu. Dengan tenang lelaki itu dapat mengukur perempuan itu bagi dirinya, namun dua menjadi berang jika seseorang sekalipun hanya menyindirkan celaan saja pada perempuan itu. Istrinya yang kedua telah bersikeras untuk membenci Miriam. Lama-kelamaan dia hampir berniat untuk mengucapkan bahwa ini membawanya menuju ke perceraiannya yang kedua. Lelaki itu tidak tahan mendengar Miriam disebut si dungu kecil seperti tikus - setidak-tidaknya bukan oleh wanita itu …


They both jumped nervously at an explosion in the street, the backfire of an automobile.
“Another revolution,” said the fat scarlet young man in the tight purplish suit, at the next table. He looked like a parboiled sausage ready to burst from its skin. It was the oldest joke since the Mexican independence, but he was trying to look as if he had invented it. The journalist glanced back at him over a sloping shoulder. “Another of those smart-cracking newspaper guys,” he said in a tough voice, too loudly on purpose, “sitting around the Hotel Regis lobby wearing the spittoons.”
The smart-cracker swelled visibly and turned a darker red. “who do think you’re talking about, you banjo-eyed chinless wonder, you?” he asked explicitly, spreading his chest across the table.
“Somebody way up, no doubt,” said the journalist, in his natural voice, “somebody in with the government, I’ll bet”


Mereka berdua melompat dengan gugup karena letusan di jalan raya,
Letupan gas sebuah mobil.
“Revolusi lagi,” kata lelaki muda gemuk berkulit merah dalam stelan warna ungu yang ketat, di meja sebelahnya. Dia nampak seperti sosis setengah matang yang siap untuk pecah dari kulitnya. Ungkapan itu merupakan kelakar usang sejak kemerdekaan Meksiko, tapi dia sedang berusaha agar kelihatan seolah-olah dia yang menemukannya. Wartawan itu menoleh padanya melalui atas bahu yang miring. “seorang lagi dari bujang-bujang koran yang berkelakar jenaka,” katanya dalam suara yang kasar, dengan sengaja begitu keras, “yang duduk mengelilingi lobi Hotel Regis mengenakan tempolong-tempolong.”

Orang yang berkelakar dengan jenaka itu tampak besar kepala dan menjadi merah padam. “kau pikir siapa yang sedang kau bicarakan, ketahuilah kau si tanpa dagu bermata banyo, he?” dia bertanya dengan tegas, merentangkan dadanya di seberang meja.

“Pasti, ada orang atasan,” kata wartawan itu, dalam suaranya yang wajar, “orang yang ada hubungannya dengan pemerintah, pastilah.”




“Dyuhwana fight?” asked the newspaper man, trying to unwedge himself from between the table and his chair, which sat against the wall.
“Oh, I don’t mind,” said the journalist, “if you don’t.”
The newspaper man’s friends laid soothing paws all over him and held him down. “Don’t start anything with that shrimp,” said one of them, his wet pink eyes trying to sober and responsible. “for crisesake, Joe, can’t you see he’s about half your size and a feeb to boot? You wouldn’t hit a feeb, now Joe, would you?”
“I’ll feeb him,” said the newspaper man, wiggling faintly under restraint.
“Senores’n, senores’n,” urged the little Mexican waiter, “there are respectable ladies and gentlemen present. Please, a little silence and correc behaviour, please.”
“Who the hell are you, anyhow?” the newspaper man asked the journalist, from under his shelter of hands, around the thin from of the waiter.

“Hei, mau berantem ya?” tanya orang koran itu sambil berusaha untuk melepaskan diri dari antara meja dan kursinya yang terletak dekat sekali dengan tembok.

“Oo, saya tak keberatan,” kata wartawan itu, “jika kau juga tidak.”
Teman-teman orang koran itu meredakan dan menenangkan semua tingkahnya yang kasar dan menahannya. “jangan memulai perkara dengan udang itu,” kata seorang diantaranya, matanya yang radang basah diusahakan supaya nampak tenang dan bertanggungjawab. “Demi Kristus, Joe, bisa kau lihat bukan, tubuhnya hampir separomudan orang lemah pula? Joe, kini kau takkan memukul si lemah bukan?”

“Saya akan membuatnya lemah,” kata orang koran itu, terhuyung-huyung sulit menahan diri.

“Tuan-tuan, tuan-tuan,” desak pelayan Meksiko yang kecil perawakannya itu, “ada orang-orang terhormat hadir disini. Diharap sedikit tenang dan bersikap sopan, ya.”

“Siapa gerangan kamu, he?” orang koran itu bertanya pada si wartawan, dari bawah naungan tangan-tangannya, di seputer badan kursus pelayan itu.

“Nobody you’d wanta know, Joe,” said another of his pawing friends. “Pipe down now before these greasers turn in a general alarm. You know how liable they are to go off when you least expect it. Pipe down, now, Joe, now you just remember ber what happened the last time, Joe. Whaddayah care, anyhow?”
“Senores’n,” said the little waiter, working his thin outspread mahogany colored hands up and down alternately as if they were on sticks, “it is necessary it must cease or the senores’n must remove themselves.”
It did cease. It seemed to evaporate. The four newspaper men at the table subsided, cluttered in circle with their heads together, muttering into their highballs. The journalist turned back, ordered another round of drinks, and went on talking, in a long voice.
He had never liked this café, never had any luck in it. Something always happened here to spoil his evening. If there was one brand of bum on earth he despised, it was a newspaper bum.
“Tak seorang pun ingin kau kenal, Joe,” kata seorang dari teman-temannya yang kasar itu. “Sekarang jangan ribut sebelum tukang-tukang semir itu menjadi gaduh semua. Kau tahu betapa terikatnya mereka harus enyah bila sedikit saja engkau menghendakinya. Sekarang jangan ribut, Joe, sekarang kau ingat saja apa yang terjadi baru saja, Joe. Apa yang kau risaukan, he?”

“Tuan-tuan,” kata pelayan tadi, mengerak-gerakkan tangan-tangannya yang kurus berwarna mahoni itu lebar-lebar ke atas bawah secara bergantian bagaikan tongkat-tongkat, “keributan ini harus berakhir atau tuan-tuan harus menyingkirkan diri.”

Diam. Nampaknya seperti menguap. Empat orang koran di meja sebelah itu menjadi diam dan berkerumun dalam suatu lingkaran dengan kepala-kepalanya berdekatan, mulutnya komat-kamit dalam gelas wiski soda mereka masing-masing. Wartawan yang tadi itu kembali, memesan minum lagi, dan meneruskan percakapan, dalam suara rendah.
Lelaki itu tak pernah menyukai kafe ini, teak pernah ada yang menguntungkan di dalamnya. Selalu ada yang terjadi di sini untuk merampas waktu petangnya. Jika ada satu cap gelandangan di bumi ini yang dia pandang rendah, itulah gelandangan koran.

Or anyhow the drunken illiterates the united press and associated press seemed to think were good enough for mexico and south america. They were always getting mixed up in affairs that were none of their business, and they spent their time trying to work up trouble somewhere so story out of it. They were always having to be thrown out on their ears by the government. He just happened to know that the bum at the next table was about due to be deported. It had been pretty safe to make that crack about how he was no doubt way up in Mexican official esteem …. He thought that would remind him of something, all right.
One evening he had come here with Miriam for dinner and dancing, and at the very next table sat four fat generals from the north, with oxhorn mustaches and big bellies and big belts full of cartridges and pistols. It was in the old days just after obregon had taken the city, and the town was crawling with generals. They infested the steam baths,

Atau bagaimana pun juga united Press dan Associated Press menganggap bahwa orang-orang buta huruf yang mabuk adalah cukup memadai bagi Meksiko dan Amerika Selatan. Mereka selalu mencampuri perkara-perkara yang sama sekali bukan urusannya, dan mereka meluangkan waktunya dengan mencoba mengobarkan kericuhan dimana-mana sehingga mereka dapat memperoleh ceritera daripadanya. Mereka selalu harus ditolak secara langsung oleh pemerintah. Lelaki itu kebetulan saja tahu bahwa gelandangan di meja sebelah itu akan dikeluarkan dari negeri ini. Cukuplah aman untuk mencoba ungkapkan bagaimana pandangan pejabat tinggi Meksiko terhadap orang itu tadi …. Nah, dia akan anggap hal itu mengingatkannya kepada sesuatu.


Suatu petang dia datang kesini bersama Miriam untuk makan malam dan berdansa, dan di meja tempat sebelahnya duduklah empat orang jendral yang tambun dari utara, dengan kumis tanduk sapi dan perut-perut yang besar dan ikat-ikat pinggang yang besar dan ikat-ikat pinggang yang besar penuh dengan partum dan pistol. Ketika itu persis sebelah obregon menduduki kota, dan kawasan kota sedang merayap bersama para jendral. Mereka, memenuhi tempat-tempat mandi uap,

Where they took off their soiled campaign harness and sweated away the fumes of tequila and fornication, and they infested the cafes to get drunk again on champagne, and pick up the French whores who had been imported for the festivities of the presidential inauguration. These four were having an argument very having an argument very quietly, their mean little eyes boring into each other’s faces. He and his wife were dancing within arm’s length of the generals got up suddenly, tugging at his pistol, which stuck, and the other three jumped and grabbed him, all with out a word; everybody in the place saw it at once. So far there was nothing unusual. The point was, every right-minded Mexican girl just seized her man firmly by the waist and spun him around until his back was to the generals, holding him before her like a shield, and there the whole roomful had stood frozen for a second, the music dead. His wife Miriam had broken from him and hidden under a table.

Dimana mereka menanggalkan pakaian-pakaian perangnya yang kotor dan membersihkan diri dari uap-uap tekuila dan persundalan, dan mereka mengerumuni kafe-kafe untuk minum sampanye lagi sampai mabuk, dan membawa pelacur-pelacur Perancis yang telah didatangkan demi keramaian pesta pelantikan presiden. Keempat orang ini sedang berdebat secara diam-diam, mata-mata mereka yang kecil dan tidak ramah saling menatap dengan tajam pada masing-masing wajah mereka. Dia dan istrinya sedang berdansa sejauh sejangkauan dari meja ketika salah seorang dari jendral-jendral itu tiba beranjak, dan tiga orang lainnya melompat dan menangkapnya, semua secara diam; semua orang di tempat itu segera melihat adegan itu. Sampai di sini tak ada yang luar biasa. Ujungnya adalah, setiap gadis Meksiko yang sopan memegangi pasangannya dengan erat-erat pada pinggangnya dan memutar tubuhnya hingga punggungnya menghadap para jendral itu, menahan laki-laki di hadapannya sebagai perisai, dan segenap ruang yang penuh itu telah menjadi beku sejenak, musik pun mati. Istrinya, Miriam, terpisah darinya dan bersembunyi dibawah meja.

He had to drag her out by the arm before everybody. “Let’s have another drink,” he said, and paused, looking around him as if he saw again the place as it had been on that night nearly ten years before. He blinked, and went on. It had been the most utterly humiliating moment of his whole blighted life. He had thought he couldn’t survive to pick up their things and get her out there. The generals had all sat down again and everybody went on dancing as tough nothing had happened …. Indeed, nothing had happened to anyone except himself.
He tried, for hours that night and on and on for nearly a year, to explain to her how he felt about it. She could not understand at all. Sometimes she said it was all perfect nonsense. Or she remarked complacently that it had never occurred to her to save her life at his expense. She thought such tricks were all very well for Mexican girls who had only one idea in their heads, and any excuse would do to hold a man closer than they should,
Dia harus turun tangan menghela perempuan itu ke luar di hadapan orang-orang. “marilah kita minum lagi,” katanya, dan berhenti sesaat, melihat sekeliling dirinya seolah-olah dia menyaksikan lagi tempat itu seperti yang terjadi dahulu pada malam hampir sepuluh tahun sebelum ini. Dia mengejapkan mata dan melanjutkan. Masa itulah telah menjadi saat yang paling memalukan dari seluruh hidupnya yang terkutuk. Dia beranggapan bahwa dia tidak dapat selamat untuk memungut benda-benda milik mereka dan mengeluarkan perempuan itu dari sana. Jendral-jendral itu semuanya telah duduk kembali dan semua orang meneruskan dansa seolah-olah tidak terjadi apa-apa …. Benar, tak terjadi apa-apa atas seseorang kecuali dia sendiri.
Dia berusaha selama berjam-jam pada malam itu dan seterusnya dan berikutnya selama hampir setahun, untuk menjelaskan padanya bagaimana perasaannya mengenai kejadian itu. Perempuan itu tidak bisa memahami sama sekali. Kadang-kadang dia berkata bahwa semua itu sama sekali bohong. Atau dia menyatakan dengan tenang bahwa tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menyelamatkan jiwanya atas pengorbanan lelaki itu. Dia berpendapat bahwa akal-akalan semacam itu sangatlah cocok bagi gadis-gadis Meksiko yang cuma punya satu gagasan di kepalanya, dan suatu alasan akan dibuat agar seseorang laki-laki makin intim,

But she could not, could not, see why he should expect her to imitate them. Besides, she had felt safer under the table. It was her first and only thought. He told her a bullet might very well have gone through the wood; a plank was no protection at all, a human torso was as good as a feather pillow to stop a bullet. She kept saying it simply had not occurred to her to do anything else, and that it really nothing at all to do with him. He could never make her see his point of view for one moment. It should have had something to do with him. All those Mexican girls were born knowing what they should do and they did it instantly, and Miriam had merely proved once for all that her instincts were out of tune, when she tightened her mouth to bite her lip and say “Instincts!” she could make it sound like the most obscene word in any language. It was a shocking word. And she did not stop there. At last she said, she hadn’t the faintest interest in what Mexican girls were born for,

Akan tetapi perempuan tidak, tidak dapat memahami mengapa lelaki harus mengharapkannya untuk meniru mereka. Disamping itu, dia telah merasa lebih aman berada di bawah meja itu. Itulah gagasannya yang pertama dan hanya itu. Lelaki itu bercerita padanya bahwa sebuah pelor mungkin dengan mungkin menembus papan itu; sepotong papan tak melindungi sama sekali, tubuh manusia sama empuknya dengan bantal bulu untuk menghentikan sebutir pelor. Perempuan itu tetap mengatakan bahwa dia tidak punya kesempatan untuk berbuat lainnya, sehingga apa yang dilakukannya tadi tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan lelaki itu. Lelaki itu sejenak pun tak pernah membuatnya paham akan pendiriannya. Seharusnya ada sesuatu yang mesti dibereskan bersamanya. Semua gadis Meksiko itu sejak lahir tahu apa yang harus mereka lakukan dan mereka melakukannya segera, dan Miriam hanya pernah membuktikan sekali saja bahwa naluri-nalurinya tidak selaras. Manakala dia mengatupkan mulutnya untuk menggigit bibirnya dan berkata, “naluri!” dia dapat menyuarakannya seperti kata yang paling cabul dalam suatu bahasa. Itu sebuah kata yang mengejutkan. Dan dia tidak sampai di situ saja. Kesudahannya dia berkata, dia tidak tertarik sama sekali pada pembawaan-pembawaan gadis-gadis Meksiko sejak lahir,


but she had no intention of wasting her life flattering male vanity. “why should I trust you in anything?” she asked. “that reason have you given me to trust you?”
He was surprised at the change in her since he had first met her in Minneapolis. He chose to believe this change had been caused by her teaching school. He told her he thought it the most deadly occupation there was and a law should be passed prohibiting pretty women under thirty-five years of age from taking it up. She reminded him they were living on the money she had earned at it. They had been engaged for three years, a chaste long-distance engagement which he considered morbid and unnatural. Of course he had to do something to wear away the time, so while she was in Minneapolis saving her money and filling a huge trunk with house-hold linen, he had been living in Mexico City with an Indian girl who posed for a set of painters he knew. He had a job teaching English in one of the technical school-dammed odd,
tetapi dia tidak berniat melewatkan hidupnya dengan merayu kesombongan lelaki. “mengapa aku harus mempercayai dirimu?” tanya perempuan itu. Apa alasan yang telah kamu berikan padaku untuk mempercayaimu?”
Lelaki itu terkejut pada perubahan dalam diri perempuan itu sejak dia pertama kali menjumpai di Minneapolis. Dia pilih percaya bahwa perubahan ini disebabkan karena perempuan itu mengajar di sekolah. Dikatakannya pada perempuan itu akan pandangannya bahwa itu merupakan pekerjaan paling mematikan adanya dan sebuah peraturan harus dilaksanakan untuk melarang wanita-wanita dibawah umur tiga puluh lima tahun menerima pekerjaan itu. Perempuan itu mengingatkannya bahwa mereka hidup dari uang yang dihasilkannya dai pekerjaan itu. Mereka telah bertunangan selama tiga tahun, suatu pertunangan jangka panjang yang suci yang dianggap lelaki itu tidak wajar dan tidak sehat. Tentu saja lelaki itu harus berbuat sesuatu untuk melewatkan waktu, sehingga sementara perempuan itu berada di Minneapolis untuk menabung uangnya dan mengisi kopor yang sangat besar dengan kain linen rumah-tangga, dia tinggal di Kota Meksiko bersama seorang gadis Indian yang menjadi model sekumpulan pelukis yang dikenalnya. Lelaki itu mendapat pekerjaan mengajar Bahasa Inggris di salah satu sekolah teknik-sialan,

He had been a school teacher too, but he never thought of it just that way until this minute – and he lived very comfortably with the Indian girl on his wages, for naturally the painters did not pay her for posing. The Indian girl divided her time cheerfully between the painters, the cooking pot, and his bed, and she managed to have a baby without interrupting any of these occupations for more than a few days. Later on she was taken up by one of the more famous and successful painters, and grew very sophisticated and a “character”, but at that time she was still simple and nice. She took, later on, to wearing native art-jewelry and doing native dance in costume, and learned to paint almost as well as a seven year-old child; “you know” he said, “the primitive style” well, by that time, he was having troubles of his own. When the time came for Miriam to come out and marry him-the whole delay, he realized afterward, was caused by Miriam’s expansive notions of what a bride’s outfit should be-
Dia menjadi guru sekolah juga, tapi dia tak pernah memikirkannya dengan begitu saja hingga saat ini-dan dia hidup dengan sangat menyenangkan bersama gadis Indian itu atas gaji yang diperolehnya, karena sesungguhnya para pelukis itu tidak membayar gadis itu sebagai model. Gadis indian itu membagi waktunya dengan riang antara para pelukis, periuk masak, dan ranjang lelaki itu, dan dia dapat melahirkan seorang bayi tanpa menghentikan salah satu dari tugas-tugas ini selama tidak lebih dari beberapa hari. Belakangan dia diambil oleh seorang pelukis yang lebih terkenal dan sukses, dan dia tambah sangat berpengalaman dan menjadi seorang “peran”, tapi pada waktu itu dia tetap sederhana dan baik hati. Berikutnya dia suka mengenakan barang perhiasan-seni pribumi dan menarikan tari-tarian pribumi dengan kostumnya, dan belajar melukis hampir seperti anak berumur tujuh tahun; “kau tahu,” kata lelaki itu, “gaya primitif.” Nah, saat itu dia mendapatkan kesulitan-kesulitannya sendiri. Ketika masanya tiba bagi Miriam untuk muncul dan menikah dengannya-semua penundaan itu, disadarinya kemudian, disebabkan oleh anggapan-anggapan Miriam yang berlebihan mengenai apa yang harus dipakai oleh pengantin perempuan-
the indian girl had gone away very cheerfully, too cheerfully, in fact, with a new man. She had come back in three days to say she was at last going to get he should give her the furniture for a dowry. He had helped her pile the stuff on the back of two Indian carriers, and the girl had walked away with the baby’s head dangling out of her shawl. Just for a moment then he saw the baby’s face, he had an odd feeling. “That’s mine,” he said to himself, and added at once, “perhaps.” There was no way of knowing, and it certainly looked like any other little shock-haired Indian baby. Of course the girl had not got married; she had never even thought of it.
When Miriam arrived, the place was almost empty, because he had not been able to save a peso. He had a bed and a stove, and the walls were decorated with drawings and paintings by his Mexican friends, and there was a litter of painted gourds and carved wood and pottery in beautiful colors. It didn’t seem so had to him, but Miriam’s face,
Gadis Indian itu pergi dengan sangat sukacita, sungguh terlalu suka cita bersama seorang lelaki baru. Dalam tiga hari dia kembali lagi untuk mengatakan bahwa pada akhirnya dia kan menikah sungguh-sungguh, dan sia merasa lelaki itu harus memberikan perabot rumah-tangga sebagai suatu mas kawin. Dia membantu gadis itu menumpuk barang-barang di atas bagian belakang dua buah kereta Indian, dan gadis itu berjalan meninggalkan tempat itu dengan kepala bayi yang terjuntai lepas dari selendangnya. Sejenak saja lelaki itu menatap wajah bayi itu, dia mengalami peranan aneh. “bayi itu punyaku,” katanya pada diri sendiri, dan segera menambahkan, “barang kali.” Tak ada cara untuk mengetahui, dan bayi itu nampak seperti bayi Indian kecil lainnya yang berambut lebat. Tentulah gadis itu tidak menikah; dia bahkan tidak pernah memikirkannya.

Ketika Miriam tiba, tempat itu hampir kosong, karena lelaki itu tidak dapat menyimpan uang se-Peso pun. Dia punya sebuah ranjang dan sebuah kompor, dan dinding-dinding dihiasi dengan gambar-gambar lukisan-lukisan oleh teman-teman Meksikonya, dan seperangkat gurdi-gurdi bercat dan kayu berukir dan pecah belah dalam warna-warna yang indah. Tak nampak begitu buruk bagi lelaki itu, tapi wajah Miriam,

when she stepped into the first room, was, he had to admit, pretty much of a study. She said very little, but she began to be unhappy about a number of things. She cried intermittently for the first few weeks, for the most mysterious and far-fetched causes. He would wake in the night and find her crying hopelessly. When she sat down to coffee in the morning she would lean her head on her hands and cry. “it’s nothing, nothing really,” she would tell him. “I don’t know what is the matter. I just want to cry. He knew now what was the matter. She said come all that way to marry after three years’ planning, and she couldn’t see herself going back and facing the music at home. This mood has not lasted, but it made a fairly dreary failure of their honeymoon. She knew nothing about the Indian girl, and believed, or professed to believe, that he was virgin as she was at their marriage. She hadn’t much curiosity and her moral standards were severe, so it was impossible for him ever to take her into his confidence about his past.
Ketika dia melangkah ke dalam ruang depan, lelaki itu harus mengakui, sangat teliti. Dia sangat sedikit bicara, tapi dia mulai tak senang akan beberapa hal. Selama beberapa minggu pertama sebentar-sebentar dia menangis karena alasan-alasan yang paling misterius dan tak masuk akal. Lelaki itu bisa terjaga di malam hari dan mendapatkannya sedang menangis dengan putus asa. Manakala dia duduk untuk minum kopi di pagi hari kepalanya akan bersandar pada kedua belah tangannya dan menangis. “tidak apa-apa, sungguh tak ada apa-apa,” katanya pada lelaki itu. “aku tak tahu kenapa. Aku hanya ingin menangis.” Sekarang lelaki itu tahu persoalannya. Perempuan itu telah datang dengan begitu cara untuk menikah setelah perencanaan tiga tahun, dan dia tidak sanggup melihat dirinya pulang dan menghadapi kesulitan dengan berani di rumah. Suasana hati seperti ini tidak berakhir, tapi menjadi suatu kegagalan yang cukup suram dari bulan madu mereka. Perempuan itu tidak tahu apa tentang gadis indian itu, dan percaya, atau menyatakan percaya, bahwa lelaki itu perawan seperti dia pada waktu pernikahan mereka. Dia tidak hanya banyak ingin tahu dan ukuran-ukuran moralnya keras sehingga tak pernah mungkin bagi lelaki itu untuk menceritakan rahasianya kepada perempuan itu tentang masa lalunya.

She simply took it for granted in the most irritating way that he hadn’t any past word mentioning except the three years they were engaged, and that, of course, they shared already. He had believed that all virgins, however austere their behaviour, were palpitating to learn about life, were you might say hanging on an eyelash until they arrived safely at initation within the secure yet libertine advantage of marriage. Miriam upset this theory as in time she upset most of his theories. His intention to play the role of a man of the world educating an innocent but interestingly teachable bride was nipped in the bud. She was not at all teachable and she took no trouble to make herself interesting. In their most intimate hours her mind seemed elsewhere, gone into some darkness of its own, as if a prior and greater shock of knowledge had forestalled her attention. She was not to be own, for reasons of her own which she would not or could not give. He could not even play the role of a poet.
Dengan cara yang paling menjengkelkan dia hanya menerimanya sebagaimana adanya sehingga lelaki itu tak punya sesuatu masa lau yang perlu disebutkan kecuali masa tiga tahun mereka bertunangan, dan tentunya, sudah sama-sama mereka alami. Lelaki itu percaya bahwa semua perawan, betapapun keras perangainya, bergetar hatinya mendengar tentang kehidupan, mereka boleh kau bilang tak banyak pengalaman hingga mereka dengan selamat sampai memasuki hidup baru dalam keuntungan-keuntungan perkawinan yang terjamin api bebas. Miriam meruntuhkan teori ini sebagaimana dia meruntuhkan sebagian besar teori-teori lelaki itu. Maksud lelaki itu untuk memainkan peran sebagai laki-laki berpengalaman sangat luas yang mendidik pengantin wanita, yang lugu tapi dapat diajar dengan menarik, terhenti pada awalnya. Perempuan itu sama sekali tak dapat diajari dan tidak mau mempersulit diri agar kelihatan menarik. Disaat-saat kemesraan mereka pikiran perempuan itu nampaknya berada di tempat lain, mengembara ke dalam kekelamannya sendiri, seolah-seolah kejutan pengetahuan yang dahulu dan lebih banyak telah merintangi perhatiannya. Dia tak perlu dipikat, karena lasan-alasannya sendiri yang tidak akan atau tidak dapat dia berikan. Bahkan lelaki itu tidak dapat memainkan peran sebagai penyair.

She was not interested in his poetry. She preferred Milton, and she let him know it. She let him know also that she believed their mutual sacrifice of virginity was the most important act of their marriage, and this sacred rite once achieved, the whole affair had descended to a pretty low plane. She had a terrible phrase about “walking the chalk line” which she applied to all sort of situations. One walked, as never before, the chalk line in marriage; there seemed to be a chalk line drawn between them as they lay together ….
The thing that finally got him down was Miriam’s devilish inconsistency. She spent there mortal years writing him how dull and dreadful and commonplace her life was, how sick and tired she was of pretty little conventions and amusements, how narrow-minded everybody around her was, how she longed to live in a beautiful dangerous place among interesting people who painted and wrote poetry,

Perempuan itu tak tertarik pada pusinya. Dia pilih Milton, dan memberitahukannya pada lelaki itu. Dia juga memberitahu lelaki itu, dia percaya bahwa pengorbanan keperawanan mereka berdua merupakan perbuatan terpenting dari perkawinan mereka, dan sekali upacara suci itu terlaksana, seluruh kemesraan menurun sampai pada taraf yang cukup rendah. Perempuan itu memiliki ungkapan yang menyedihkan sekali tentang “kepatuhan pada garis tata tertib” yang dipakainya untuk segala macam keadaan. Tak seperti sebelumnya, seseorang mematuhi garis tata tertib dalam perkawinan; nampaknya ada garis tata tertib yang ditarik diantara mereka ketika mereka berbaring bersama ….

Hal yang pada akhirnya mengesalkan hati lelaki itu adalah ketidak ajegan Miriam yang berlebihan. Dia lewatkan tiga tahun yang fana dengan menunjukkan pada lelaki itu betapa dungu dan membosankan dan hampa hidupnya, betapa jemu dia akan kebiasaan-kebiasaan remeh yang picik dan kewenang-wenangan, betapa sempit pandangan semua orang disekelilingnya, betapa rindu dia hidup di suatu tempat berbahaya yang indah diantara orang-orang menarik hati yang melukis dan menulis puisi,

and how his letters came into her stuffy little world like a breath of free mountain air, and all that. “for god’s sake,” he said to his guest, “let’s have another drink.” Well, he had something of a notion he was freeing a sweet bird from a cage. Once freed, she would perch gratefully on his hand. He wrote a poem about a caged bird set free, dedicated it to her and sent her a copy. She forgot to mention it in her next letter. Then she came ut with a two-hundred-pound trunk of linen and enough silk underwear to last her a lifetime, you might have supposed, expecting to settle down in a modern steam-heated flat and have nice artistic young couples from the American colony in for dinner Wednesday evenings. No wonder her face had changed at the first glimpsed of her new home. His Mexican friends had scattered flowers all over the place, tied bunches of carnations on the door knobs, almost carpeted the floor with red roses,


dan betapa surat-surat lelaki itu menembus alam kecilnya yang sesak bagaikan sehembus nafas udara pegunungan yang bebas, dan seterusnya. “demi Allah,” kata lelaki itu pada tamunya, “marilah kita minum lagi.” Nah, dia punya suatu maksud bahwa dia sedang membebaskan seekor burung yang manis dari sebuah sangkar. Sekali keterbatasan, dia akan bertengger dengan rasa syukur diatas tangan lelaki itu. Lelaki itu menulis sajak tentang seekor burung terkurung yang dibebaskan, dipersembahkannya kepadanya dan mengirimkannya padanya sebuah salinannya. Perempuan itu lupa menyebutkannya dalam suratnya yang berikut. Kemudian perempuan itu muncul dengan sekoter linen duaratusan-pon dan pakaian dalam sutera yang cukup untuk seumur hidup, mungkin telah kau sangka, dengan mengharap untuk tinggal dengan tentram disebuah flat dengan penghangat dan modern dan mengundang pasangan-pasangan muda yang artistik dan menyenangkan dari perkampungan Amerika untuk makan malam di hari Rabu malam. Tak mengherankan wajahnya telah berubah waktu sekilas melihat rumah barunya untuk pertama kali. Teman-teman meksiko lelaki itu menyebarkan bunga-bunga di segenap penjuru ruangan itu, mengikat rangkaian-rangkaian bunga anyelir di tombol-tombol pintu, hampir menghampari seluruh lantai dengan mawar-mawar merah sebagai karpet,

pinned posies of small bright blooms on the sagging cotton curtains, spread a coverlet of gardenias on the lumpy bed, and had disappeared discreetly, leaving gay reassuring messages scribbled here and there, even on the white plastered walls ….. she had walked through with a vague look of terror in her eyes, pushing back the wilting flowers with her advancing feet. She swept the gardenias aside to sit on the edge of the bed, and she had said not a word. Hail, hymen! What next?

He had lost his teaching job almost immediately. The minister of education, who was a patron of the school superintendent, was put out of office suddenly, and naturally, every soul in his party down to he janitors went out with him, and there you were. After a while you learn to make such things calmly. You wait until your man gets back in the saddle or you work up an alliance with the new one …. Whichever …. Meanwhile the change and movement made such a good
menggantungkan karangan-karangan bunga cemerlang yang kecil pada kordin-kordin katun yang bergelantingan, menabur bunga-bunga gardinea di tempat tidur yang tak rata itu, dan menghilang dengan hati-hati sambil meninggalkan pesan-pesan yang menenteramkan hati dan menyenangkan yang tertulis begitu saja dimana-mana, bahkan di tembok-tembok berplester putih …. Perempuan itu berjalan ke mari dengan pandangan kengerian yang samar dimatanya, menekan bunga-bunga yang jadi layu dengan kaki-kakinya yang maju. Dia singkirkan bunga-bunga gardenia untuk duduk di tepi ranjang itu, dan dia diam seribu basa. Sambut, selaput dara! Apa lagi?
Lelaki itu kehilangan pekerjaan mengajarnya hampir secara tiba-tiba. Menteri pendidikan, yang menjadi pelindung pengawas sekolah, dipecat secara mendadak, dan tentu saja, setiap orang dalam partainya sampai pada para penjaga sekolah ke luar bersamanya, dan disanalah kau. Sebentar saja kau belajar menerima hal-hal semacam itu dengan tenang. Kau tunggu hingga orang-orang itu kembali memegang kekuasaan atau kau susun persekutuan dengan orang baru …. Pilih mana …. Sementara perubahan dan pergerakan menyajikan pameran yang bagus itu

show almost forgot the effect it had on your food supply. Miriam was not interested in politics or the movements of local history. She could see nothing but that he had lost his job. They lived on Miriam’s savings eked out with birthday checks and Christmas checks from her father, who threatened constantly to come for a visit, in spite of Miriam’s desperate letters warning him that the country was appalling, and the climate would most certainly ruin his health. Miriam went on holding her nose when she went to the markets, trying to cook wholesome civilized American food over a charcoal brasier, and doing the washing in the patio over a stone tub with a cold water tap; and everything that had seemed so jolly and natural and inexpensive with the indian girls was too damnifying and costly for words with Miriam. Her money melted away and they got nothing for it.
She would not have an Indian servant near her; they were dirty and besides how could she afford it?
Kau hampir lupa akibat yang ditimbulkannya pada persediaan bahan panganmu. Miriam tidak tertarik pada politik atau pergerakan-pergerakan dari sejarah setempat.dia tidak melihat apa-apa kecuali bahwa lelaki itu kehilangan pekerjaannya. Mereka tahu dari tabungan Miriam ditambah dengan cek-cek hadiah ulang tahun dan cek-cek hadiah natal dari ayahnya yang tak henti-hentinya mengancam untuk berkunjung, meskipun surat-surat Miriam yang keras memperingatkannya bahwa negara itu sedang kacau, dan cuacanya sangat besar kemungkinannya merusak kesehatan. Miriam tetap sombong waktu dia pergi ke pasar, berusaha memasak makanan Amerika yang beradap di atas tungku arang, dan mengerjakan cucian di emper terbuka di belakang rumah diatas bak mandi batu dengan sebuah kran air; dan segalanya yang tampak begitu riang dan alamiah dan tidak mahal bersama gadis Indian itu adalah terlalu mencelakakan dan mahal bagi janji-janji bersama Miriam. Uang perempuan itu lambat laun lenyap dan mereka tidak memperoleh apa-apa karenanya.



Perempuan itu tidak akan mempunyai seorang pelayan Indian di sandingnya, mereka kotor dan selain itu, bagaimana mampu dia membayarnya?

He could not see why she despised and resented housework so, especially since he offered to help. He had though it rather a picnic to wash a lot of gaily colored Indian crockery outdoors in the sunshine, with the bougainvillea climbing up the wall and the heaven tree in full bloom. Not Miriam. She despised him for thinking it a picnic. He remembered for the first time his mother doing the housework when he was a child. There were half a dozen assorted children, her work was hard and endless, but she went about it with quiet certainty, a happy absorbed look on her face, as if her hands were working automatically while her imagination was away playing somewhere. “Ah, your mother,” said his wife, without any emphasis. He felt horribly injured, as if she was insulting his mother and calling down a curse on her head for bringing such a son into the world. No doubt about it, Miriam had force. She could make her personality, which no one need really respect, sinister way.
Lelaki itu tidak dapat mengerti mengapa dia pandang rendah dan benci pekerjaan rumah yang demikian, khususnya sejak lelaki itu menawarkan untuk membantu. Menurut pendapatnya, lebih merupakan suatu piknik untuk mencuci sebuah barang tembikar Indian yang berwarna cerah diluar ruangan dibawah sinar matahari, dengan bugenvil merambat ke atas tempok dan pohon surga penuh bunga. Miriam tidak. Dia pandang rendah lelaki itu karena menganggap pekerjaan itu sebagai piknik. Lelaki itu ingat ketika pertama kali ibunya mengerjakan pekerjaan rumah tangga sewaktu dia masih kecil. Ada setengah lusin anakanak campur baur, pekerjaannya berat dan tanpa akhir, tapi beliau melaksanakannya dengan ketetapan yang tenang, pandangan b bahagia yang asyik ada pada wajahnya, seolh-olah tangan-tanganya sedang bekerja dengan otomatis sementara imajinasinya bermain jauh disuatu tempat. “Ah, ibumu,” kata istrinya, tanpa tekanan tertentu. lelaki itu merasa sangat pedih, sepertinya perempuan itu sedang menghina ibunya dan mencacikan serapah atas kepala ibu itu karena melahirkan putera semacam itu ke dalam dunia. Tak sangsi lagi, Miriam punya kekuatan diri. Dia dapat menciptakan kepribadiannya, yang meski tak seorang pun benarbenar ingin menghormatinya, yang dicari-cari dengan cara busuk dan yang pahit.
She had a background, and solid earth under her feet, and a point a strong pine: even when she danced with him he could feel her tense controlled hips and her locked kness, which gave her dancing a most attractive strength and lightness without any yielding at all. She had her points, all right, like a good horse, but she had missed being beautiful. It wasn’t in her. Her began to cringe when she reminded him that if he were an invalid she would cheerfully work for him and take care of him, but he appeared to be in the best of health for a job, and he was still writing that poetry, which was the last straw. She called him a failure. She called him worthless and shiftless and trifling and faithless. She showed him her ruined hands and asked him what she had to look forward to, and told him again, and again, that she was not used to associating with the simply indescribably savage and awful persons who kept streaming through the place. Moreover, she had no intention of getting used to it.
Perempuan itu punya dasar, dan bumi kokoh untuk berpijak, dan suatu pandangan dan suatu tulang punggung yang kuat: bahkan ketika perempuan itu berdansa dengannya, lelaki itu dapat merasakan pinggulnya yang tegang terkuasai dan lutut-lututnya yang terkunci, yang memberikan dansanya kekuatan paling atraktif dan keringanan langkah tanpa menyerah sama sekali. Benar, dia bersama sifat-sifatnya bagaikan kuda yang bagus, tapi dia kehilangan kecantikannya. Itu tidak hanya padanya. Lelaki itu mulai merasa ngeri ketika dia mengingatkannya bahwa seandainya dia seorang cacad perempuan itu akan dengan senang bekerja untuknya dan mengurusnya, tapi dia tampak sehat wal afiat, dia bahkan tak mencari pekerjaan, dan dia tetap menulis puisi, yang merupakan keputus asaannya yang terakhir. Dia sebut lelaki itu orang gagal. Dia sebut lelaki itu tak berguna dan tak becus dan suka membuang-buang waktu dan tidak setia. Dia tunjukkan pada lelaki itu tangan-tangannya yang rusak dan menanyakan apa yang harus dinanti-nantikannya, dan terus menerus mengatakan padanya bahwa dia tidak biasa bergaul dengan orang-orang liar yang amat dungu dan mengerikan yang terus berduyun-duyun menjelajahi tempat itu. Lagi pula dia tidak berniat untuk membiasakan diri dengan keadaan itu.

He tried to hell her that these persons were the best painters and poets and what-alls in Mexico, that she should try to appreciate them; these were the artists he had told her about in his letters. She wanted to know why Carlos never changed his shirt. “And why was Jaime such a glutton, leaning over his plate and wolfing his food? Because he was famished, no doubt. It was precisely that she could not understand. Why didn’t they go to work and make a living? It was no good trying to explain to her his Franciscan notions of holy poverty as being the natural companion for the artist. She said, “so you think they re being poor on purpose? No body but you would be such a fool.” Really, the things that girl said. And his general impression of her was that she was silent as a cat. He went on in his pawky way trying to make clear to her his mystical faith in these men who went ragged and hungry because they had chosen once for all between what he called in all seriousness
Lelaki itu mencoba menceritakan padanya bahwa orang-orang itu adalah para pelukis dan penyair terbaik dan orang-orang serba di Meksiko, sehingga dia harus berusaha menghayati mereka; mereka ini adalah seniman-seniman yang telah diceritakan lelaki itu padanya dalam surat-suratnya. Perempuan itu ingin mengerti kenapa Carlos tak pernah mengganti bajunya. “kutukan padanya,” kata wartawan itu, “itu mungkin karena dia tak punya baju lainnya.” Dan mengapa Jaime begitu pelahap, berbuat apa saja demi piringnya dan menjadi rakus? Tentu, karena dia sangat lapar. Pastilah perempuan itu tidak bisa mengerti. Mengapa mereka tidak berangkat kerja dan mencari nafkah? Tak ada manfaatnya untuk mencoba menjelaskan pada perempuanitu tantang gagasan-gagasan Fransiscan lelaki itu mengenai kemiskinan yang suci sebagai kawan alamiah bagi sang seniman. Karena perempuan tiu, “jadi kau pikir mereka menjadi miskin dengan sengaja? Tak ada orang sebodoh kamu.” Sungguh, kata-kata itulah yang diucapkan gadis itu. Dan kesan umum lelaki itu terhadap terhadapnya adalah bahwa dia pendiam seperti kucing. Dengan lihai lelaki itu terus berusaha untuk menjelaskan padanya tentang kepercayaan mistisnya terhadap orang-orang yang acak-acakan dan menahan lapar ini karena mereka telah memilih untuk mengabiskan kali antara apa yang dengan sengaja kesungguhan dia sebut

their souls, and this world. Miriam knew better. She knew they were looking for the main change. “she was abominably, obscenely right. How I hate that woman, I hate her as I hate no one else. She assured me they were not so stupid as I thought; and I lived to see Jaime take up with a rich old woman, and Ricardo decide to turn film actor, and Carlos sitting easy with a government job, painting revolutionary frescoes to order, and I asked myself, why shouldn’t a man survive in any way he can?” but some fixed point of feeling in him refused to be convinced, he had a sackful of romantic notions about artist and their destiny and he was left holding it. Miriam had seen through them with half an eye, and how he wished he might have through of a trick to play on her that would have finished her for life. But he had not. They all in turn ran out on him and in the end he had run out too. “so you see, I don’t feel any better about doing what I did finally do, but I can say I am not unusual. That I can say.

Jiwa-jiwa mereka, dan dunia ini. Miriam mengerti lebih baik. Dia tahu mereka sedang mencari kesempatan terbaik. “Dia benar-benar menjijikkan. Betapa benciku pada wanita itu, kebencian ku padanya tak tertandingkan. Dia meyakinkanku bahwa mereka tidak bodoh seperti perkiraanku; dan aku hidup untuk menyaksikan Jaime bergaul dengan wanita tua yang kaya, dan Ricardo memutuskan untuk menjadi aktor film, dan Carlos mendapat kedudukan empuk sebagai pegawai pemerintah, melukis lukisan dinding tentang revolusi menurut pesanan, dan aku bertanya diri, mengapa manusia tidak harus mempertahankan hidupnya dengan suatu cara yang dia sanggup?” tapi titik perasaan tertentu dalam dirinya menolak untuk percaya, dia punya sekarung penuh gagasan-gagasan romantik tentang para artis dan nasib mereka dan dia dibiarkan menyimpannya. Miriam menyelami jiwa mereka dengan sebelah mata, dan betapa ingin lelaki itu memikirkan suatu cara untuk menipunya agar dia bertekuk lutut seumur hidup. Tapi dia tak melakukannya. Sebaliknya mereka semua meninggalkannya dan akhirnya dia meninggalkan juga. “Nah, kau lihat aku tak merasa lebih baik karena mengerjakan apa yang belakangan kukerjakan, tak bisa ku katakan aku tidak luar biasa. Itu bisa ku katakan.

The trouble was that Miriam was right, damn her. I am not a poet, my poetry filthy, and I had notions about artists that I must have got out of books … you know, a race apart, dedicated men much superior to common human needs and ambitions …. I mean I thought art was a religion …. I mean that when Miriam kept saying … “
What he meant was that all this conflict began to damage him seriously. Miriam had become an avenging fury, yet he could not condemn her. Hate her, yes, that was almost too simple. His old – fashioned respectable middle class hard-working American ancestry and training rose up in him and fought on Miriam’s side. He felt he had broken about every hone in him to get away from them and live them down, and here he had overtaken at last and beaten into resignation that had nothing to do with his mind or heart. It was as if his blood stream had betrayed him. The prospect of taking a job and being a decent little clerk with shiny pants and elbow-for he

Repotnya adalah bahwa Miriam benar, sialan! Aku bukan penyair, puisiku adalah sampah, dan aku mengerti tentang para seniman sehingga mestinya sudah kutinggalkan buku-buku … kau tahu, sekelompok orang yang terpisah, orang-orang berbakti yang jauh lebih unggul dari pada sekedar kebutuhan dan ambisi-ambisi manusia biasa …. Maksudku kupikirkan seni adalah sebuah agama … maksudku bahwa bilamana Miriam terus menerus mengatakan …”
Yang dia maksud adalah bahwa pertentangan ini mulai merusak dirinya sungguh-sungguh. Miriam menjadi pemarah yang dendam, tapi lelaki itu tak bisa menyalahkannya. Banci dia, ya, itu hampir terlalu sederhana. Sifat leluhur Amerika pekerja keras dari kelas menengah yang terpandang dan berpandangan kuno dan pendidikan lelaki itu bangkit dalam dirinya dan berjuang melawan pihak Miriam. Dirasakannya bahwa dirinya tak berdaya sama sekali untuk menghindar darinya dan hidup secara baik-baik dengan melupakannya, dan disini akhirnya dia tertimpa dan terpaksa pasrah sehingga tak ada yang harus dikerjakan dengan pikiran atau hatinya. Rasa-rasanya aliran darahnya mengkhianatinya. Kemungkinan mendapatkan suatu pekerjaan dan menjadi juru-tulis kecil yang sopan dengan pantalon dan baju yang licin – karena dia

couldn’t think of a job in any other terms seemed like a kind of premature death which would not even compansate him with loss of memory. He didn’t do anything about it at all. He did odd jobs and picked up a little money, but never enough. He could see her side of it, at least he tried hard to see it. When it came to a showdown, he hadn’t a single argument in favor of his way of life that would hold water. He had been trying to live and think in a way that he hoped would end by making a poet of him, but it hadn’t work. That was the long and short of it. So he might have just gone on to some unimaginably sordid end I Miriam, after four years? Yes, good God, four years and eleven days, had not written home for money, packed up what was left o her belongings, called him a few farewell names, and left. She had been shabby and thin and wild-looking for so long he could not remember ever having seen her other way, yet all at once her profile in the doorway was unrecognizable to him.
Tak mampu memikirkan suatu pekerjaan dengan pengertian-pengertian lain-nampaknya seperti mati sebelum ajal yang bahkan takkan mengimbangi kenangannya yang hilang. Sama sekali dia tak melakukan apa-apa mengenai itu. Dia lakukan pekerjaan-pekerjaan aneh dan mendapat sedikit uang, tapi tak pernah cukup. Dia bisa melihat perempuan itu dari segi ini, paling tidak, dia berusaha keras untuk melihatnya. Manakala hal itu sampai pada suatu perselisihan, dia tak punya satu alasan pun guna mendukung cara hidupnya yang masuk akal. Dia tetap berusaha untuk hidup dan berpikir dengan suatu cara yang diharapkannya akan berakhir dengan menjadikan dirinya seorang penyair, tapi itu tidak terlaksana. Begitulah ringkasannya. Karena itu, barangkali lelaki itu baru saja sampai pada suatu ujung yang buruk yang tak terbayangkan jika Miriam setelah empat tahun: empat tahun? Ya, masya Allah, empat tahun dan satu bulan dan sebelas hari-tak tak menulis surat ke rumah meminta uang, mengemasi harta-miliknya yang tertinggal, mengucapkan beberapa ucapan selamat tinggal, dan angkat kaki. Perempuan itu telah jadi lusuh dan kurus dan berwajah liar karena sudah begitu lama lelaki itu tak dapat mengingat-ingat bahwa dia pernah melihatnya dalam wajah lain, tapi tiba-tiba saja raut mukanya yang di ambang pintu itu tak dapat dikenalnya lagi.

So she went, and she did him a great favor without knowing it. He had fallen into the cowardly habit of thinking their marriage was permanent, no matter how evil it might be, that they loved each other, and so it did no matter what cruelties the committed against each other, and he had developed a real deafness to he words. He was unable, towards the end, either to see her or hear her. Realized this afterward, when remembered phrases and expressions of her eyes and mouth began to eat into his marrow. He was grateful to her
If she had not gone, wasting his time trying to write poetry, hanging around dirty picturesque little cafes with a fresh set of clever talkative poverty stricken young Mexicans who were painting or writing or talking about getting ready to paint or write. His faith had renewed it self; these fellows were pure artists they would never sell out. They were not bums, either. They worked all the times at something to do with Art. “Sacred Art”, he said, “our glasses are empty again”.
Begitulah dia berlalu, dan dia itu telah memberikan pertolongan besar sekali pada lelaki itu tanpa diketahuinya. Lelaki itu menjadi pengecut karena mengira perkawinan mereka kekal, tak soal betapa malang mungkin jadinya, sehingga mereka saling mencintai, dan juga tak perduli kekejian-kekejian apa saja yang saling mereka lakukan, dan dia benar-benar menutup telinga bagi kata perempuan itu. Menjelang akhir perkawinan mereka, lelaki itu tidak dapat bertemu muka maupun mendengar kata-katanya. Baru kemudian menyadari hal ini, ketika mengingat ungkapan-ungkapan dan pernyataan-pernyataan dari mata dan mulut perempuan itu mulai menggerogoti sumsumnya. Lelaki itu berterima-kasih padanya. Jika perempuan itu tak berlalu, mungkin dia terus bergelandangan, menghabiskan waktunya dengan mencoba menulis puisi, berkeliaran di seputar kafe-kafe kecil yang permai dan kotor bersama sekelompok pemuda-pemuda Meksiko yang pandai bicara dan dirundung kemiskinan, yang sedang melukis atau menulis atau membicarakan persiapan untuk melukis atau menulis. Keyakinannya menyegar kembali; orang-orang ini adalah seniman-seniman sejati mereka takan pernah berkhianat. Mereka juga bukan para gelandangan. Sepanjang waktu mereka mengerjakan sesuatu yang harus digarap dengan seni. “Seni suci”, katanya, “gelas-gelas kita kosong lagi”.
But try telling anything of the kind to Miriam. Somehow he had never got to that tree he meant to down under. If he had, somebody would certainly have come around and collected rent for it, anyhow. He had spent a good deal of time lying under tables at Dinty Moore’s or the Black Cat with a gang of Americans like himself who were living a free life and studying the native customs. He was rehearsing, he explained to Miriam, hoping for once she would take a joke, for lying under a tree later on. It didn’t go over. She would have died with her boots on before she would have cracked a smile at that. So than…. He had gone in for a career in the hugest sort of way. It had been easy. He hardly could say now just what his first steps were, but it had been easy. He hardly could say now just what his first steps were, but it had been easy. Except Miriam, he would have been a lousy failure, like those bums at Dinty Moore’s, still rolling under the tables, studying the native customs.

Tapi cobalah ceritakan hal semacam itu kepada Miriam. Bagaimanapun juga lelaki itu tak pernah membawa pohon itu yang dia maksudkan untuk berbaring di bawahnya. Namun begitu, jika dia membawanya, pastilah ada orang singgah dan mengumpulkan uang sewa untuk itu. Dia telah melewatkan begitu banyak waktu untuk berbaring di bawah meja-meja di Dinty Moore’s atau Black Cat bersama sekumpulan orang-orang Amerika seperti dirinya yang menikmati suatu kehidupan bebas dan mempelajari adat-istiadat pribumi. Dia melatih, jelasnya pada Miriam, dengan harapan sedikitnya sekali perempuan itu mau bergurau, untuk selanjutnya berbaring di bawah sebatang pohon. Itu tidak berhasil. Dia sudah akan gugur dalam menjalankan tugas itu sebelum memperlihatkan senyum untuk itu. Oleh karena itu…. Lelaki itu mencemplungkan diri dalam suatu karir dengan cara yang begitu hebat. Itu mudah. Dia hampir sulit mengatakan sekarang langkah-langkah apa pertama yang dijalankannya, tapi itu mudah. Andaikan bukan karena Miriam, dia akan menjadi orang yang sangat gagal, seperti gelandangan-gelandangan di Dinty Moore’s itu, masih bergelindingan di bawah meja-meja, mempelajari kebiasaan-kebiasaan pribumi.

He had gone in for a career in journalism and he had made a good thing of it. He was a recognized authority on revolution in twenty odd Latin American countries, and his sympathies happened to fall in exactly right with the high priced magazines of a liberal humanitarian slant which paid him well for telling the word about the oppressed peoples. He could really write, too; if he did say so, he had a prose style of his own. He had made the kind of success you can clip out of newspaper and paste a book, you can count it and put it in the bank, you can eat and drink and wear it, and you can see it in other people’s eyes at tea and dinner parties. Fine and now what? On the strength of all this he had got married again. Twice, on fact, and divorced twice. That made three times, didn’t it? That was plenty. He had spent a good deal of time and energy doing all sorts of thing he didn’t care for in the least to prove to his first wife, who had been a twenty-three-years-old school teacher in Minneapolis,
Dia tenggelam ke dalam karir di bidang kewartawanan dan mencapai prestasi baik. Dia adalah seorang ahli yang dikenal pada revolusi-revolusi di dua puluh sekian negara-negara Amerika Latin, dan simpati-simpatinya kebetulan jatuh tepat benar dengan majalah-majalah berharga tinggi yang punya kecenderungan kemanusiaan liberal yang membayarnya mahal bagi cerita yang disuguhkan kepada dunia tentang bangsa-bangsa yang tertindas. Lagi pula, dia benar-benar dapat menulis; jika dia katakan demikian dia punya gaya prosanya sendiri. Dicapainya sukses begitu rupa yang dapat kau gunting dari koran-koran dan tempelkan di buku, bisa kau hitung dan kau masukan ke bank, bisa kau makan dan minum dan pakai, dan bisa kau lihat di mata orang-orang lain pada pesta-pesta minum the dan makan malam. Bagus dan sekarang apa? Atas dasar itu semua dia menikah lagi. Sesungguhnyalah, dua kali, cerai dua kali. Menjadi tiga kali, bukan? Cukup banyak. Dia lewatkan banyak waktu dan energi untuk mengerjakan segala macam hal yang tidak disukainya sama sekali untuk membuktikan pada isteri pertamanya, yang berumur dua puluh tiga tahun dan menjadi guru sekolah di Minneapolis,

Minnesota, that he was not just merely a bum, fit for nothing but lying under a tree – if he had ever been able to locate that ideal tree he had in his mind’s eye – writing poetry and enjoying his life.
Now he had done it. He smoothed out that letter he had been turning in his hands and stroked it as if it were a cat. He said, “I’ve been working up to the climax all this time. You know, good old surprise technique. Now then, get ready.”
Miriam had written to him, after these five years, asking him to take her back. And would you to blame fo a great many things, she loved him truly and she always had, truly; she regretted, oh, everything , and hoped it was not too late for them to make a happy life together once more… She had read everything she could find of him in print, and she loved all of it. He had that very morning sent by cable the money for her to travel on, and he was going to take her back.


Minnesota, bahwa dia bukan sekedar seorang gelandangan, tak mampu berbuat apa pun kecuali berbaring di bawah sebatang pohon – jika dia selalu bisa menempatkan pohon idaman yang dia miliki itu di dalam mata batinnya – sambil menulis puisi dan menikmati hidupnya.
Sekarang dilakukannya. Dia ratakan surat yang diremas tangannya itu dan dibelainya seolah-seolah surat itu seekor kucing. Katanya, “Saya telah mencapai puncak selama ini. Kau tahu, teknik kejutan kuno yang bagus. Maka sekarang siaplah.”


Setelah lima tahun ini, Miriam menulis surat kepadanya, meminta agar dia menerimanya kembali. Dan percayalah anda Harus menyesali begitu banyak kesalahan, dia benar-benar mencintai lelaki itu dan memang selalu mencintainya; dia menyesali, oh, segalanya, dan berharap tak begitu terlambat bagi mereka untuk membangun hidup bahagia bersama sekali lagi… Perempuan itu telah membaca semua tentang dirinya dalam cetakan, dan semuanya dia sukai. Pagi-pagi benar lelaki itu mengirim uang melalui kawat padanya untuk biaya perjalanan, dan dia akan mengambil perempuan itu kembali.

She was going to live again in a Mexican house without any conveniences and she was not going to have a modern flat. She was going to take whatever he chose to hand her, and like it. And he wasn’t going to marry her again, either. Not he. If she wanted to live with him on these term, well and good. If not, she could go back once more to that school of hers in Minneapolis. If she stayed, she would walk a chalk line, all right, one she hadn’t drawn for herself. He picked up a cheese knife and drew a long sharp line in the checkered tablecloth. She would, believe him, walk that.
The hands of the clock pointed half past two. The journalist swallowed the last of his drink and went on drawing more cross-patches on the table-cloth with a relaxed hand. His guest wished to say, “Don’t forget to invite me to your wedding”, but thought better of it. The journalist raised his twitching lids and swung his half-focused eyes upon the shadow opposite and said, “I suppose you think I don’t know--“
Perempuan itu akan tinggal lagi di sebuah rumah Meksiko tanpa kemewahan dan dia tidak akan memiliki flat yang modern. Dan dia akan mengambil apa pun yang dipilih lelaki itu untuk diberikan kepadanya, dan menyukainya. Dan lelaki itu juga tidak akan mengawininya lagi. Bukan lelaki itu. Jika perempuan itu ingin hidup bersamanya dengan syarat-syarat ini, baik dan bagus. Jika tidak, dia hanya dapat kembali sekali lagi ke sekolahnya di Minneapolis itu. Jika ia tinggal, dia akan mematuhi tatatertib, benar, satu hal yang tidak dia ambil bagi dirinya sendiri. Lelaki itu mengambil pisau roti dan menggoreskan garis tajam yang panjang di atas taplak meja yang berwarna-warni. Dia percaya, perempuan itu akan berjalan di atasnya.


Jarum-jarum arloji menunjukkan dua-tiga puluh. Wartawan itu meneguk sisa minumannya dan terus menggambar potongan-potongan-lintas di atas taplak meja itu dengan tangan santai. Tamunya ingin mengatakan, “Jangan lupa untuk mengundangku ke pesta perkawinanmu”, tapi memikirkannya lebih seksama. Wartawan itu menaikkan kelopak matanya yang kejang dan mengalihkan matanya yang setengah terpusat pada bayangan di hadapan dan berkata, “Kukira kau berfikir bahwa aku tidak tahu--“

His guest moved to the chair edge and watched the orchestra folding up for the night. The café was almost empty. The journalist paused, not for an answer, but to give weight to the important statement he was about to make.
“I don’t know what’s happening, this time”, he said, “don’t deceive yourself. This time I know.” He seemed to be admonishing himself before a mirror.


















Tamunya bergeser ke tepi kursi dan menonton orkes yang menutup malam itu. Kafe itu hampir kosong. Wartawan itu berhenti, bukan karena sebuah jawaban, tapi untuk memberi bobot bagi pertanyaan penting yang hampir dibuatnya.

“Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, saat ini”, katanya, “jangan menipu dirimu sendiri. Saat ini aku tahu.” Dia seperti sedang menyapa dirinya sendiri di depan sekeping kaca







AN IDEAL FAMILY
That evening for the first time in his life, as he descended the three broad steps to the pavement, old Mr. Neave felt he was too old for the spring. Spring – warm, eager, restless – was three, waiting for him in the golden light, ready in front of everybody to run up, to blow in his white beard, to drag sweetly on his arm. And he couldn’t meet her. He was tired and, although the late sun was still shining, curiously cold. Quite suddenly he hadn’t the heart to stand this gaiety and bright movement any longer; it confused him. He wanted to stand still, to wave it away with his stick, to say, “Be of with you!” Suddenly it was a terrible effort to greet as usual all the people whom he knew, the friends, acquaintances, shop-keepers, postmen, drivers. But the gay glance that went with the gesture, the kindly twinkle that seemed to say, “I’m a match and more for any of you” – that old Mr. Neave could not manage at all.
It had been a day like other days at the office.
KELUARGA IDAMAN
Malam itu untuk pertama kali dalam hidupnya, seraya turun tiga langkah yang panjang ke jalan kaki lima, si tua Mr. Neave merasa dirinya begitu tua untuk musim semi itu. Musim semi – hangat, gairah, gelisah – ada di sana, menunggunya dengan cahaya emas, siap di depan siapa saja untuk mendahului, untuk menghembus janggutnya yang putih, untuk menarik tangannya dengan manis. Dan lelaki itu tak dapat menjumpainya. Dia merasa lelah dan, walaupun matahari masih bersinar, amat dingin. Tiba-tiba saja, dia tak berkehendak untuk mempertahankan keriangan dan irama yang gembira ini lagi; hal itu membingungkannya. Dia ingin diam di tempat, ingin mengusirnya dengan tongkatnya, ingin mengatakan, “Enyah kau!” Sekonyong-konyong muncul upya yang dahsyat untuk, seperti biasanya, memberi salam kepada semua orang yang dikenalnya, teman-teman, kenalan-kenalan, parapenjaga toko, para tukang pos, para sopir. Tapi kilatan pandang riang yang menyertai isyarat itu, keramahan yang nampaknya mengatakan, “Aku sebanding dan lebih baik bagi di antara kamu” – sehingga si tua Mr. Neave jadi salah tingkah.



Hari itu seperti hari-hari lainnya di kantor itu.
Nothing special had happened. Harold hadn’t come back from lunch until close on four. Where had been? What had been up to? He wasn’t going to let his father know. Old Mr. had happen to be in the vestibule, saying good-bye to a caller, when Harold sauntered in, perfectly turned out as usual, cool, suave, smiling that peculiar little half-smile that women found so fascinating.
Ah, Harold was too handsome, too handsome by far; that had been the trouble all along. As for his mother, his sisters, and the servants, they worshipped Harold, they forgave him everything. Old Mr. Neave struck sharply with his stick upon the pavement. But it wasn’t only his family who spoiled Harold, he reflected, it was everybody; he had only to look and to smile and down they went before him. So perhaps it wasn’t to be wondered at that he expected the office to carry on the tradition.
And than Charlotte and the girls were always at him to make the whole thing over to Harold,
Tak ada kejadian istimewa. Harold belum pulang sejak makan siang hingga jam empat. Di manakah dia berada? Ada apa dengan dia? Dia tidak akan membiarkan ayahnya tahu. Si tua Mr. neave kebetulan berada di beranda depan, sedang mengucapkan selamat tinggal kepada seorang tamu, ketika Harold berjalan lenggeng-kangkung masuk, berpakaian lengkap seperti biasa, tenang sangat sopan, sambil melemparkan senyum dikulum yang khas yang begitu mempesona. para wanita.

Ah, Harold terlalu tampan, benar-benar terlalu tampan; pada dasarnya ketampanan itu yang menimbulkan kesulitan. Mengenai ibunya, saudari-saudarinya dan babu-babu, mereka memuja Harold, mereka memaafkannya atas segalanya. Neave menggores tajam tepi jalan kaki-lima dengan tongkatnya. Tapi bukan hanya keluarganya yang memanjakan Harold, pikir lelaki itu, semua orang; dia hanya harus memandang dan memberikan senyuman dan menunduklah mereka di hadapannya. Sehingga barangkali tak mengherankan kalau sampai dia mengharapkan agar di kantor tradisi semacam itu tetap berlaku.


Kemudian Charlotte dan gadis-gadis itu selalu menyarankan pada si tua itu untuk menyerahkan segalanya pada Harold,
to retire, and to spend his time enjoying himself. Enjoying himself Sitting at home, twiddling his thumbs, conscious all the while that his life’s work was slipping away, dissolving, disappearing through Harold’s fine fingers, while Harold smiled….
“Why will you be so unreasonable, father? There’s absolutely no need for you to go to the office. It only makes it very awkward for us when people persist in saying how tired you’re looking. Here’s this huge house and garden. Surely you could be happy in – in – appreciating it for a change. Or you could take up some hobby”.
Well, well! He couldn’t help a grim smile as pain fully he began to climb the hill that led into Harcourt Avenue. Where would Lola and her sisters and Charlotte be if he’d gone in for hobbies, he’d like to know? They where smart, good-looking girls, and Charlotte was a remarkable woman. As a matter of fact, no other house in the town was as popular as theirs; no other family entertained
untuk istirahat, dan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang diri. Bersenang-senang diri! Duduk di rumah, berpangku tangan, menyadari selama ini bahwa pekerjaan hidupnya lambat-laun habis, melarut, menghilang karena tangan Harold yang cekatan, sedangkan Harold tersenyum….

“Kenapa ayah semakin aneh-aneh saja? Tak perlu lagi ayah bersusah-payah pergi ke kantor. Itu hanya membuat kami sangat kikuk bila orang-orang terus-terusan mengatakan betapa nampak lelahnya ayah. Rumah dan pekarangan ini begitu luas. Sekali-sekali tentulah ayah bisa bahagia dalam menghayatinya. Atau ayah dapat memulai sesuatu kegemaran”.


Ya, baiklah! Dia tak dapat menahan senyum kecut ketika dengan susah-payah dia mulai mendaki bukit yang menuju ke Jalan Harcourt. Apakah jadinya Lola dan saudari-saudarinya dan charlotte nanti jika dia punya hobi, dia ingin tahu? Mereka gadis-gadis yang cantik dan jelita, dan charlotte seorang wanita yang luar biasa. Sesungguhnyalah, tidak ada rumah lain di kota ini yang setenar rumah mereka; tidak ada keluarga lain yang begitu sering mengadakan

so much. And how many times old Mr. Neave, pushing the cigar box across the smoking-room table, had listened to praises of his wife, his girls, of himself even.
“You’re an ideal family, sir, an ideal family. It’s like something one reads about or sees on the stage”.
That was why the girls had never married, so people said. They could have married anybody. But they had too good a time at home. They were too happy together, the girls and Charlotte. H’m, h’m! Well, well! Perhaps so….
By this time he had walked the length of fashionable Harcourt Avenue; he had reached the corner house, their house. Thea carriage gates were pushed back; there were fresh marks of wheels on the drive. And than he faced the big white-painted house, with its wide open-windows, its tulle curtains floating outwards, its blue jars of hyacinths on the broads stills. And, somehow, it seemed to old Mr. Neave that the house and the flowers, and even the fresh marks
perjamuan. Dan sangat sering si tua Mr. Neave, sambil mendorong kotak cerutu di seberang meja ruang merokok, mendengarkan puji-pujian dari isterinya, puteri-puterinya, bahkan dari dirinya sendiri.
“Anda keluarga idaman, tuan, sebuah keluarga idaman. Bagaikan sesuatu yang terbaca atau terlihat di atas pentas”.

Itulah sebabnya gadis-gadis itu tak pernah menikah, begitu kata orang. Bisa saja mereka menikah dengan seseorang. Tapi mereka terlalu menikmati waktu di rumah. Mereka begitu bahagia bersama, gadis-gadis itu dan Charlotte. Hmm, Hmm! Ya, ya! Mungkin begitu….


Sekarang dia berjalan menyusuri panjangnya Jalan Harcourt yang modern itu; dia sampai di rumah pojok itu, rumah mereka. Pintu gerbang di dorong; ada bekas-bekas dari roda-roda yang masih baru di atas jalan yang menuju ke halaman rumah itu. Kemudian dia berhadapan dengan rumah besar yang bercat putih, dengan jendela-jendelanya yang terbuka lebar, korden-kordinnya yang terbuat dari kain tipis mengambang keluar, pot-pot biru berisi bunga-bunga bakung di atas ambang-ambang yang lebar. Dan, entah bagaimana, sepertinya bagi si tua Mr. Neave bahwa rumah dan bunga-bunga itu, dan bahkan bekas-bekas yang masih
on the drive, were saying, “There is young life here. There are girls“
The hall, as always, was dusky with warps, parasols, gloves piled on the oak chests. From the music-room sounded the piano, quick, loud and impatient. Through the drawing-room door that was ajar voices floated.
Suddenly the music-room door opened and Lola dashed out. She started, she nearly screamed, at the sigh of old Mr. Neave.
“Gracious, father! What a fright you gave me! Have you just come home? Why isn’t Charles here to help you of with you coat?”
Old Mr. Neave started at his youngest daughter; he felt he had never seen before. So that was Lola, was it? But she seemed to have forgotten her father; it was not for him that she was waiting there. The telephone rang. A-ah Lola gave a cry and dashed past him. The door of the telephone,-room slammed, and at the same moment charlotte called, “Is that you, father?”

baru di atas jalan mobil itu, sedang berkata, “Kehidupan muda ada di sini. Ada gadis-gadis“
ruangan itu senantiasa kehitam-hitaman karena selendang-selendang, payung-payung matahari, sarung-sarung tangan yang bertumpukan di atas lemari-lemari kayu eik. Dari ruang musik berbunyi piano, cepat, keras dan tak sabar. Melalui pintu ruang-duduk yang terbuka sedikit, suara-suara terapung.
Tiba-tiba pintu ruang-musik terbuka dan Lola keluar. Dia terkejut, dia hampir berteriak demi melihat si tua Mr. Neave.

“Astaga, ayah! Menakut-nakuti saja! Baru saja pulang? Mengapa Charles tidak di sini untuk membantu ayah melepaskan jas”


Si tua Mr. Neave menatap puterinya bungsu; dia merasa belum pernah melihatnya sebelum ini. Begitukah Lola? Tapi nampaknya dia telah lupa pada ayahnya; itu bukan karena dia kalau Lola sedang menunggu di sana. Tilpon berdering. Hai! Lola berteriak dan meloncat melewatinya. Pintu ruang-tilpon terhempas, dan saat itu pula Charlotte memanggil, “Kaukah itu, pak?”




“Did you walk back, father?” asked Charlotte.
“Yes, I walked home”, said old Mr. Neave, and he sank into one of the immense drawing-room chairs”.
“But why didn’t you take a cab?” said Ethel.
“My dear Ethel”, cried Marion, “if father prefers to tire himself out, I really don’t see what business of ours it is to infere”.
“Children, children!” coaxed Charlotte.
But Marion wouldn’t be stopped, “No, mother, you spoil father, and it’s not right. You ought to be stricter with him. He’s very naughty”. She laughed her hard, bright laugh and patted her hair in a mirror.
“Did Harold leave the office before you, dear?” asked Charlotte, beginning to rock again.
“I’m not sure”, said old Mr. Neave, “I’m not sure. I didn’t see him after four o’clock”.
“He said--“ began Charlotte.
Old Mr. Neave sank into the board lap of his chair, and, dozing, heard them as though
“Apakah kau pulang berjalan, pak?” tanya Charlotte.
“Ya, aku jalan kaki pulang”, kata si tua Mr. Neave, dan dia terbenam di kursi di dalam ruang-duduk yang mat luas itu”.

“Tapi kenapa ayah tidak naik taksi?” kata Ethel.
“Ethel sayang”, teriak Marion, “jika ayah senang berlelah-lelah, aku benar-benar tidak mengerti apa perlunya kita harus turut campur”.

“Anak-anak, anak-anak!” bujuk Charlotte.

Tapi Marion tidak berhenti. “Tidak, bu, ibu memanjakan ayah, dan itu tidak benar. Ibu harus lebih keras terhadapnya. Ayah sangat nakal’. Dia menertawakannya keras-keras, tawanya gembira dan mengelus rambutnya di dalam cermin.

“Apakah Harold meninggalkan kantor sebelum kau, sayang?” tanya Charlotte, mulai bergoyang lagi.
“I’m not sure”, kata si tua Mr. Neave, aku tak pasti.

“Dia tadi bilang--“ mulai Charlotte.
Si tua Mr. Neave terbenam dalam pangkuan kursinya yang lebar itu, dan, sambil mengantuk mendengar mereka seakan-akan
he dreamed. There was no doubt about it, he was tired out. Even Charlotte and the girls were too much for him tonight. They were too… too… But all his drowsing brain could think of was—too rich for him tonight. They were too… too… But all his drowsing brain could think of was—too rich for him. And some where at the back of everything he was watching a little withered ancient man climbing up endless flights of stairs. Who was he?
“I shan’t dress to night”, he muttered.
“What do you say, father?”
“Eh, what, what?” Old Mr. Neave woke with a start and stared across at them. “I shan’t dress to night,” he repeated.
“But, father, we’ve got Lucile coming, and Henry Davenport, and Mrs. Teddie Walker.”
“It will look so very out of the picture.”
“Don’t you feel well, dear?”
“You needn’t make any effort. What is Charles for?”
“But if you’re really not up to it,” Charlotte wavered.
dia bermimpi. Tak ragu lagi, dia sangat kelelahan. Bahkan Charlotte dan gadis-gadis itu kurang berkenan di hatinya malam ini. Mereka terlalu… terlalu… tetapi apa yang dapat dipikirkan segenap otaknya yang malas dan mengantuk itu – terlalu penuh baginya. Dan di balik sebelah mana saja dia menatap seorang manusia purba yang lemah dan kecil sedang mendaki tingkat-tingkat anak tangga tanpa akhir. Siapakah dia?




“Aku tak usah berdandan malam ini”, dia komat-kamit.
“Apa kau bilang, ayah?”
“Eh, apa, apa?” Si tua Mr. Neave terjag dengan gerak terkejut dan memandangi mereka. “Aku tak usah berdandan malam ini,” ulangnya.

“Tapi pak kita kedatangan Lucile, dan Henry Davenport, dan Nyonya Teddie Walker.”

“Itu tak akan menyedapkan pandangan.”

“Kau merasa tidak sehat, sayang?”
“Kau tidak perlu repot-repot. Buat apa Charles segala?”
“Tapi terserahlah jika kau memang tidak bersedia,” Chaarlotte ragu-ragu.
“Very well! Very well!” old Mr. Neave got up and went to join that little old climbing fellow just as far as his dressing-room….
There young Charles was waiting for him. Young Charles had been an favorite of his ever since as a little red-faced boy he had come in to the house to look after the fires. Old Mr. Neave lowered himself into the cane lounge by the window, stretched out his legs, and made his little evening joke, “Dress him up, Charles!” And Charles, breathing intensely and frowning, bent forward to take the pin out of his tie.
H’m, h’m! Well, well! It was pleasant by the open window, very pleasant – a fine wild evening. They were cutting the grass on the tennis court below. Soon the girls would begin their tennis parties again.
Old Mr. Neavea sighed, got up, and putting one hand under his beard, he took the comb from young Charles and carefully combed the white beard over.

“Bagus! Bagus!” si tua Mr. Neave bangun dan pergi bergabung dengan orang pendaki yang tua dan kecil itu hanya sampai sejauh kamar-hiasnya….
Di sana Charles muda sedang menunggunya. Charles muda telah menjadi kesayangannya sejak sebagai anak kecil bermuka-merah dia datang ke rumah itu untuk mengurus perapian. Si tua Mr. Neave menenggelamkan dirinya ke dalam kursi rotan panjang dekat jendela, menyelonjorkan kakinya, dan menciptakan gurauan-kecil-petang-harinya, “Dandani dia, Charles!” Dan Charles, sambil menarik nafas dalam-dalam dan mengerutkan dahi, membungkuk untuk mengeluarkan jepitan itu dari dasinya.


Hhm, hhm! Ya, ya! Begitu nyaman di dekat jendela terbuka, sangat nyaman – suatu petang lembut yang sangat indah. Mereka sedang memangkas rumput di lapangan tenis di bawah sana. Gadis-gadis itu segera akan memulai pesta-pesta teknisnya lagi.

Si tua Mr. Neave mendesah, bangun, dan sambil menaruh sebelah tangannya di bawah janggutnya, dia mengambil sisir dari Charles muda dan dengan hati-hati menyisir jenggot yang putih itu.

“That will do, my lad.” The door shut, he sank back, he was alone.
And now that little ancient fellow was climbing down endless flights that led to a glittering, gay dinning-room. what legs he had! They were like a spider’s – thin, withered.
“You’re an ideal family, sir, an ideal family.”
But if that were true, why didn’t Charlotte or the girls stop him? Why was he all alone, climbing up and down? Where was Harold? Ah, it was no good expecting anything from Harold. Down, down went the little old spider, and then to his horror, old Mr. Neave saw him slip past the dining-room and make for the porch., the dark drive, the carriage gates, the office. Stop him, stop him, some body!
Old Mr. Neave started up. It was dark in his dressing-room; the window shone pale. How long had he been asleep? He listened, and through the big, airy, darkened house there floated far-away voices, far-away sounds.
“Cukuplah, nak.” Pintu tertutup, dia merebahkan diri, dia seorang diri.

Dan sekarang orang purba yang kecil itu sedang menuruni trap-trapan tanpa ujung yang menuju ke sebuah kamar-makam yang warna-warni dan gemerlap. Kaki-kaki apa yang dimilikinya itu! Kaki-kaki yang seperti punya labah-labah – lemah, kurus.
“Anda keluarga idaman, tuan, sebuah keluarga idaman.”
Tapi lika benar, kenapa Charlotte dan gadis-gadis itu tidak mencegahnya? Kenapa dia sendirian, memanjat ke atas dan turun? Di manakah Harold? Ah, tak baik mengharap sesuatu dari Harold. Turun, turunlah labah-labah kuno yang kecil itu, dan kemudian, dengan ketakutan si tua Mr. Neave melihatnya menyelinap melewati ruang-makan dan menuju serambi, jalan di halaman yang gelap, pintu gerbang, kantor. Hai, cegat dia, cegat dia!



Si tua Mr. Neave terperanjat. Kamar riasnya gelap; jendelanya memancarkan pucat. Telah berapa lama dia tertidur? Dia mendengar, dan di seantero rumah, yang gelap, luas-terbuka dan besar itu, mengambang suara-suara yang jauh, bunyi-bunyi yang jauh.

Perhaps, he thought vaguely, he had been asleep for a long time. He’d been forgotten. Life had passed him by. Charlotte was not his wife. His wife!
… A dark porch, half hidden by a passion-vine, that drooped sorrowful, mournful, as though it understood. Small, warm arms were round his neck. A face, little and pale, lifted to his, and a voice breathed, good-bye, my treasure.”

My treasure! “Good-bye, my treasure!” which of them had spoken? Why had they said good-bye? There had been some terrible mistake. She was his wife, that little pale girl, and all the rest of his life had been a dream.
Then the door opened, and young Charles, standing in the light, put his hands by his side and shouted like a young soldier, “Dinner is on the table, sir!”
“I’m coming, I’m coming, “ said old Mr. Neave.



Barangkali, pikirnya samar-samar, dia telah tertidur begitu lama. Dia telah terlena. Hidup telah meninggalkannya. Charlotte bukanlah isterinya. Isterinya!

… Sebuah serambi yang gelap, separoh tersembunyi oleh sebatang anggur-suci, yang terkulai sedih, memilukan, seolah-olah dia mengerti. Tangan-tangan hangat dan kecil berada di sekitar lehernya. Sebuah wajah, kecil dan pucat, menyerupai wajahnya, dan sebuah suara berhembus, “Selamat tinggal, harta-bendaku.”
Harta-hartaku! “Selamat tinggal, harta-bendaku!” Yang mana di antara wajah-wajah itu yang bicara? Mengapa mereka mengucapkan selamat tinggal? Ada kesalahan tertentu yang mengerikan. Wanita itu isterinya, gadis pucat yang kecil itu, dan semua sisa hidupnya hanyalah sebuah impian.
Kemudian pintu terbuka, dan charles muda, berdiri di tempat yang terang, tangan-tangannya di sampingnya dan berteriak bagaikan seorang serdadu muda, “Makan malam sudah siap, tuan!”
“Aku datang, aku datang,” kata si tua Mr. Neave.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar