Rabu, 13 Januari 2010

Pers Mahasiswa sebagai Agen Perjuangan


I. Pendahuluan
Pers mahasiswa Indonesia moderen bangkit dan berkembang, setidak-tidaknya, bersamaan dengan kebangkitan gerakan mahasiswa melawan rezim yang berkuasa yang dinilai menyimpang dari harapan rakyat, dengan gerakan mahasiswa Angkatan 66, yang ditandai tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru. Di pusat-pusat pergerakan mahasiswa, di kampus-kampus seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, pers mahasiswa, yang juga dikenal dengan pers kampus atau koran kampus, makin berkembang sebagai agen perjuangan yang bersikap kritis terhadap praktek-praktek kekuasaan yang dipandang tidak sesuai dengan tuntutan nurani rakyat.
Pada tahun-tahun 1970an, beberapa pers mahasiswa seperti Salemba (UI), Ganesha (ITB), dan Balairung (UGM) sempat berkembang sampai melintasi kampus masing-masing. Koran kampus pada waktu itu menjadi bacaan kalangan mahasiswa sampai di luar kampus yang menerbitkannya, bahkan sempat beredar di toko-toko buku dan pasaran umum.
Pada masa itu, koran-koran kampus dipandang sebagai penerbitan yang lebih bebas dan “berani” – suatu sikap dan praktek yang tidak “mampu” dilakukan oleh penerbitan umum. Tokoh-tokoh penerbitan di UI, seperti Pamusuk Eneste yang dilanjutkan Antony Z. Abidin, menulis kolom-kolom editorialnya dengan berani sehingga menjadi bacaan yang “memberi harapan” sikap kritis mahasiswa sebagai agen perjuangan.
II. Perkembangan 1980an-1990an
Bersamaan dengan itu pergerakan mahasiswa pun mengembangkan sikap kritisnya melalui demonstrasi terbuka sehingga menimbulkan kerusuhan massa seperti “Peristiwa Malari” (1974) dengan tokoh Hariman Siregar. Beberapa di antara mereka ditangkap, diinterogasi, dan ditahan. Sebagian di antaranya kemudian belajar ke luar negeri, misalnya Hariman Siregar ke Australia, Pamusuk Eneste ke Jerman, dan sebagainya.
Pada tahun-tahun 1980an-1990an gerakan-gerakan mahasiswa yang menonjol dilakukan melalui penyelenggaraan diskusi-diskusi di kampus dan demonstrasi, bersama dengan kelompok-kelompok intelektual lain yang memiliki rasa keprihatinan terhadap isyu-isyu kemasyarakatan dan nasib bangsa. Pada masa itu makin banyak penangkapan dilakukan terhadap para intelektual kritis di kampus. Meskipun masih terus berkembang dan makin banyak, pada tahun-tahun 1980an hingga sekarang gerakan mahasiswa melalui pers mengalami kesurutan dari sisi perluasan dan penyebarannya. Sebaliknya, gerakan mahasiswa melalui demonstrasi dapat dibaca dalam pemberitaan pers umum yang makin membuka diri terhadap berbagai isyu lokal dan nasional.
Dapat dikatakan bahwa sejak tahun-tahun 1970an sampai 2000an erat kaitan antara kegiatan dan gerakan mahasiswa sebagai agen perubahan melalui pers dan melalui demonstrasi.
III. Pers Mahasiswa sebagai Agen Perjuangan
III. 1. Pemahaman Gerakan Perubahan Sosial dan Politik
Gerakan perubahan sosial dan politik, terutama yang dilakukan mahasiswa terjadi apabila:
(1) Bangsa mengalami krisis sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan yang besar.
(2) Lembaga-lembaga pemerintah, perwakilan rakyat dan peradilan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, terutama karena terkooptasi oleh kekuasaan.
(3) Kemajuan, perubahan dan perkembangan kehidupan berbangsa begitu pesat, sehingga menuntut penyesuaian kehidupan sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan secara memadai, sedangkan struktur dan kebudayaan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara belum sepenuhnya siap menghadapinya.
III. 2. Signifikansi Pers Mahasiswa
Pers mahasiswa berkembang dan melampaui batas-batas kampus, setidak-tidaknya, ketika:
(1) Pers umum kurang mendapatkan kepercayaan masyarakat untuk membawakan dan menyampaikan aspirasi perubahan sosial-politik, ekonomi dan kebudayaan.
(2) Pers umum terbelenggu kebebasannya, sehingga sebagian perannya sebagai agen perubahan dan penyalur kritik masyarakat terhadap kekuasaan dibatasi.
(3) Terjadi pembredelan besar-besaran terhadap pers umum.
(4) Pers mahasiswa dipandang sesuai harapan masyarakat pembaca dalam menyampaikan aspirasi dan sikap kritisnya.
III. 3. Pers Mahasiswa Berkarakteristik Kampus
Pada hakekatnya kampus adalah tempat mencari dan menemukan kebenaran. Oleh sebab itu pers mahasiswa sesungguhnya harus
(1) Berorientasi kepada pencarian dan penemuan kebenaran, sebagai dasar dari perilaku ilmiah.
(2) Salah satu metode yang dapat ditempuh adalah pemberitaan dan analisis terhadap suatu isyu secara obyektif dan memenuhi rasa keadilan.
(3) Misalnya, cara peliputan dengan cover both sides dan investigative reporting; jika perlu bahkan secara ilmiah dengan penelitian yang detil.
(4) Mengedepankan analisis yang obyektif, tidak memihak dan berazas keadilan.
III. 4. Otokritik
Otokritik adalah metode atau alat bagi pers mahasiswa untuk memandang dan menilai dirinya sendiri. Perlu dilakukan:
(1) Perbandingan dengan penerbitan yang sejenis yakni sesama pers mahasiswa.
(2) Pertukaran penerbitan pers mahasiswa, dalam suatu jaringan perhimpunan dan luar perhimpunan, agar “katak ke luar dari tempurung.”
(3) Evaluasi diri semesteran atau tahunan untuk perbaikan dan pengembangan.
III. 5. Konsolidasi antar Pers Mahasiswa untuk Langkah Taktis dalam Strategi Gerakan ke Depan

Untuk gagasan konsolidasi, dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Pertemuan secara periodik, misalnya tiap tahun atau 2 tahun sekali.
(2) Tempat pertemuan bergiliran, ditetapkan pada pertemuan sebelumnya.
(3) Tiap pertemuan meliputi evaluasi terhadap rencana kegiatan dan konsolidasi yang ditetapkan pada pertemuan sebelumnya.
(4) Progress report oleh koordinator yang dipilih pada pertemuan sebelumnya.
(5) Langkah-langkah taktis untuk strategi gerakan ke depan dirumuskan oleh suatu komisi, kemudian diteruskan dengan pleno.
III. 6. Penguatan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia
(1) Pertemuan dan pembicaraan dilakukan secara demokratis tetapi sistematis dan terarah (dengan arah yang jelas).
(2) Setiap keputusan dilakukan secara demokratis dan terbuka. Jangan tabu dengan voting!
(3) Pererat hubungan jaringan dengan sarana dan teknologi moderen yang tersedia.
(4) Galang hubungan jaringan pers mahasiswa dengan pihak-pihak lain, seperti pers, penerbitan dan media umum.
(5) Selenggarakan dan kembangkan kerjasama dan hubungan simbiose mutualistis dengan pihak-pihak dan lembaga-lembaga lain.


IV. Penutup
Tugas akademik mahasiswa secara normatif adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi (TDPT), dengan melaksanakan (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian kepada Masyarakat. Kegiatan dan gerakan pers mahasiswa adalah perwujudan dan pelaksanaan dari TDPT tersebut. Oleh sebab itu, dalam mengembangkan pers mahasiswa, orientasi pencarian dan penemuan kebenaran dengan kegiatan yang obyektif, ilmiah dan berkeadilan sosial tetap menjadi arah yang tak boleh diabaikan. Pengembangan kepribadian, pencarian jati diri, persiapan sebagai intelektual muda dan persiapan karir masa depan dapat dilakukan melalui kegiatan dan pengembangan pers mahasiswa, yang dilakukan secara tekum, aktif, jujur dan penuh dedikasi, serta ke arah profesional.***

NHK
Semarang, Minggu 2 Mei 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar