Kamis, 14 Januari 2010

Budaya Akademik dalam Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi UNDIP

Budaya Akademik dalam Penelitian, Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Oleh Nurdien H. Kistanto

1. Wacana Internasional: Kebebasan Akademik
Kepustakaan tentang budaya akademik dalam arena internasional pada era 1990an dikuasai oleh wacana tentang “kebebasan akademik,” academic freedom. Sebagian besar kepustakaan terbitan 1990an yang kami temukan mempersoalkan tentang kekebasan akademik, seperti Issues in Academic Freedom (George S. Worgul, Jr., 1992), Academic Freedom (Russell Conrad, 1993), Academic Freedom in American Higher Education: Rights, Responsibilities, and Limitations (Robert K. Poch, 1993), Academic Freedom in Arab Universities (Arab Thought Forum, 1994), Academic Freedom in Africa (Codesria, 1994), The State of Academic Freedom in Africa 1995 (Codesria, 1996), dan Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers (Human Rights Watch, 1998). Dua kepustakaan yang menggunakan judul lebih umum adalah The Social Role of Higher Education: Comparative Perspectives (Ken Kempner/William G. Tierney, 1996) dalam konteks internasional, dan terbitan tematik wacana kehidupan akademik di Amerika Serikat dalam jurnal ilmiah berjudul “American Academic Culture in Transformation: Fifty Years, Four Disciplines,” (Daedalus Winter 1997).
Berkembangnya wacana kebebasan akademik dalam wacana akademik internasional antara lain disebabkan oleh munculnya tuntutan-tuntutan baru dalam interaksi antara dunia akademik dan dinamika kehidupan dan praktek keagamaan seperti yang dihadapi oleh akademisi di Amerika Serikat yang menanggapi ajaran-ajaran Katolik dan gereja: the church faces the challenge of new people, new contexts and new issues. Menurut George S. Worgul, Jr. (1992), The church must take up the perennial task of examining who it is and how it is to accomplish its mission or run the risk of being judged irrelevant (p. vii). Dalam tuntutan dan dinamika tersebut, yang muncul antara lain persoalan-persoalan etik yang menyangkut hubungan antara kebebasan akademik dan doktrin atau ajaran keagamaan, seperti “Ethical Questions on Academic Freedom” (pp. 1-23), “The Teaching Mission of the Church and Academic Freedom” (42-56), “The Nature of Academic Freedom and the Teaching of Theology (70-86), “Symmetry between Academic Freedom and a Catholic University” (110-125), dan “Academic Freedom and the Catholic Theologian” (126-142). Belakangan ini masih menjadi persoalan pula hubungan antara budaya akademik, ajaran dan etika agama, seperti dalam artikel “Academic Freedom in a Catholic Context”
Dalam wacana kebudayaan Barat, tempat tumbuh dan berkembangnya kehidupan akademik, jika ditarik garis historis ke belakang, isyu-isyu tersebut muncul dengan akar yang sesungguhnya telah lama menjadi persoalan kebudayaan, yakni bahwa (lihat Russell, 1993: 1-3):
Because Universities were originally seen as quasi-ecclesiastical institutions, the claims of Universities to academic freedom have always been rooted in an intellectual tradition created to defend the autonomy of the mediavel Church. In the translation from that tradition into modern idiom, vital shades of meaning are sometimes lost....
The ideal of academic freedom is often misunderstood because, in a modern world, it is forced to defend the first of these ideals in the language of the second.

Dalam rumusan dunia modern sekarang ini, suatu usulan tentang academic freedom bagi para akademisi diajukan, misalnya, oleh Lord Jenkins, yang dikenal sebagai “The Academic Freedom amendment to the Education Bill of 1988,” berbunyi sebagai berikut:
the freedom within the law to question and test received wisdom, and to put forward new ideas and controversial or unpopular opinions without placing themselves (=academics) in jeopardy of losing their jobs or privileges they may have at their institutions (dalam Russell 1993: 1-2).

Konteks historis, rumusan-rumusan, hubungan-hubungan dan isyu-isyu tentang kebebasan akademik yang telah menandai dinamika kebebasan berpendapat (freedom of speech) dalam kehidupan masyarakat demokratis, dapat ditemukan dalam buku Robert K. Poch (1993), yang menekankan bahwa academic freedom merupakan konsep yang berasal dari dua dunia, yakni dunia pendidikan dan dunia hukum. Oleh sebab itu, seperti dalam pengantar buku yang disampaikan oleh Jonathan D. Fife:
Two areas are important to institutions and faculty in making the concept of academic freedom positive force within an institution’s culture. First is understanding the legal realities of academic freedom. Second is understanding what academic freedom means for an individual institution – a meaning that reaches beyond the legal definition. It is this factor that is unique to each institution and creates confusion and distrust....
The concept of academic freedom is fundamental not only to the essence of American higher education but to our democratic society as well.... (Jonathan D. Fife, “Foreword” dalam Poch, 1993: xv-xvi).

Lebih luas dari persoalan kebebasan akademik, serangkaian artikel yang dimuat secara tematik dalam jurnal Daedalus edisi Winter 1997 mendiskusikan perkembangan budaya akademik (academic culture) di Amerika Serikat selama setengah abad terakhir, terutama dalam bidang-bidang ilmu sosial dan humaniora seperti politik, ekonomi, sastra dan filsafat. Berbeda dari penerbitan buku yang dibicarakan di atas, paradigma jurnal Daedalus mengenai budaya akademik lebih menekankan pada orientasi produksi ilmu pengetahuan dalam disiplin baru. Pengantar edisi jurnal dengan tema “American Academic Culture in Transformation” tersebut menyatakan bahwa “The world of scholarship is generally oriented towards the production of new disciplinary knowledge.”
Sementara itu, sejalan dengan paradigma “produksi ilmu pengetahuan,” buku yang disunting oleh Ken Kempner dan William G. Tierney (1996) memberikan penekanan pada “fungsi sosial pendidikan tinggi dan bagaimana ilmu pengetahuan disusun dan disebarkan di negara tertentu atau antar negara” (hal. 3) dalam perspektif bandingan dari berbagai negara di Amerika Latin, Jepang, Thailand, Mexico, Australia, Amerika Serikat, dan Finlandia. Begitu pula, “bagaimana aspek-aspek tertentu dari pendidikan tinggi dipengaruhi oleh lingkungan-lingkungan sosial dan budaya yang unik.” Selanjutnya, meskipun “kebudayaan nasional” merupakan ciptaan sosial, perlu dipahami bagaimana lingkungan-lingkungan budaya nasional dan internasional memberi bentuk pada lembaga-lembaga akademik. Oleh sebab itu, upaya-upaya harus dilakukan untuk memberikan pengakuan tentang tanggungjawab kompleksitas budaya terhadap perumusan sistem pendidikan bangsa. Ditekankan pula dalam perspektif bandingan antar negara, bahwa produksi ilmu pengetahuan bukan sekedar proses ilmiah melainkan suatu proses yang juga mengandung implikasi-implikasi politik dan ideologik (Kempner and Tierney, 1996: 3-6).
Para akademisi seluruh dunia secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berupaya mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan universitas, yang harus dipandang bukan sebagai upaya isolasi universitas, tapi lebih sebagai kekebalan terhadap intervensi eksternal – apakah intervensi tersebut dari pemerintah, secara politis atau ideologis, atau ajaran agama. Persoalan tersebut kiranya juga dirasakan dan dialami oleh para akademisi di dunia Arab. Keprihatinan Arab Thought Forum yang mengangkat isyu kebebasan akademik tidak semata-mata mengumandangkan keprihatinan internasional mengenai masalah yang sama, melainkan juga muncul sebagai akibat dari perkembangan-perkembangan yang khusus bagi negara-negara Arab. Para akademisi di dunia Arab terlibat dalam upaya-upaya kebebasan akademik semacam itu dengan alasan-alasan, menurut Ali Oumlil, sebagai berikut.
Pertama, pertahanan kebebasan akademik tidak hanya dipusatkan pada intervensi dari penguasa, tapi juga dalam menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok politik dan keagamaan yang bertujuan mengenakan kendali faksional atau kelompok dan ideologis terhadap kurikula dan pengajar universitas.
Kedua, peningkatan tuntutan terhadap pendidikan universitas di berbagai negara Arab dan ketidakmampuan sektor publik untuk memenuhi tuntutan yang besar ini, telah mendorong sektor swasta untuk menanamkan modal dalam lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang dibentuk dengan berbagai nama. Persoalannya kemudian menyangkut otentisitas dari apa yang disebut lembaga-lembaga akademik, dan kelayakan dari kurikula yang seimbang antara permintaan dan penawaran. Penelitian ilmiah pada lembaga-lembaga semacam itu menjadi suatu kemewahan, dan karenanya lembaga-lembaga tersebut hampir-hampir sulit disebut universitas; pertanggungjawaban akademik pada lembaga-lembaga ini dibebankan pada para pemegang saham. Guru besar universitas, karenanya, menjadi karyawan sektor swasta yang tercabut dari status akademik dan kebebasannya sebagai peneliti (Arab Thought Forum, Academic Freedom in Arab Universities. Amman, September 1994: 7-9).
Meskipun pengembangan pendidikan tinggi di Afrika merupakan fenomena pasca-kemerdekaan, gerakan pemikiran dan keprihatinan tentang kebebasan akademik meluas di benua Afrika. Untuk memperjuangkan kepentingannya, para akademisi perguruan tinggi di Afrika menyusun dewan yang disebut Council for the Development of Social Science Research in Africa (CODESRIA) berpusat di Dakar, Senegal. Organisasi independen ini bertujuan utama memberikan fasilitas penelitian, publikasi laporan penelitian dan membentuk fora yang mendorong pertukaran pendapat dan informasi para skolar Afrika. Pengertian dewan ini mengenai “kebebasan akademik” sangat luas, tapi terutama berkaitan kebebasan menyampaikan pendapat yang menghadapi kendala politik. Karena luasnya kawasan dan banyaknya negara di Afrika, fora yang diselenggarakan melibatkan banyak persoalan dan peserta, seperti tercermin dari 2 (dua) laporan yang terbit terutama untuk pemantauan kebebasan akademik (Mamdani/Diouf, Codesria 1994; Codesria, 1995).
2. Budaya Akademik: Kebebasan Akademik dan Hak Azasi Manusia di Indonesia

Sumber pustaka mengenai budaya akademik di Indonesia pada umumnya dan kebebasan akademik di Indonesia pada khususnya sangat langka. Satu-satunya laporan tentang kebebasan akademik dalam bentuk buku terbitan yang kami temukan adalah yang berjudul Academic Freedom in Indonesia: Dismantling Soeharto-Era Barriers (New York: Human Rights Watch, 1998). Oleh sebab itu, laporan penelitian awal dari peneliti utama yang berjudul Budaya Akademik: Studi Pendahuluan tentang Kehidupan dan Kegiatan Akademik Staf Pengajar/Guru Besar di PTN dan PTS di Semarang (Kistanto, Mei 1997) kami jadikan sumber pustaka, acuan dan inspirasi yang kami kembangkan ke dalam wacana yang lebih luas terutama dalam cakupan kewilayahan nasional, sehingga menjadi Budaya Akademik di Indonesia (2000).
Buku Academic Freedom in Indonesia, sesuai judul dan penerbitnya, merupakan laporan internasional tentang situasi kebebasan akademik di Indonesia yang sarat dengan muatan politik dan hak azasi manusia. Kebebasan akademik yang dimaksud adalah bagian dari kebebasan berpendapat seperti tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights dengan pembukaan (dikutip dalam “Preface” p. x) yang antara lain berbunyi, every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for [human rights].” Sehingga “pendidikan harus diarahkan pada pembentukan penuh dari kepribadian manusia dan pada pemberdayaan penghormatan hak-hak azasi manusia dan kebebasan yang mendasar.” Human Rights Watch (HRW) yakin bahwa lembaga-lembaga pendidikan tidak dapat memenuhi misinya untuk memberdayakan penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia jika hak-hak mendasar para pendidik dan peserta didik sendiri tidak dihormati. Menurut HRW, sementara kebebasan akademik tak dapat dipenuhi oleh dirinya, kebebasan untuk mencari penelitian dan dokumentasi yang tak terkekang oleh penyensoran dan penghambatan tak dapat dipisahkan dari kebebasan untuk melaksanakan hak-hak sipil mendasar dan hak-hak politik sebagaimana dinyatakan dalam the Universal Declaration of Human Rights dan the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Perkaitan penting ini diakui dan dituangkan dalam the Lima Declaration on Academic Freedom and Autonomy of Institutions of Higher Education, yang dipungut oleh the World University Service pada tahun 1988 sebagai bimbingan bagi pertahanan kebebasan akademik di seluruh dunia. The Lima Declaration menyatakan: “Every member of the academic community shall enjoy, in particular, freedom of thought, conscience, religion, expression, assembly and association as well as the right to liberty and security of person and liberty of movement.” Dalam pengantar laporan, HRW juga menekankan bahwa sebagai organisasi hak azasi manusia, bukan maksud mereka untuk mendukung atau melawan pendapat, gagasan, atau temuan penelitian dari para akademisi dan mahasiswa yang kasus-kasusnya disampaikan dalam laporan ini. Namun demikian, merupakan sifat sentral dari tugas mereka adalah mempertahankan hak para akademisi dan mahasiswa untuk menyatakan pandangan-pandangan, dan juga untuk melakukan kajian, penelitian, pengajaran, dan menerbitkan tanpa campur tangan pihak luar.
Menurut HRW, pada prinsipnya universitas merupakan lembaga yang terbuka terhadap semua atas dasar kebajikan, dan harus melayani sebagai sumber intelektual penting tidak hanya bagi pemerintah dan industri, tetapi juga bagi individu dan kepentingan-kepentingan negara yang mandiri. Pada prakteknya, serangan-serangan terhadap kritik-kritik dari kampus dan campur tangan pemerintah secara politis seringkali mengancam pergeseran universitas ke dalam institusi yang semata-mata melayani kepentingan-kepentingan para pemegang kekuasaan negara. Oleh karena sebagian besar universitas di seluruh dunia adalah lembaga publik atau tergantung pada dana pemerintah, dan karena lembaga-lembaga semacam itu biasanya dipandang oleh pemerintah sebagai “instrumen utama tujuan nasional,” pemerintah memiliki kekuasaan yang besar untuk mempengaruhi apa yang terjadi di kampus dan juga membiayai penggunaan kekuasaan itu.
Buku Academic Freedom in Indonesia ini melaporkan praktek penyalahgunaan kekuasaan yang khususnya berkaitan dengan HAM sebagai perwujudan kebebasan berpendapat. Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia di bawah Soeharto, serangan-serangan berdasar politik terhadap staf pengajar dan mahasiswa disertai dengan penghancuran kendala-kendala ideologis dan kelembagaan, yang meliputi penyaringan politis staf pengajar, pelarangan masalah yang didiskusikan dalam seminar, pembatasan terhadap aktifitas organisasi otonomi kampus, dan pelarangan mengenai akses pada kampus oleh kelompok dan individu yang punya gagasan tidak sejalan dengan persetujuan yang berwenang. Serangan politis terhadap masyarakat akademik tidak hanya menunjuk korban individual, tetapi juga telah menjadi komponen yang penting dalam usaha-usaha pemerintah yang lebih luas untuk membatasi hak azasi warga dan sebagai hambatan penting bagi perkembangan lembaga-lembaga yang mandiri dan masyarakat sipil/madani yang dinamis.
Alasan lain dari penerbitan laporan pelanggaran HAM dalam kebebasan akademik di Indonesia adalah sebagai berikut. Dibandingkan kelompok profesional lainnya, termasuk dokter, ilmuwan, wartawan, penulis, dan pengacara, para akademisi di seluruh dunia selama ini lamban dalam berkampanye melawan pelanggaran hak azasi manusia, dan lamban untuk melakukan tindakan yang bertujuan menyuarakan keadaan buruk kolega-koleganya di luar negeri. Pendidikan tinggi kini begitu cepat menjadi perhatian global. Ketika hambatan-hambatan dapat dihancurkan, muncullah kesempatan yang makin meningkat untuk membantu mereka yang secara sewenang-wenang menjadi sasaran pemerintah, dan kebutuhan yang meningkat untuk mengumandangkan prinsip-prinsip untuk pertahanan kebebasan akademik di seluruh dunia. Dengan mengunjungi atau berusaha mengunjungi para mahasiswa dan cendekiawan di penjara, menghubungi keluarga mereka, kolega dan organisasi mereka, dengan menggalang dana untuk pembelaan hukum dan kebutuhan medis, mengangkat kasus-kasus mereka dengan organisasi-organisasi pemerintah dan internasional, para akademisi merasa yakin bahwa para kolega mereka tidak dilupakan. Dengan menyuarakan lantang ketika para mahasiswa dan cendekiawan disensor, dihambat kegiatan hak azasi mereka sebagai warga negara, atau menjadi sasaran pemenjaraan dan siksaan, para akademisi melaksanakan bagian penting dari misinya sebagai pendidik (HRW, 1998).
Laporan HRW ini mengkaji warisan dari pemerintahan otoritarian Soeharto terhadap kehidupan akademik di Indonesia, dengan meng-identifikasikan sejumlah hambatan terhadap persoalan kritis dan pelaksanaan HAM oleh para anggota komunitas akademik Indonesia. Hambatan-hambatan tersebut merupakan produk dari kesesuaian ideologis yang dikenakan pemerintah dan permusuhan yang terang-terangan terhadap oposisi politik yang menandai naiknya Soeharto dan tentara pada tahun-tahun 1965-67, tetapi juga meliputi kendali institusional yang begitu jauh terhadap universitas, sejak tahun-tahun 1970an sampai dengan 1990an dan 1998 hingga kejatuhan pemerintahannya.
Laporan melalui buku ini bermuatan politis, untuk kepentingan penegakan HAM, dan berbeda dari penelitian yang kami lakukan, yang mendekati persoalan budaya akademik terutama dari kegiatan dan kehidupan umum para akademisi, yakni para dosen dan guru besar di PTN. Bagi kami, kebebasan akademik merupakan bagian dari budaya akademik, yang kami pahami secara umum sebagai totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik oleh masyarakat akademik.
3. Acuan Budaya Akademik di Indonesia
Sumber-sumber pustaka yang kami sampaikan di atas (Worgul, Jr., 1992; Conrad, 1993; Poch, 1993; Arab Thought Forum, 1994; Codesria, 1994, 1996; Kempner/Tierney, 1996; Daedalus, Winter 1997; dan Human Rights Watch, 1998) kami peroleh ketika mengikuti program Summer Institute di New York University selama 6 (enam) minggu (Juni-Agustus 1999) dengan memanfaatkan perpustakaan universitas tersebut. Sumber-sumber tersebut bermanfaat bagi para peneliti setidak-tidaknya sebagai berikut,
(1). memperoleh wawasan dan gambaran tentang bagian-bagian dari budaya akademik di negara-negara lain;
(2). melakukan perbandingan baik materi maupun metodologi penelitian tentang budaya akademik; dan
(3). memahami penekanan pusat perhatian internasional terhadap kebebasan akademik, terutama dalam kaitannya dengan HAM, politik dan pemerintahan.
Sangat sulit menemukan sumber pustaka mengenai budaya akademik di Indonesia. Oleh sebab itu, peneliti memanfaatkan penelitian pendahuluan yang diselenggarakan pada tingkat lokal dan menghasilkan laporan penelitian yang berjudul Budaya Akademik: Studi Pendahuluan tentang Kehidupan dan Kegiatan Akademik Staf Pengajar/Guru Besar di PTN dan PTS di Semarang (Kistanto, Mei 1997) sebagai acuan utama penelitian Budaya Akademik di Indonesia (2000). Penelitian Budaya Akademik di Semarang memilih 4 (empat) perguruan tinggi (2 PTN dan 2 PTS) antara September 1996-April 1997. Selain itu, artikel esei dan laporan media cetak sangat membantu pemahaman mengenai situasi kontemporer perguruan tinggi, kehidupan dan kegiatan akademik dan non-akademik di Indonesia. Oleh sebab itu, esei dan laporan media cetak dimanfaatkan sebagai sumber pustaka yang mendukung penelitian tentang Budaya Akademik.
4. Budaya Akademik dalam Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam kehidupan dan kegiatan akademik, interaksi yang dinamis dan fungsional dari dharma-dharma dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi (PT) yaitu Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat sangat penting dan merupakan ciri-ciri dari berkembangnya budaya akademik. Tanpa interaksi dan pemanfaatan yang sinergis dari dharma-dharma tersebut budaya akademik akan mandul dan berjalan di tempat. Ketiga dharma tersebut harus saling terkait secara sinergis. Dharma Pendidikan yang dinamis dan terus berkembang menjadi landasan bagi dharma Penelitian dan dharma Pengabdian kepada Masyarakat.
Teori-teori, konsep-konsep, metode-metode, kasus-kasus dan kategori-kategori yang diperoleh dari dharma Pendidikan dapat melandasi dan dimanfaatkan dalam kegiatan-kegiatan pada dharma Penelitian dan dharma Pengabdian kepada Masyarakat. Demikian pula sebaliknya, temuan-temuan dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dapat memberikan umpan balik bagi kegiatan-kegiatan pendidikan, memperkaya dan menghasilkan teori, konsep, metode, kasus, dan kategori bagi proses belajar-mengajar, perkuliahan dalam dharma Pendidikan.
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat secara metodologis dapat berbasis ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam dharma Pendidikan, dan kegiatan pendidikan akan relevan jika didukung oleh temuan-temuan dan hasil-hasil penelitian yang memadai. Demikian pula, kegiatan pengabdian kepada masyarakat dapat memberikan umpan balik dan bermanfaat untuk disampaikan melalui dan memperkaya dharma Pendidikan dan menjadi dasar untuk kegiatan penelitian. Oleh sebab itu, keterkaitan antara dharma-dharma tersebut sangat mendorong berkembangnya budaya akademik yang sehat.
4. 1. Budaya Akademik dalam Penelitian
Jika kegiatan dalam dharma Pendidikan sudah berjalan dengan sendirinya karena kegiatan dalam dharma tersebut merupakan kegiatan pertama dan utama di PT - dan mau tak mau harus dilaksanakan, tidak demikian halnya dengan kegiatan dalam dharma Penelitian. Kegiatan-kegiatan penelitian dalam budaya akademik di Indonesia masih harus dibiasakan dan dibangun menjadi tradisi. Dapat dikatakan bahwa, tanpa kegiatan-kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat secara khusus, sebuah PT masih dapat berjalan, asalkan kegiatan proses belajar-mengajar dalam dharma pendidikan masih berlangsung.
Kegiatan penelitian memerlukan keahlian dan pelatihan yang khusus. Banyak dosen yang mahir dan piawai di kelas-kelas yang menarik perhatian mahasiswa tetapi belum tentu sekaligus dosen tersebut adalah peneliti yang baik dan belum tentu sekaligus penggiat kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Kendala-kendala yang dapat disebut dalam kegiatan dharma Penelitian dalam budaya akademik di Indonesia antara lain:
(1) Sumberdaya manusia akademik yang kurang terlatih dan kurang berbakat, atau kurang bersungguh-sungguh.
(2) Melakukan penelitian belum menjadi kebutuhan.
(3) Keterbatasan dana atau anggaran penelitian.
(4) Kurang memadainya prasarana dan sarana pendukung, seperti peralatan software dan hardware, laboratorium, dan perpustakaan.
(5) Tuntutan yang kurang kuat dari kegiatan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat terhadap temuan dan hasil penelitian.
(6) Tuntutan yang kurang kuat dari pihak eksternal terhadap kebutuhan akan penelitian dan hasil penelitian.
(7) Keterbatasan akses terhadap jaringan penelitian di dalam maupun di luar negeri, khususnya para donor untuk kegiatan penelitian.
4. 2. Budaya Akademik dalam Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Sebagaimana interaksi dan keterkaitan sinergis antara dharma Pendidikan dan dharma-dharma Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat seyogyanya berlangsung, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pun harus mendapat perhatian yang bersungguh-sungguh dalam budaya akademik. Persoalan ini menyangkut setidak-tidaknya 2 (dua) tataran:
(1) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui dharma-dharma dalam Tri Dharma PT

(a) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar di kelas, perpustakaan dan laboratorium. Melalui interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan.
(b) Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan memanfaatkan teori, konsep, metode, eksperimen dan kasus dalam penelitian, dengan pembaharuan dan/atau pengayaan dari temuan dan hasil penelitian, yang pada gilirannya akan sangat bermanfaat bagi pengembangan dan penciptaan teori, konsep, dan metode baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dapat didiseminasikan atau disebarkan melalui proses belajar-mengajar dalam dharma Pendidikan atau melalui media lain seperti diskusi, seminar dan artikel jurnal.
(2) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui dharma-dharma dalam Tri Dharma PT

(a) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam proses belajar-mengajar di kelas, perpustakaan dan laboratorium. Melalui interaksi antara dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar ilmu pengetahuan dan teknologi diterapkan.
(b) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
(c) Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam kegiatan-kegiatan industri pengolahan (manufacturing industry) dan industri jasa (service industry), yang merupakan kegiatan yang menghasilkan pendapatan (revenue generating activities).
Dapat diperhatikan bahwa menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi sebenarnya juga sekaligus berarti mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, demikian pula mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mungkin dilakukan tanpa menerapkannya.

5. Penutup
Perkenankan saya menyimpulkan makalah ini sebagai berikut.
(1) Dalam wacana internasional, “budaya akademik” (academic culture) sangat erat kaitannya dengan “kebebasan akademik” (academic freedom) sebagai bagian dari “kebebasan berpendapat.”
(2) Budaya akademik sangat berkaitan dan dipengaruhi oleh situasi masyarakat tempat berkembangnya budaya akademik tersebut, khususnya kehidupan pemerintahan, politik, agama dan hak azasi manusia.
(3) Budaya akademik dapat berkembang melalui dharma-dharma dalam Tri Dharma PT, yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(4) Budaya akademik dalam penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan di dalam masyarakat akademik (academic community) di dalam PT dan di luar PT, yakni masyarakat luas, dunia industri pengolahan (manufacturing industry) dan dunia industri jasa (service industry).
Sangat penting dicatat, para pendukung, pelaku dan pengembang budaya akademik adalah masyarakat akademik yang menjalankan dan mengembangkan proses belajar-mengajar dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mereka tidak saja ilmuwan dan profesional dalam bidang disiplinnya masing-masing, melainkan intelektual, cendekiawan yang dituntut untuk memahami dan mengamalkan etika keilmuan dan etika profesi dalam pencarian dan penemuan kebenaran secara jujur, adil, terbuka, rasional, demokratis dan independen. Selain itu, harus dipahami bahwa dalam menjalankan perannya, masyarakat akademik dilingkungi oleh nilai-nilai moral, etika, dan keagamaan yang menjadi pertimbangan dan landasan bagi kegiatan-kegiatan keilmuan dan profesinya.
Semarang, Rabu, 20 September 2006
DAFTAR PUSTAKA


Bronowski, Jacob. 1968. On Being an Intellectual. Northampton, Mass.: Smith College.

CODESRIA. 1996. The State of Academic Freedom in Africa 1995. Dakar, Senegal: Codesria.

Forum, Arab Thought (ATF). 1994. Academic Freedom in Arab Universities. Amman, Jordan: ATF Seminar, 27-28 September.

Daedalus. Winter 1997. “American Academic Culture in Transformation: Fifty Years, Four Disciplines.”

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

________. 1983. Local Knowledge. New York: Basic Books.

Giddens, Anthony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity.

Hassan, Fuad. 1990. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Budaya.

________. 1992. Cultural Dimension and Human Development. Jakarta: Balai Pustaka.

Icksan, M. Achmad. 1985. Mahasiswa dan Kebebasan Akademik. Yogyakarta: Hanindita.

Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.

Kebudayaan RI, Departemen Pendidikan dan. 1995. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

________. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. IIA & IIB. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Kempner, Ken and William G. Tierney, Eds. 1996. The Social Role of Higher Education – Comparative Perspectives. New York: Garland.

Kistanto, Nurdien H. 1997a. “Menuju Paradigma Penelitian Sosial yang Partisipatif,” PRISMA Jakarta: LP3ES, No. 1 Th. XXVI, Januari.

________. 1997b. Budaya Akademik: Kehidupan dan Kegiatan Akademik di PTN dan PTS di Semarang. Laporan Penelitian. Semarang: Universitas Diponegoro.

________. 2000. Budaya Akademik: Kehidupan dan Kegiatan Akademik di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Jakarta: Dewan Riset Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Koentjaraningrat (Redaksi). 1977. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Krathwhl, David R. 1988. How to Prepare Research Proposal. New York: Syracuse University.

Kuhn, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago.

Layder, Derek. 1993. New Strategies in Social Research. Cambridge: Polity.

Little, Graham. 1975. Faces on the Campus. Clayton, Victoria: Melbourne University.

Mamdani, Mahmood and Mamadou Diouf, Eds. 1994. Academic Freedom in Africa. Dakar, Senegal: CODESRIA.

Miyasto. 2006. “Meningkatkan Budaya Akademik melalui Kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi.” Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis UNDIP ke-49. Semarang, 19 September.

Penny, David H. 1990. Petunjuk bagi Peneliti Ilmu-Ilmu Sosial. Semarang: CV Agung.

Poch, Robert K. 1993. Academic Freedom in American Higher Education: Rights, Responsibilities, and Limitations. Washington DC: School of Education and Human Development, The George Washington University.

Shipman, MD. 1975. The Sociology of the School. London: Longman.

Sieber, Sam D. 1973. “The Integration of Fieldwork and Survey Methods,” American Journal of Sociology Vol. 78, No. 6, pp. 1335-59.

Watch, Human Rights. 1998. Academic Freedom in Indonesia – Dismantling Soeharto-Era Barriers. New York: Human Rights Watch.

Worgul, George S., Jr. 1992. Issues in Academic Freedom. Pittsburgh: Duquesne University Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar