Kamis, 14 Januari 2010

Pembekalan Moral Spiritual Jawa bagi Pemimpin di Indonesia Masa Kini

I. Pendahuluan
Para pemimpin, terutama pemimpin pemerintahan di berbagai tingkatan, di Indonesia masa kini dinilai sering mengecewakan rakyat yang dipimpinnya. Praktek-praktek dan tingkah laku a-moral para pemimpin yang bertentangan dengan budi pekerti yang luhur sering kita alami dan saksikan sebagai siksaan dan derita batin, melalui jasa media komunikasi yang begitu bebas membukanya. Para pemimpin yang berbudi pekerti luhur sering tertutup oleh keterbukaan media menggelar keburukan para pemimpin “jahat” yang mementingkan diri sendiri.
Keterbukaan makin mengajarkan kepada kita bahwa menjadi seorang pemimpin memerlukan persiapan mental dan pemahaman moral-spiritual yang harus menjadi pedoman dalam perjalanan memimpin dan mengelola negara dan masyarakat dalam berbagai tingkatan. Pedoman moral dan spiritual tersebut harus digenggam, dihayati dan dijalankan dengan selalu eling lan waspodo.
Ajaran-ajaran dan nilai-nilai moral-spiritual yang berasal dan berkembang di kalangan masyarakat Jawa telah lebih dari cukup untuk menjadi pedoman dan modal yang kaya untuk menjadi pemimpin di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah.
Pembekalan pedoman yang bersumber dari ajaran-ajaran dan nilai-nilai moral-spiritual Jawa yang sampai saat ini masih hidup dan didukung oleh masyarakat Jawa kiranya layak diindahkan sebagai syarat agar para pemimpin kita tidak terus-menerus dan bertubi-tubi menjadi “korban keadaan.”
Banyak ajaran dan nilai moral-spiritual Jawa berharga yang sampai sekarang dihayati dan diyakini menjadi bagian dari kebudayaan luhur bangsa Jawa, yang disampaikan melalui ujaran, nasehat, pitutur dan ucapan sehari-hari, tapi dilupakan dan diabaikan keluhurannya oleh para pemimpin kita. Sepilihan ajaran dan nilai moral-spiritual disampaikan berikut ini, semata-mata berdasarkan ingatan dan praktek hidup sehari-hari, dengan pemahaman, penafsiran dan pengembangan saya sendiri. Ajaran dan nilai moral-spiritual ini diharapkan dapat dipahami dan menjadi pedoman hidup dan bertindak bagi para pemimpin kita.
II. Memayu Hayuning Bawono
Memayu Hayuning Bawono atau “menjaga keselamatan dunia” bagi pemimpin kita menyarankan agar manusia, terutama pemimpin masyarakat di muka bumi, eling untuk berlaku adil, mengutamakan keseimbangan dan keselarasan dalam hubungan-hubungan antara dirinya dan Tuhannya, dirinya dan sesama manusia, dirinya dan lingkungannya. Apabila keselarasan dan keseimbangan tidak mampu dijaga oleh pemimpin maka imbas dan akibatnya akan menimpa dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungannya. Secara simbolik masyarakat Jawa menjalankannya dengan slametan, sesajen, dan wayangan, agar kekuatan jahat dan pengaruh buruk tidak menimpa dirinya dan lingkungannya, serta apa yang diperjuangkan dalam hidup membawa hasil yang berlimpah dan dengan berkah. Ritual sosial dalam wujud sikap dan perilaku adil dan tidak korup harus diingat oleh para pemimpin agar dirinya, keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya tidak mengalami “sakit parah.” Penderitaan rakyat kurang lebih diakibatkan oleh tingkah-laku pemimpinnya.
III. Sabda Pandito Ratu dan Idu Geni
Sabda Pandito Ratu atau sabda/ucapan/janji Raja atau pemimpin. Ajaran dan nilai ini mengingatkan pemimpin agar selalu memegang ucapan dan memenuhi janji yang pernah disampaikan di hadapan publik atau rakyat. Diharapkan, seorang pemimpin harus berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu atau melontarkan janji; karena ucapan Raja/pemimpin adalah hukum dan aturan yang harus dilaksanakan, dipatuhi dan dipenuhi. Apabila seorang pemimpin menyampaikan ucapan atau janji dan tidak dapat melaksanakannya maka dia tidak dipercaya lagi sebagai pemimpin. Akibatnya, rakyat berdemo, atau melakukan protes dan menagih janji dengan pepe (memanggang diri) di alun-alun sampai sang pemimpin memberikan tanggapan.
Dalam hubungan ini, idu geni (ludah api) atau ndilat idune dhewe (menjilat ludah yang sudah dibuang) menyarankan wujud kesaktian ucapan atau janji pemimpin atau orang berpengaruh yang sudah terlanjur diucapkan jangan sampai ditarik kembali. Menjilat ludah sendiri di tanah dipandang sebagai sikap yang nggawe wirang (memalukan) atau mirang-mirangke (mempermalukan diri sendiri) bagi pemimpin Jawa.
IV. Eling lan Waspodo: Ojo Dumeh dan Aji Mumpung
(Jalma tan Kena Kiniro: Ojo Adigang, Adigung, Adiguno)
Para pemimpin harus selalu “ingat dan waspada” akan diri dan tugas hidupnya, agar menjadi manusia yang paling beruntung. Sekarang ini banyak pemimpin pemerintahan yang jauh dari sikap yang berpedoman pada eling lan waspodo; mereka tidak ingat terutama dalam membelanjakan APBD dan mengelola hak rakyatnya, sehingga menjadi manusia yang dipenjara nalurinya dan dapat berakibat dipenjara sungguhan fisiknya.
Oleh masyarakat Jawa mereka sudah diingatkan dengan memasang ujaran di dinding-dinding rumah keluarga-keluarga, Ojo Dumeh (Jangan Sewenang-wenang) dan jangan memanfaatkan Aji Mumpung (Pedoman Selagi Berkuasa).
Sikap-sikap bawaan tak-terpuji yang tetap menjadi pedoman hidup ketika menjadi pemimpin seperti Adigang, adigung, adiguno (besar kepala, megalomania, arogan, kemintar, sok berkuasa) dapat mencelakakan diri sendiri, lingkungan dan masyarakatnya, di masa dorongan keterbukaan, penegakan hukum dan keteguhan perjuangan wong cilik melawan wong gedhe (juga hubungan Gusti-kawulo) tumbuh dan berkembang oleh demokratisasi dan reformasi. Jalma tan kena kiniro: LSM, rakyat, peguyuban, terus menyoroti, mewaspadai dan bertindak untuk menyikapi sikap-sikap pemimpin yang jauh dari budi luhur.
V. Ber Budi Bowo Laksono, Rame ing Gawe – Sepi Ing Pamrih
Sebaliknya, Ber Budi Bawa Laksono, yakni sikap dan sifat yang mencerminkan “budi luhur dan mulia,” egaliter, ramah, murah hati, berhati nurani, suka memperhatikan dan mendahulukan kepentingan pihak yang dipimpin, menjadi dambaan rakyat untuk mencapai ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan bagi semuanya. Sikap dan sifat demikian menjadikan seseorang pemimpin yang sempurna dengan pedoman perilaku Rame ing Gawe – Sepi ing Pamrih (rajin bekerja dan berjuang tanpa ingin dipuji), sehingga semua kebijakan dan keputusan politik dan pemerintahan publik yang diambilnya berorientasi kepada amanat rakyat atau yang dipimpin.
VI. Penutup: Menghadapi Masyarakat Baru
Para pemimpin di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah banyak yang lupa, tidak eling lan waspodo, bahwa mereka sekarang ini memimpin dan menghadapi masyarakat baru, yang karakteristik dan dinamikanya berbeda dari masyarakat pada, 10 tahun yang lalu. Dapat dikatakan bahwa mereka ini sesungguhnya mengidap penyakit “bebal sosial-budaya” – tidak memahami karakteristik dan dinamika yang berkembang dalam masyarakatnya. Mereka memilih jalan dan melakukan praktek-praktek yang jauh dari akuntabilitas, disangkanya akan dibiarkan saja oleh Semar, Bagong, Gareng dan Petruk; dikiranya akan didiamkan saja oleh Togog, Limbuk dan Mbilung.
Para abdi dalem dan kawulo pun menjalani proses-proses transformasi, demokratisasi, reformasi dan postmodernisasi.
Poro Rojo, Bupati, Walikutho lan Wakil Rakyat, sing ati-ati, eling lan waspodo!
Wassalam.
Semarang, 1 Februari 2005
*)Makalah disampaikan pada Laku Budaya Jawa II, Hotel Quality Sala
Rabu-Kamis, 2-3 Februari 2005, diselenggarakan oleh Yayasan Studi Bahasa Jawa Kanthil Semarang, PGRI Jawa Tengah, dan PEPADI Komda Jawa Tengah

Nurdien H. Kistanto, Guru Besar antropologi, kelahiran pesisir Jawa bagian utara, bekerja di Universitas Diponegoro; memperoleh gelar Master of Arts (MA) dalam American Studies dari Michigan State University, Michigan, USA dan Doctor (Ph. D.) dalam Social Anthropology dari Sydney University, Australia.













Bacaan

Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.

De Jong, Wouter and Frank van Steenbergen. 1987. Town and Hinterland in Central Java. The Banjarnegara production structure in regional perspective. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Masinambouw, E. K. M. 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Jakarta: Asosiasi Antropologi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia.

Mulder, Niels. 1989. Individual and Society in Java – A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java”. Ithaca: Cornell University Press.

Ras, J. J. 1987. Babad Tanah Djawi. Dordrecht-Holland: Foris Publications.

Scherer, Savitri Prastiti. 1985. Keselarasan dan Kejanggalan. Pemikiran-Pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Jakarta: Sinar Harapan.

Sofwan, H. Ridin. 1999. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa). Semarang: Aneka Ilmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar