Kamis, 14 Januari 2010

Perjalanan Spiritual Maya Ke Archana Apresiasi Terhadap Buku " Penggal Kepalamu dan Persembahkan pada Sang Murshid " Kisah Seorang Murid Karya Maya Safira Muchtar

Saya menerima dan membaca buku Maya Safira Muchtar (MSM) Penggal Kepalamu… di sela-sela kesibukan yang kebetulan sedang cukup padat. Seolah-olah memang sudah dikelola oleh Sang Maha Hadir, orang yang cukup sibuk dengan berbagai kegiatan yang cenderung mengelola enerji kepala sebaiknya membaca buku perjalanan hidup manusia yang dimuati oleh ajaran-ajaran spiritual.
Oleh sebab itu, saya amat sepakat jika pada bagian yang berjudul “Spiritualitas Funky” (257-267) (salah satu tema utama buku) disampaikan, “spiritualitas bagi kami adalah fondasi dasar bagi kehidupan secara utuh. Ia harus mewarnai setiap tindakan kita” (258). Selanjutnya harus diperhatikan ajaran Murshid Anand Krishna (AK),
“Ritus keagamaan, akidah agama dan lain sebagainya sebenarnya bersifat sangat individualistik. Perlu dipelajari, didalami, dan dilakoni secara pribadi. Sementara spiritualitas, bagi saya, adalah esensi agama yang dapat dijadikan landasan bagi interaksi dan hubungan dengan masyarakat luas. Agama bersifat pribadi, spiritualitas bersifat umum. Bila berbicara tentang kesatuan dan persatuan, maka landasannya haruslah spiritualitas” (258-59).

Sangat penting pula bagi para pemeluk Allah, penekanan AK:

“Mustahil dapat memisahkan Allah dari aktifitas kita sehari-hari. Eksistensi kita sendiri karena Allah. Manusia tidak memiliki eksistensi di luarnya. Konflik terjadi bila pikiran kita berupaya untuk memisahkan diri dari Allah” (263).

Memang seharusnya demikian, tapi konflik yang tajam terlalu sering terjadi karena mereka yang berkonflik “memisahkan diri dari Allah.” Bagian-bagian dari ajaran-ajaran agama, spiritualitas dan filsafat sebetulnya menuntun manusia untuk menjadikan masyarakat sebagai medan perwujudan nilai-nilai akhlak tertinggi, dan menganggap gerak kemasyarakatan sebagai pengejawantahan tata-moral yang paling tinggi. Nilai-nilai spiritual sangat diperlukan bagi moralitas dalam pergaulan sosial, karena nilai-nilai spiritualitas menuntut kehadiran manusia-manusia, yang saling berinteraksi, dan mengembangkan keadaan saling-tanggap terhadap tindakan moral yang dilakukan.
Tema-tema yang terkandung dalam buku ini, seperti cinta dan kasih-sayang, kedamaian, keadilan, toleransi, pengorbanan, pengabdian, dan persembahan, yang disampaikan jalin-menjalin dengan kekecewaan, kemarahan, egoisme, ketidaksadaran, kebodohan, ketidaktahuan, kemenyendirian dan kesepian, merupakan tema-tema besar dan kebutuhan kemanusiaan yang tak surut sepanjang zaman.
Dengan fondasi spiritualitas, tema-tema tersebut hanya dapat diwujudkan oleh manusia dalam pergaulan dengan manusia lain (hablumminannas). Sangat sulit dibayangkan adanya seseorang yang dapat mengamalkan tindakan moral-spiritual, etika dan kebajikan secara sendirian, karena tindakan spiritual bernilai Ilahiyah merupakan implementasi amal sholeh yang ditebarkan sebagai penanda Kehadiran Sang Harum Semerbak Mewangi. Dengan pemahaman demikian, kebajikan dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat sesungguhnya sekaligus merupakan implementasi hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablumminallah).
Dalam kesimpulan MSM, “Benar saja, spiritulitas memang funky, bisa digunakan untuk membahas apa saja” (267).




II

Kesimpulan MSM tentang spiritualitas yang ngepop atau funky sesungguhnya merupakan buah dari perjalanannya bertemu dengan Sang Guru atau Murshidnya. Sebelum melakukan perjalanan spiritual dengan pertemuannya dengan Sang Murshid, MSM, seperti digambarkannya, adalah tokoh kisah dari korban pelecehan seksual dalam usia terlalu dini, sehingga mengalami situasi dilematis yang membingungkan, menimbulkan kemarahan, kekecewaan, depresi, sampai hampir putus harapan dengan memandang dirinya sebagai manusia yang “kotor.” Dalam dunia spiritual, manusia yang “kotor” harus mengalami purifikasi; dalam wadag jasmani ia harus dimandikan dengan “kembang setaman” dengan air yang bersumber dari 7 mata air yang suci.
Sang Murshid AK, sang Alma Mater, adalah Bidan bagi kelahiran (kembali) Maya (ilusi) dengan julukan “Archana” (persembahan kepada Maha Sinembah). Jadilah Archana manusia baru yang mengalami proses pencerahan dunia batin, pengendalian emosi dan jasmani. Misalnya, dia terkesan “menerima” – dengan indikasi pengendalian amarah dan ego-center, dalam menghadapi persoalan keluarganya. Paling tidak, buku ini juga aktualisasi katarsis bagi perjalanan hidupnya, yang disampaikannya dengan kejujuran seorang Murid mengenai gelombang lautan dunia batin dan jasmaninya, di hadapan Sang Murshid. Penyampaian katarsis dengan kejujuran yang belum tentu semua orang “mampu” melakukannya.
“Keterbukaan hati” merupakan satu syarat untuk “menerima” ajaran atau “fatwa” Sang Murshid. Dalam tradisi Sufi, penyerahan dan keterbukaan total Murid kepada Murshid juga menjadi bagian integral dari interaksi spiritual yang berbuah dan berberkah, sampai-sampai “memenggal kepala dan mempersembahkannya kepada Sang Murshid” menjadi pilihan yang mempertajam makna interaksi spiritual, berbasis Cinta dan Kasih. Dan “Cinta Itulah Allah” (88-107). Dengan Cinta dan Kasih, Archana tidak lagi geram, tetapi “aku gemas” (107). Kisah kegemasannya memang beralasan.
Pernah seorang wartawan …. mewawancarai Bapak, aku dan beberapa teman dari Ashram. Yang ia tanyakan bolak balik adalah, “apakah anda shalat?” …. (105).
“Aku hanya bisa menjawab, “ya saya tetap melakukan shalat seperti biasa, walaupun tidak lima kali sehari. Tetapi saya berusaha selalu shalat dalam arti, mengisi hidupku dengan shalat dan dzikir. Jika benar-benar membuka diri, kita dapat melihat bahwa ayat Tuhan itu benar-benar bertebaran di mana-mana seperti dikatakan di dalam Al Qur’an, wajah Allah ada di mana-mana. Lihat ini semua di sekeliling kita… pohon, bunga, alam dan isinya. Jika kita benar-benar dapat melihat itu, tidak akan terjadi namanya penggundulan hutan di Kalimantan” (106).

III
Persaudaraan dalam pergaulan sosial dan kehidupan beragama dalam masyarakat majemuk harus mendapat tempat yang utama. Telah kita saksikan begitu banyaknya manusia kurang mampu menafsirkan ajaran-ajaran agama secara lapang dada, sehingga hanya konflik yang tajam buahnya. Banyak di antara mereka jauh dari pemahaman hablumminannas dan hablumminallah untuk mencapai spirituality, yang seharusnya menjadi tingkatan hakiki yang tinggi dalam religiosity.
Ajaran tauhid mengandung gagasan persaudaraan bagi seluruh ummat manusia, dengan mengingat bahwa manusia diciptakan oleh yang Maha Wahid sekaligus Maha Hadir. Semua manusia adalah bersaudara karena mereka diciptakan oleh Pencipta yang Satu. Persaudaraan dan kebaikan manusia tidak terbatas kepada sesama manusia, melainkan juga kepada makhluk-makhluk yang lain. Ajaran kecintaan terhadap lingkungan fisik dan non-fisik, flora, fauna dan makhluk-makhluk lain merupakan salah satu puncak dari nilai-nilai kemuliaan yang harus diamalkan oleh para kholifah di bumi, sebagai “dharma” kepada sesamanya dan kepada Al-Khalik.
Namun demikian, setidak-tidaknya yang saya pahami dalam Islam, matra pergaulan sosial ummat manusia pada kodratnya (given) berjenjang. Pada matra pertama, manusia memahami dan mengimplementasikan Ukhuwah Islamiyah, yang mendasari persaudaraan dan pergaulan sosial antar sesama pemeluk Islam; matra kedua, Ukhuwah Wathoniyah, persaudaraan dan pergaulan sosial umat sebangsa, meski berbeda agama, kelompok etnik dan kesukuan; dan matra ketiga, Ukhuwah Insaniyah, yakni pergaulan sosial antar sesama manusia, sebagai insan ciptaan Allah, yang terdiri atas berbagai bangsa.
Selain bangsa manusia, manusia harus hidup berdampingan dan bergaul dengan makhluk-makhluk lain yang juga ciptaan Al-Khalik, yakni binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang adalah saudara-saudara sesama makhluk. Dalam berbagai matra pergaulan, kiranya masing-masing matra harus mengandung etika yang tidak saling bertabrakan.
Sesungguhnyalah bahwa inti dan konsep dasar pergaulan antar manusia dan antar makhluk adalah kasih-sayang terhadap sesama makhluk ciptaan Allah, sebagai perwujudan dari sikap amal sholeh dan ketaqwaan manusia yang berkarakteristik dan berderajat tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya di Alam Semesta ini.
Archana dan Anand Khrisna menyuratkan dan menyiratkannya dalam pergaulan hidup dan laku spiritual.
IV
Terbersit dalam pikiran saya, buku ini dapat diperlakukan sebagai karya sastra, dengan persyaratan memadai dalam genre novel, yakni novel realis. Ada tema-tema, tokoh-tokoh (utama Archana sendiri sebagai round character dan Anand Krishna, serta pendukung-pendukung), setting yang tangible (real, able to be touched or felt) dan intangible (non-material, not able to be sensed by touching) (fisik dan non-fisik), diksi yang menarik, dan bernilai baru (nouvou, new or different idea). Tetapi dia tidak sekedar demikian, karena padatnya muatan yang sarat dengan pembaharuan pemikiran dan pandangan spiritual bagi bangsa yang sosio-relijius.
Pada zaman sampai akhir abad ke 20, manusia berada pada tahapan menyadari kebutuhan akan kemampuan otak (Intelligence Quotient/IQ) dan berikutnya kemampuan pengendalian emosi (Emotional Quotient/EQ). Pada abad ke-21 ini manusia telah sampai pada kesadaran akan kebutuhan mengembangkan kemampuan dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ). Berbagai kegiatan manusia dalam masyarakat Pasca-Industri pada akhirnya mempersyaratkan SQ sebagai kebutuhan yang tertinggi.
Jangan sampai kita terlambat lagi, gerbong-gerbong dan pesawat-pesawat SQ harus segera kita bangun dan kembangkan, sedangkan umat peserta, penumpang, mulai antri, sabar menunggu!
Aroma, wewangian Sang Maha Wangi, telah menghadiahi berkah dan hidayah akal budi dan peradaban manusia.
Semarang, 9 Oktober 2004
NHK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar