Kamis, 14 Januari 2010

Toleransi Agama dan Kepercayaan

I. Pendahuluan
Hubungan sosial kita merupakan produk dari proses sejarah panjang yang membentuk nilai-nilai yang sebagian hendak kita tinggalkan dan sebagian lagi perlu kita pahami, tafsirkan kembali, dan implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagian nilai-nilai hendak kita tinggalkan karena terasa tidak sesuai lagi atau harus disesuaikan melalui reinterpretasi dan implementasi dalam kehidupan bersama. Sebagian lagi memerlukan pemahaman kembali untuk diwujudkan dalam pergaulan sosial, karena nilai-nilai tersebut memang masih sangat dibutuhkan untuk kehidupan bersama di masa kini dan masa yang akan datang.
Kita pun harus memahami bahwa diri kita dan pergaulan sosial kita merupakan hasil dari berbagai pengaruh kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama besar dunia. Kita telah hidup bersama nilai dan ajaran Hindu, dan kemudian Budha, sejak sekitar abad ke-4 sampai abad ke-16, bahkan hingga sekarang; bersama nilai-nilai dan peradaban Islam sejak sekitar abad ke-13; bersama peradaban Eropa, Kristen, sejak sekitar abad ke-16; dan bersama berbagai peradaban dunia lainnya seperti Cina, Arab, Jepang, Amerika, dan sebagainya, hingga sekarang. Melalui pergaulan demikian, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, toleransi telah kita bangun bersama.
II. Fakta Sosial dan Keagamaan
Pengetahuan umum mengajarkan tentang penduduk Indonesia yang berjumlah 240 juta jiwa, bermukim di kawasan geografis dan sosial yang terdiri atas sekitar 17.600 pulau besar dan kecil, dengan 400an sistem budaya dan subbudaya, dengan 300an bahasa yang berbeda-beda, namun hendak menjadi satu dengan Bahasa Indonesia dan Pancasila sebagai payung pemersatu. Penduduk Indonesia ini tinggal di wilayah seluas 1,9 juta km daratan dan lautan yang dibagi-bagi dalam 440 kabupaten dan kota, 5.106 kecamatan, dan 70.669 desa (KPU, September 2004).
Persoalan sangat penting adalah kenyataan sosial-relijius, bahwa selama puluhan tahun kita mengenal kehidupan dan perkembangan agama-agama Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu dan Budha. Selain itu masih hidup dan berkembang berbagai aliran kepercayaan dan religi dalam kelompok-kelompok masyarakat.
Pada tingkatan tertentu pemahaman dan implementasi ibadah dan ketaqwaan kita ini kurang lengkap. Seringkali masih kita alami bahwa pemahaman dan implementasi pergaulan relijius kita cenderung menekankan pada matra hubungan antara manusia dengan Allah (hablumminallah) dan kurang menekankan pada matra hubungan antar manusia (hablumminannas) yang sesungguhnya.
Seolah-olah terdapat orang-orang yang ingin menuju sorga di sisi Allah sendirian dan tidak perlu mengajak orang-orang lain untuk bersama-sama menikmati sorga di sisi Allah, sehingga orang-orang tersebut beribadah sejadi-jadinya tanpa memedulikan orang-orang lain di sekitarnya. Padahal seringkali orang-orang di sekitarnyalah yang mengangkat, menjunjung seseorang menuju sorga. Untuk mencapai ketaqwaan yang sempurna orang harus memahami dan mengimplementasikan kedua matra itu (hablumminallah dan hablumminannas) seikhlas-ikhlasnya.

III. Wacana Kebudayaan Reliji Jawa
Dalam perspektif kebudayaan Clifford Geertz (1960), masyarakat Jawa dibagi-bagi berdasarkan orientasi nilai-nilai keagamaannya, menjadi kaum abangan, santri, dan priyayi. Menurut Geertz, kaum abangan berorientasi kepada nilai-nilai agama Hindu-Jawa, meskipun secara formal mengaku beragama Islam; kaum santri berorientasi kepada ajaran Islam secara relatif ketat; sedangkan kaum priyayi kepada nilai-nilai kaum feodal Jawa. Kritik terhadapnya antara lain, tidak semua priyayi tidak santri, dan demikian pula, tak jarang priyayi yang juga abangan; sedangkan yang dianggap santri pun sesekali mempraktekkan kegiatan berbau Hindu-Jawa.
Geertz secara deskriptif menggambarkan berbagai praktek dan corak kegiatan yang berorientasi pada kehidupan reliji masyarakat Jawa, misalnya slametan untuk berbagai kepentingan; kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus seperti memedi, lelembut, thuyul, demit, dan danyang; praktek perdukunan untuk pengobatan, sihir dan magic – termasuk santet dan tenung – yang dianalisis sebagai bagian dari kegiatan dalam kehidupan kaum abangan. Kegiatan-kegiatan kaum santri berpusat pada lembaga-lembaga pendidikannya seperti pondok, langgar, perkumpulan tarekat, dan madrasah, serta perkumpulan pengajian-pengajian. Kegiatan hidup kaum priyayi, menurut Geertz, mempertimbangkan berkembangnya estetika kesenian klasik (wayang kulit, gamelan, tembang, joged, dan batik) dan kesenian populer Jawa (wayang wong, kethoprak, ludruk) dan kesenian rakyat seperti ledek, jaranan, janggrung, dan tayuban); serta berbagai aliran mistik dan kebatinan dengan sekte-sektenya (“Budi Setia,” “Sumarah,” “Kawruh Beja,” “Ilmu Sejati,” dan “Kawruh Kasunyatan”).
Apa yang ditemukan dan dianalisis Geertz dari penelitiannya di Jawa pada tahun-tahun 1950an itu, meski tidak sepenuhnya, sekarang ini masih dapat kita jumpai dalam kehidupan masyarakat tidak saja di Pulau Jawa. Berbagai konfigurasi kemajemukan yang saya paparkan adalah kenyataan sosial-relijius yang sebagian masih hidup dan berkembang dalam masyarakat pasca-moderen ini. Sebagian di antaranya mengalami proses pelapukan dan pelenyapan, sebagian telah lenyap, dan sebagian lagi bertransformasi dalam corak dan kemasan baru atau lain.
Surat Al-Kafiruun menyampaikan isyarat dan kesimpulan sebagai pedoman umum dalam pergaulan sosial-relijius masyarakat majemuk, untuk menjamin rasa aman dan adil:
“Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah/dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah/Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

IV. Implementasi Etika Pergaulan Sosial sebagai Amal Shaleh
Pada satu sisi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus mempertegas fungsinya dalam masyarakat sebagai medan perwujudan nilai-nilai akhlak tertinggi, dan menganggap gerak kemasyarakatan sebagai pengejawantahan tata-moral yang mulia. Pada sisi lain, nilai-nilai spiritual dan etika masyarakat sangat diperlukan bagi moralitas dalam pergaulan sosial, karena nilai-nilai spiritual dan etika menuntut kehadiran orang-orang lain, interaksi dengan mereka, dan kondisi yang memungkinkan timbulnya tanggapan terhadap tindakan moral yang dilakukan.
Tema-tema kebajikan seperti toleransi, solidaritas, cinta dan kasih-sayang, kesantunan, kemurahan hati, keadilan, kedamaian dan pengorbanan, hanya dapat diwujudkan manusia dalam pergaulan dengan manusia lain (hablumminannas). Sangat sulit dibayangkan adanya seseorang yang dapat mengamalkan kebajikan, tindakan bermoral dan beretika secara sendirian. Oleh sebab itu, moralitas dan etika agama dan kepercayaan pada hakekatnya merupakan moralitas dan etika pergaulan dan tindakan amal shaleh dan kemuliaan.

V. Matra Persaudaraan: Toleransi
Persaudaraan dalam kehidupan beragama dan berkepercayaan dalam masyarakat majemuk mendapat tempat yang utama. Ajaran tauhid, yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengandung gagasan persaudaraan bagi seluruh umat manusia, dengan mengingat bahwa manusia diciptakan oleh dan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
Toleransi merupakan aktualisasi dari persaudaraan dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa tumbuh-kembangnya toleransi, sebuah bangsa yang dibangun dari rasa persaudaraan senasib-sepenanggungan antar warganya, akan segera hancur berantakan. Selama berabad-abad dalam kehidupan sosial, masyarakat kita telah menunjukkan sikap dan perbuatan toleran terhadap sesamanya.
Toleransi (tolerance) dapat dipahami sebagai “fair, open attitude toward people whose race, religion, practices, etc., differ from one’s own” (Random House Webster’s Dictionary of American English, 1997: 782); quality of tolerating opinions, beliefs, customs, behaviour, etc., different from one’s own (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1974: 910). Orang yang toleran adalah orang yang berpandangan luas (broad- minded), beramal (charitable), adil (fair), terbuka (open-minded), sabar (patient), simpatetik (sympathetic), memahami (understanding), tidak berprasangka (unprejudiced) (The Collins Thesaurus in A-Z Form, 1990: 685).
Masyarakat Jawa telah menunjukkan sikap dan perbuatan yang terbuka, tidak berprasangka dan mudah menerima ajaran dan nilai-nilai spiritual keagamaan yang dihayati oleh para pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itulah agama-agama dan ajaran-ajaran kepercayaan masuk dan berkembang dalam masyarakat Jawa.
Dalam banyak kegiatan para penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah menegaskan dan memperkokoh kemuliaan ajaran-ajaran agama yang berkembang di Indonesia. Penegasan dan pengokohan ajaran dan nilai agama oleh para penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menunjukkan kokoh dan kentalnya nilai-nilai lokal Jawa yang toleran terhadap unsur-unsur kebudayaan dan ajaran agama yang datang dari luar.
Dengan sikap dan perbuatan yang toleran, orang Jawa sebenarnya sedang “membumikan” ajaran-ajaran agama ke dalam sanubari kehidupan masyarakat Jawa. Unsur-unsur penting dalam kebudayaan yang masuk ke dalam lautan nilai-nilai masyarakat Jawa sering mengalami penyesuaian aktualitas sehingga orang Jawa merasa enak kepenak (nyaman), cocok, dengan basis kehidupan rasa.



VI. Penutup
Dapat dikatakan, bahwa rasa nyaman antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan tercapai secara optimal apabila di antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan selalu saling memahami dan terus-menerus mencari dan menemukan titik persamaan (tujuan), dengan senantiasa berdialog dan mencari cara-cara bersama untuk membangun persaudaraan, atau dengan perkataan lain, persatuan dan kesatuan.
Persatuan dan kesatuan bangsa agaknya akan lebih mudah tercapai apabila para pemeluk agama dan penganut kepercayaan secara bersama-sama melakukan transformasi dari dimensi penghayatan dan ajaran nilai-nilai mistikal, spiritual, moral, etikal dan relijius ke dalam praksis sosial yang fungsional dan operasional.
Para pemeluk agama dan penganut kepercayaan harus melakukan pertemuan, duduk bersama, melakukan rencana-rencana dan kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan sosial, demi memperkokoh persatuan dan kesatuan warga individual, daerah dan nasional. Itulah aktualisasi dari toleransi fungsional.
Salam.
Semarang, Selasa, 19 April 2005
Nurdien H Kistanto
Guru Besar Antropologi UNDIP
MA (Michigan State University, USA)
PhD (Anthropology, Sydney University, Australia)


Daftar Pustaka
Ali, A. Yusuf. Third Edition, 1938. Al-Quranulkariim. The Islamic University of Al Imam Mohammad ibn Sa’ud.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991,” PRISMA No. 10/Oktober: 3-21.
Faruqi, Ismail R. 1984. Islam dan Kebudayaan (Islam and Culture), translated into Indonesian by Yustiono. Bandung: Mizan.
Geertz, Clifford. 1960, 1976. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
Hassan, A. 1976. Tarjamah Bulughul Maram 2. Bandung: CV Diponegoro.
Koentjaraningrat. 1971, 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, Cetakan Keempatbelas.
Komisi Pemilihan Umum (KPU). 2004. Edaran untuk KPU Daerah. Pemilihan Presiden Putaran Kedua, September 2004.
Nasution, Harun, dan Bachtiar Effendi (Editors). 1987. Hak Azasi Manusia dalam Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Nurdien H. K. Editor. 1983. Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia. Bandung: Alumni.
Sofwan, Ridin. 1999. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Semarang: Aneka Ilmu.
Van Peursen, C. A. 1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbitan Kanisius & Jakarta: BPK Gunung Agung Mulia.

Kamus
Collins Thesaurus in A-Z Form. 1990. London & Glasgow: Collins.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. 1974. Oxford: Oxfor University Press.
Random House Webster’s Dictionary of American English. 1997. New York: Random House.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar