Kamis, 14 Januari 2010

Menuju Perubahan Nama Fakultas

Dalam kurun waktu Republik Indonesia merdeka, perubahan nama dan istilah yang digunakan oleh berbagai lembaga negara, swasta, dan swadaya masyarakat telah sering dan lazim dilakukan, dengan berbagai alasan masing-masing. Untuk perubahan nama dari “Fakultas Sastra” Undip menjadi “nama yang lain” kiranya memerlukan alasan-alasan yang tepat. Di antara alasan-alasan yang dapat disampaikan adalah memenuhi tuntutan
(1) realitas dan perkembangan;
(2) pemahaman terhadap ilmu-ilmu;
(3) penyesuaian diri dengan konvensi dan kelaziman.
II
(1) Realitas dan Perkembangan
Pada waktu “Fakultas Sastra dan Budaya” Undip berdiri, 40 tahun yang lalu (1 September 1965), dia bermodalkan “Departemen Indonesiologi” untuk “mendidik calon-calon sarjana, khususnya dalam bidang kebudayaan Indonesia” yang diharapkan “dapat meneliti dan memperluas wawasan pengetahuan tentang kebudayaan Indonesia, sehingga mampu memperkenalkannya kepada dunia Internasional” (Fakultas Sastra, 2004: 2). Pada tahun 1967 dibuka “Departemen Anglo Saxon” yang “seharusnya” menjadi wadah untuk mempelajari “kebudayaan Inggris atau Inggris Kuno.” Sampai masa itu, tidak saya temukan kata-kata “mempelajari atau menelaah karya sastra.” Demikian pula, ketika Fakultas ini membuka Departemen Sejarah (1973), makin jelas bahwa Ilmu Sejarah tidak mempelajari “sastra” dalam pengertian lazim yang sempit. Jadi, sekali lagi, sejak saat itu pun mestinya Fakultas ini bernama Fakultas (Ilmu) Budaya, yang mempelajari kebudayaan Indonesia dan kebudayaan asing.
Selain itu, “pengarahan” Subkonsorsium Sastra dan Filsafat agar Fakultas Sastra di Indonesia “menuju keseragaman” adalah tanpa alasan yang mendasar, “demi keseragaman” (berbau politik) – bukannya alasan, misalnya “demi kemajuan dan pemahaman ilmiah.” Dengan alasan itu pula, agaknya pada 8 Desember 1983 nama “Fakultas Sastra Budaya” diganti menjadi “Fakultas Sastra.”
Alasan tuntutan realitas dan perkembangan Fakultas makin kuat untuk merubah nama Fakultas Sastra menjadi “Fakultas Ilmu Budaya” ketika berdiri Program Diploma III Kearsipan (14 Februari 1994), Diploma III Bahasa Inggris (1 Februari 1995) dan Program Diploma III Perpustakaan dan Informasi (12 September 1996), serta Program S1 Ekstensi Sastra Inggris (12 November 1996).
Sampai pada tahap ini, apakah nama Fakultas Sastra harus menjadi “Fakultas Sastra, Bahasa dan Budaya”? ataukah lebih panjang lagi: “Fakultas Sastra, Bahasa, Sejarah, Kearsipan, Perpustakaan dan Informasi”? Belum lagi kalau perkembangan Fakultas menuntut direalisasikannya pembukaan Jurusan atau Program lain seperti Antropologi dan Pariwisata? Dan yang lainnya lagi, dsb. (Juga Program-program S2nya). Semua yang disebut dapat diwakili dalam cakupan (Ilmu/Ilmu-ilmu) (mengenai) Budaya (benda/karya/gagasan/nilai/karakter/sifat) atau studi (mengenai) Kebudayaan (benda/karya/gagasan).
(2) Pemahaman terhadap Ilmu-Ilmu
Pemahaman terhadap ilmu-ilmu dapat dipelajari antara lain melalui “Filsafat Ilmu.” Bagian penting dari Filsafat Ilmu adalah memahami “pembagian ilmu-ilmu.” Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
1). Bertrand Russell (1959: 4) (ahli matematika, geometri, filsuf):
(a) physical sciences (mempelajari benda-benda, materi);
(b) biological sciences (mempelajari makhluk hidup), dan
(c) anthropological sciences (mempelajari manusia).
2). Harold Gomes Cassidy (1962: 12) (ilmuwan kimia, humanis, filsuf):
(a) interpretive humanities: termasuk sistem berpikir manusia yang menafsirkan gejala-gejala alam dan kemanusiaan yang sudah terjadi dan berlangsung; ditafsirkan maupun tidak, gejala-gejala tersebut – terutama alam – sudah dan akan tetap demikian;
(b) creative humanities: kegiatan manusia dan intelektual manusia dalam menciptakan dan/atau menemukan kembali gejala-gejala yang sesungguhnya sudah ada, terjadi, berlangsung, tapi belum tergali, belum dimanfaatkan, belum didayagunakan atau direkayasa atau dibudidayakan oleh manusia, sebagai bahan untuk mengembangkan kebudayaan manusia. Cassidy cenderung menggunakan istilah humanities untuk menyebut system of thought. Baginya hanya ada dua pembagian dalam human thought
3). Leslie A. White (1971: 16) (antropolog, filsuf):
(a) Social science : Cultural anthropology
Sociology
Social psychology
(b) Biological sciences : Psychology
Physiology
Anatomy
(c) Physical sciences : Chemistry
Physics
Astronomy
Menurut White (1971), “physical sciences” lahir lebih awal dan telah berkembang lebih jauh dibandingkan “biological sciences,” sedangkan “biological sciences” membentuk diri lebih awal dan telah berkembang lebih jauh daripada “social science.”
4). Di Indonesia:
(a) Ilmu-ilmu Pasti Alam: matematika, fisika, kimia, biologi, dengan cabang-cabang dan terapannya;
(b) Ilmu-ilmu (Pengetahuan) Sosial: sosiologi, antropologi, hukum, politik, ekonomi, psikologi, dengan cabang-cabang dan terapannya;
(c) Ilmu-ilmu (Pengetahuan) Budaya: sastra, bahasa, sejarah, filsafat, kesenian, antropologi, dengan cabang-cabang dan terapannya.
Menjadi persoalan adalah kedekatan antara Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Budaya, sehingga, misalnya, Antropologi dapat berada di antara kedua rumpun keilmuan tersebut. Oleh sebab itu, The Institute for Advanced Study di Princeton, misalnya, hanya membagi dua bidang atau rumpun penelitian, The Natural Sciences dan The Behavioral Sciences. Demikian pula, ahli filsafat Warren Weaver (1947: 288-90) cenderung memperbandingkan hanya antara The Natural and the Social Sciences – yang harus saling membantu. Sangat beruntung (gifted, genius) jika bidang-bidang keilmuan dan kegiatan berpikir tersebut dapat dikuasai oleh seseorang seperti Charles P. Snow dari Inggris (ahli fisika dan penulis novel) dan Jacob Bronowski (ahli matematika, penulis drama, esei kebudayaan, kritikus sastra).
Persoalan lain adalah, tumbuhnya semangat interdisipliner (Harsya W. Bachtiar, ahli pendidikan, sosiologi dan kebudayaan serta peminat sastra) transdisipliner (Mubyarto, ekonom pertanian dan peminat metode antropologi, humanis) dan multidisipliner (Fuad Hassan, ahli psikologi, filsafat dan kritik seni), pada abad ke 20 dan ke 21, baik antar rumpun bidang maupun serumpun bidang, terutama dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya.
(3). Konvensi dan Kelaziman
Sistem pendidikan tinggi (Universitas) di Australia (Commonwealth) mengenal pengelompokan Faculty, sedangkan di Amerika Serikat menggunakan College dan School. Pada tingkat College, Faculty dan School di Universitas, kiranya menjadi konvensi dan kelaziman bahwa penyebutan dan isinya berbasis pengelompokan keilmuan “besar” seperti – sekedar menyebut beberapa - Faculty of Arts (Sydney) atau School of Arts and Sciences (Harvard), College of Arts and Sciences (Cornell), College of Education, College of Social Science, College of Arts and Letters (Michigan State), College of Letters and Science (UCLA). Yang dekat dengan keperluan kita adalah School of Humanities (Yale) yang meliputi Departments and Programs, sebagai berikut (alfabetik):
American Studies
Classical Languages and Literatures
Comparative Literature
East Asian Languages and Literatures
English Language and Literature
French
Germanic Languages and Literatures
History
History of Art
Italian
Linguistics
Medieval Studies
Music
Near Eastern Languages and Literatures
Philosophy
Religious Studies
Renaissance Studies
Slavic Langauges and Literatures
Spanish and Portuguese.
Siapa tahu di masa depan kita mencapai kemajuan seperti Yale!
Dalam sejumlah hubungan dengan lembaga-lembaga asing, untuk kelaziman dan penyesuaian hubungan, saya sering menggunakan Faculty of Humanities untuk menggantikan penyebutan Faculty of Letters sebagai alih bahasa dari Fakultas Sastra. Bagi saya Faculty of Humanities lebih mudah dipahami sebagai Fakultas Ilmu/Ilmu-ilmu Budaya.
Selanjutnya, Fakultas perlu sumbangan pemikiran kita semua. Karena Fakultas milik kita semua.


Daftar Pustaka
Bachtiar, Harsja W. dkk. 1982. Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Budaya Dasar, dan Ilmu Sosial Dasar. “Pedoman Penyelenggaraan Perkuliahan Ilmu Sosial Dasar.” Jakarta: Konsorsium Antar Bidang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Cassidy, Harold Gomes. 1962. The Sciences and the Arts. New York: Harper and Brothers.

Homans, George C. 1967. The Nature of Social Science. New York: Harcourt, Brace & World.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

New Webster’s Dictionary of the English Language. 1984. USA: Delair Publishing Company.

Russell, Bertrand. 1959. The Future of Science. New York: Wisdom Library.

Weaver, Warren. Ed. 1947. The Scientists Speak. New York: Boni & Gaer.

Buku-Buku Pedoman dan Catalog

Fakultas Sastra UNDIP. 2004. Buku Panduan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang: Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Diponegoro.

Cornell University, Ithaca, New York (1984-85)
Harvard University, Cambridge, Massachusetts (1984)
Michigan State University, East Lansing, Michigan (1984-85)
Sydney University, Sydney, New South Wales (1990-91)
University of California at Los Angeles, California (1984-85)
Yale University, New Haven, Connecticut (1985-86)
Lampiran

(1) Visi dan Misi Program Studi Bahasa dan Sastra Inggris

Visi: menjadi pusat studi bahasa, sastra dan budaya Inggris dan Amerika.

Misi: mengembangkan ketrampilan berbahasa Inggris, kajian teoretik mengenai ilmu bahasa, sastra dan budaya Inggris dan Amerika, serta mengembangkan sarana dan prasarana laboratorium bahasa, perpustakaan dan multi media untuk meningkatkan proses belajar mengajar.

(2) Lihat “Visi, Misi, dan Tujuan” Fakultas Sastra Undip dalam Fakultas Sastra UNDIP. 2004. Buku Panduan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang: Departemen Pendidikan Nasional, Universitas Diponegoro.

(3) Lihat Makalah Nurdien H. Kistanto, “Nama dan Isi untuk Masa Depan Fakultas,” Lokakarya Nama Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang, Kamis, 6 Februari 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar