Kamis, 14 Januari 2010

Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Kuno

I. Pendahuluan
Selama 4 (empat) dasawarsa ini pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan perubahan dan kemakmuran ekonomi besar-besaran. Namun demikian, di sisi lain, pembangunan telah mengorbankan lingkungan alam dan warisan budaya begitu luar biasa. Setidak-tidaknya sejak 3 (tiga) dasa warsa yang lalu kerusakan warisan budaya terjadi terus-menerus.
Warisan budaya itu terutama berupa bangunan-bangunan dan peninggalan-peninggalan kuno lainnya, yang dikenal sebagai benda cagar budaya, yang menandai tata nilai, perjalanan, sejarah dan tradisi bangsa, yang secara kognitif dan kultural menjadi memori bangsa baik secara kelompok, komunitas atau masyarakat, maupun kolektif, bangsa. Memori yang masih membekas dan berdampingan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa. Disampaikan dalam tulisan ini antara lain tentang nilai pelestarian dan pemanfaatan bangunan kuno, disertai sejumlah catatan dan sampel yang terjangkau tentang benda cagar budaya yang dibongkar, digusur, rusak, terlantar, hilang, dan mengalami alih fungsi seperti di Surabaya dan Semarang.

II. Nilai Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Kuno
Dalam pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya, terutama bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah, kiranya sejumlah nilai dapat dipertimbangkan sebagai acuan dan reasoning, kenapa sebuah benda atau bangunan harus dipertahankan, dilestarikan, dan dimanfaatkan.
Gagasan tentang benda cagar budaya sejarah (historic monument) dalam pengertian luas pada dasarnya sudah tumbuh sejak Renaisans Itali, ketika pembagian ke dalam ’benda cagar budaya artistik’ (artistic monuments) dan ’benda cagar budaya sejarah’ (historical monuments) dianggap identik. Dengan landasan sejarah budaya, perhatian tertuju pada nilai sejarah dari rincian-rincian dan fragmen-fragmen kecil sebagai bagian tak tergantikan dari warisan budaya. Namun perlahan-lahan nilai historis berkembang menjadi nilai evolusioner, nilai usia, di mana rincian pada akhirnya menjadi tidak penting. Nilai usia peninggalan dianggap paling moderen dalam penghargaan terhadap benda cagar budaya (Jokilehto, 2002: 216), sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang merupakan upaya formal bagi penyelamatan dan pelestarian ”(a) benda buatan manusia... yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun” (dan seterusnya).
Dua gugusan nilai setidak-tidaknya dapat dipertimbangkan dalam melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya yang berupa bangunan kuno, yaitu
(1) nilai-nilai memorial (memorial values): nilai usia, nilai historis, dan nilai memorial yang dimaksud;
(2) nilai-nilai masa sekarang (present-day values): nilai guna/manfaat, nilai seni, nilai kebaruan, dan nilai seni relatif (Jokilehto, 2002: 216).
UURI No. 5. Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pun sudah mengatur mengenai ”pemanfaatan” benda cagar budaya, seperti tertulis pada Bab VI Pemanfaatan, Pasal 19 yang berbunyi:
1. Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
2. Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan dengan cara atau apabila:
a. bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
b. semata-mata untuk mencari kepentingan pribadi dan/atau golongan.
3. Ketentuan tentang benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan cara pemanfaatannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Dapat dikatakan bahwa keputusan untuk melakukan pelestarian dan pemanfaatan bangunan kuno disebabkan antara lain karena bangunan tersebut bernilai seni (seni bangunan/arsitektur, seni rupa, dsb.) dan merupakan benda cagar budaya bernilai sejarah (berumur lama). Nilai-nilai lain dalam bidang-bidang keilmuan dan kebudayaan tentu melekat bersama nilai-nilai memorial dan nilai-nilai masa sekarang.
III. Dibongkar, Digusur, Rusak, Terlantar, Hilang, dan Mengalami Alih Fungsi
Setidak-tidaknya sejak akhir tahun 1970an cagar budaya yang berupa bangunan kuno dan benda-benda warisan budaya lainnya telah dibongkar, digusur, rusak, terlantar, hilang, dan mengalami alih fungsi, oleh tangan-tangan kita sendiri. Tragedi yang memprihatinkan ini antara lain disebabkan oleh tekanan-tekanan pembangunan yang selalu berorientasi berlebih-lebihan pada pertumbuhan ekonomi, sehingga mengabaikan penjagaan dan pelestarian cagar budaya yang bernilai arsitektural, historis dan kultural yang tinggi, unik dan khas.
Sekedar mengingatkan kembali, menurut catatan (Budihardjo, 1979), tragedi sejak tahun 1970an itu menimpa:
(1) rumah panjang tradisional Kalimantan dibongkar;
(2) rumah Bupati Semarang zaman dahulu, Kanjengan digusur;
(3) gedung Proklamasi di Jakarta lenyap;
(4) benteng tua Rotterdam, tempat Pangeran Diponegoro ditawan selama 21 tahun di Ujung Pandang (Makassar) pernah menjadi gudang sepeda yang jorok; dan
(5) Loji bersejarah di Tondano dibongkar.
Menurut Eko Budihardjo (1974), sangat memprihatinkan bahwa instansi-instansi dan tokoh-tokoh pemerintahan daerah yang seharusnya menjaga kelestarian arsitektur di daerahnya seringkali justrumenjadi pelopor pembongkaran; sedangkan protes dari masyarakat setempat tidak ditanggapi, dianggap angin lalu. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena banyak pimpinan daerah dihinggapi ”obsesi membangun,” bahwa kemajuan daerah identik dengan pesatnya pembangunan baru dan bahwa modernisasi di segala bidang adalah dambaan yang harus dikejar dengan segenap cara.
Beberapa penyebab penting cagar budaya yang berupa bangunan kuno dan peninggalan sejarah sulit bertahan antara lain:
(1) terjadinya desakan komersialisasi karena pertumbuhan dan perkembangan kota ditentukan oleh kegiatan ekonomi, yaitu ekonomi dan bisnis komersial – sehingga setiap kegiatan yang tidak mendorong perolehan komersial dan tidak menghasilkan keuntungan ekonomi dianggap tidak layak dipertahankan;
(2) pemerintahan dan masyarakat kota tidak memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap peninggalan berupa bangunan kuno yang dibangun oleh ”pihak lain” pada ”zaman lain” – misalnya oleh kolonial Belanda pada masa lalu;
(3) sebagian besar warga kota adalah pendatang atau tinggal sementara untuk kegiatan ekonomi dan mata pencaharian, sehingga merasa tidak punya kepentingan langsung dengan benda-benda cagar budaya; selain itu, bangunan-bangunan kuno tidak mencerminkan karakteristik yang terkait langsung dengan identitas lokal warga masa sekarang;
(4) kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya penghargaan terhadap benda peninggalan kuno yang bernilai sejarah dan arsitektural yang bermutu tinggi;
(5) tidak tersedianya anggaran pemerintah (daerah dan pusat) yang cukup bagi penjagaan dan pelestarian benda cagar budaya;
(6) kesemuanya itu terjadi karena prioritas pembangunan negara dan kebutuhan masyarakat belum sampai pada tahap pembangunan ”sejarah, arsitektur dan nilai budaya” melainkan berkutat pada pembangunan ekonomi dan kegiatan-kegiatan mata pencaharian dalam kerangka kebutuhan dasar.
III. 1. Surabaya
Nanang Purwono, penyusun buku Mana Soerabaia Koe, menyatakan pembangunan Surabaya pada masa lalu paling pesat terjadi pada tahun-tahun 1900-1950. Pada waktu itu, Surabaya lama yang disebut Oude Stad (Kota Lama) atau Beneden Stad (Kota Bawah) sudah tak cukup lagi menampung perkembangan kota. Pembangunan diluaskan melintasi tembok yang dibangun di Jalan Indrapura, Kebonrojo, Stasiun Kota, Nyamplungan, Danakarya dan Jakarta. Pemerintah kolonial Belanda mulai membangun Midden Stad (Kota Tengah), yang membentang dari kawasan Sikatan sampai Genteng, untuk pusat pemerintahan dan bisnis; sedangkan Boven Stad (Kota Atas), yang membentang dari jurusan selatan Genteng hingga kawasan Darmo, sejuk, nyaman dan letaknya lebih tinggi dari kawasan Cantikan dan sekitarnya, ditujukan untuk pemukiman elit. Penasehat Surabaya Heritage, Edi Simon, mengatakan bahwa pembangunan Surabaya pada waktu itu sudah memperhitungkan peruntukan kawasan. Tanda sebagai pusat bisnis terlihat dari beberapa gudang dan kantor yang tersisa di kawasan Sikatan, selain itu sisa-sisa pusat niaga masa lalu masih ada di kawasan Tunjungan, sebagian lainnya punah karena pembangunan.
Masyarakat sekarang tak bisa lagi menyaksikan tembok pembatas Oude Stad dan Belvedere (benteng pertahanan) di sisi barat Kalimas yang dibangun Cornelis Speelman. Bangunan yang bisa dikomersialkan atau bermanfaat bisa bertahan, seperti House of Sampurna, Kantor Bank Mandiri di sudut Jl. Pahlawan, Hotel Majapahit, dan Rumah Sakit Darmo dapat terjaga, dilestarikan dan dimanfaatkan, meskipun mengalami alih fungsi; sedangkan pendapa bekas Keraton Kanoman Surabaya juga beralih fungsi menjadi pendapa di Kompleks Taman Budaya Jawa Timur karena memiliki ciri lokal yang menimbulkan rasa kepemilikan penduduk dan bernilai wisata.
Selain itu, Pintu Air Jagir bisa bertahan karena bermanfaat untuk mengendalikan Sungai Kalimas dan dianggap sebagai penanda keberhasilan Raden Wijaya: tempat pintu berdiri dipercaya sebagai tempat Raden Wijaya berhasil memukul mundur pasukan Tar-Tar pada 31 Mei 1293. Sementara sebagian pertokoan di kawasan Tunjungan, Kafe Kadet Pelaut di sudut Jl. Kramat Gantung dan bekas Stasiun Kota hilang. Kehancuran Stasiun Kota adalah ironis, karena bangunan itu termasuk satu dari 100 (seratus) bangunan cagar budaya Surabaya sejak 1998, dengan SK Walikota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04/1998, yang tidak kuat cukup menahan desakan buldoser untuk merobohkan sebagian besar bangunan. ”Sejarah bukan perkara bangunan kuno dan tua semata. Namun, pada bangunan tua dan kuno terekam jejak peradaban. Sekali terhapus, jejak akan hilang tanpa bekas.”
III. 2. Semarang
Sebagai kota peninggalan kolonial, Semarang memiliki bangunan-bangunan kuno, yang tidak saja bersejarah melainkan juga bermutu arsitektural tinggi seperti Gereja Blenduk (gereja Kristen tertua di Jawa Tengah, dibangun sekitar 1742-1753) yang menjadi land mark Kota Lama, Stasiun Tawang (stasiun kereta utama, diresmikan pada tahun 1914), Pasar Johar (dibangun sekitar 1933), dan Lawang Sewu (dibangun sekitar 1904-1908) di kawasan Tugu Muda.
Selain bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Kota Lama yang disebut Little Netherlands, Semarang memiliki bangunan bersejarah di bagian barat kota dengan arsitektur khas Cina yang disebut Sam Poo Kong atau Gedong Batu (bangunan dari batu yang dibangun sejak dibebaskan oleh Oei Tjie Sien, Oei Tiong Ham, saudagar kaya Semarang) sebagai dedikasi kepada Laksamana Cheng Ho, seorang Cina muslim yang datang pertama kali pada tahun 1406. Ada pula Klenteng (kuil tempat peribadatan) Cina Buddha, Tay Kak Sie di Jalan Lombok, kawasan Pecinan, yang dibangun pada tahun 1772 .
Bangunan-bangunan kuno bersejarah telah lama menjadi korban pembangunan berorientasi capital power, sejak Kanjengan (Rumah Bupati Semarang) dihancurkan untuk menjadi Kanjengan Shopping Center, disusul oleh eks Stasiun Jurnatan (stasiun kereta api pertama di Indonesia) menjadi ”Pusat Pertokoan Jurnatan” (Budihardjo, 1997: 126) dan belakangan gedung ”Gris” (sedang dibangun menjadi kompleks Paragon City).
Pada tahun 1992, Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan SK Walikota 650/50/1992 untuk 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi. Pada tahun 2006, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang melansir 325 bangunan kuno yang perlu dikonservasi berdasarkan kriteria usia bangunan di atas 50 tahun.
Wilayah Kota Lama oleh Pemerintah Kota Semarang dijadikan area konservasi dan Wali Kota Semarang Soetrisno Suharto pada 1999 memasang paving block jalan-jalan dan memasang lampu-lampu dengan desain seperti di Belanda. Selanjutnya, pada September 1993 ke luar Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang No. 16 Th. 2003 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Kota Lama. Dengan Perda itu Pemkot Semarang bertekad menjadi Kota Lama sebagai kawasan wisata budaya: penataan ruang dan pengembangan kawasan itu diupayakan menyerupai aslinya, bentuk bangunan dan nama jalan akan dikembalikan seperti pada masa kolonial; tapi aturan itu belum efektif: bangunan-bangunan lama masih nampak lusuh, kadang dengan coretan-coretan liar menghiasi tembok gang-gang kumuh, dan pada malam hari terlihat jalan-jalan yang remang-remang dan lengang karena sarana penerangan sering tak berfungsi. Hanya area di sekitar Gereja Blenduk yang berhias taman, yang berhadapan dengan kantor cabang Asuransi Jiwa Sraya yang bersih, tertata rapi dan nyaman dikunjungi.
Di antara benda-benda cagar budaya penting di Semarang, upaya-upaya pelestarian dilakukan terhadap Lawang Sewu yang tengah dalam pemugaran dan, untuk mengatasi rob dan kekumuhan, Pasar Johar menunggu penataan, sedangkan Stasiun Tawang tengah ditinggikan. Peristiwa budaya penting juga belum lama terjadi, yaitu ditemukannya peninggalan arkeologis Benteng Kota Lama (de Vijfhoek van Semarang) yang dibangun pada tahun 1686 dan selesai pada 9 Juni 1705, dan perluasannya disebut lebih besar dari pada benteng VOC di Batavia.
III. 2. 1. Pemanfaatan Lingkungan Kota Lama
Kota Lama layak dimanfaatkan untuk kawasan konservasi bangunan kuno dan tujuan wisata dengan membenahi lingkungannya terutama dengan city walk, tempat pengunjung bisa menikmati bangunan-bangunan berarsitektur Belanda yang unik dan bermutu, mempelajari desain-desain arsitektural, belajar sejarah dan mengenang masa kolonial. Makna-makna setiap benda peninggalan budaya yang sudah digali dan dipelajari agar diperdalam dan diperluas sebagai bahan untuk pengembangan kebudayaan dan kawasan quality tourism yang menyediakan pengayaan pengalaman dan wawasan.
Dengan paradigma quality tourism, kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk laboratorium hidup (living laboratory) dan laboratorium lapangan (field laboratory) bagi pengembangan studi ilmu arsitektur, ilmu konservasi, ilmu sejarah, ilmu politik, dan ilmu pariwisata serta ilmu budaya yang lebih luas. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lingkungan Kota Lama kiranya harus dilakukan untuk menggali potensi-potensi budaya dan ekonomi yang mereka simpan sebagai energi sosial-budaya dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata.
III. 2. 2. Pasar Johar
Pasar Johar yang dibangun pada tahun 1930an masih tetap dibutuhkan masyarakat untuk berjual-beli barang kebutuhan sehari-hari, berdagang eceran berbagai kebutuhan masyarakat. Penataan Pasar Johar untuk pemanfaatan berkelanjutan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan dan paradigma berbasis masyarakat (community based approach and paradigm), terutama masyarakat pedagang pengguna Pasar Johar, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi (misalnya dengan Participatory Urban Market Appraisal), dan dengan upaya teknis lingkungan mengatasi rob yang terus mengganggu.
Pasar Johar juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan penelitian dan menyelenggarakan laboratorium hidup (living laboratory), misalnya untuk mempelajari ilmu ekonomi bisnis usaha kecil dan menengah, ilmu ekonomi keluarga, ilmu arsitektur, perencanaan kota dan desain bangunan kolonial bermatra tropis.
III. 2. 3. Stasiun Tawang
Tak bisa tidak, Stasiun Tawang tetap dimanfaatkan sebagai stasiun kereta api utama antar kota, antar provinsi, dengan penanganan yang serius untuk mengatasi genangan air dari rob yang sangat mengganggu, tapi tetap menjaga nilai bangunan kuno dengan arsitektur yang khas, indah dan bermutu, serta mengindahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Mengenai pemugaran dan peninggian kompleks Stasiun Tawang kiranya yang harus diperhatikan dan dijalankan adalah Bab IV, Pasal 15 yang berbunyi: 1. Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.
IV. Penutup
Setidak-tidaknya sejak 1970an benda cagar budaya di sejumlah kota dan daerah mengalami pembongkaran, penggusuran, rusak, terlantar, hilang, dan mengalami alih fungsi. Dapat dipastikan kasus-kasus tragedi benda cagar budaya yang terjadi di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang disampaikan dalam tulisan ini. Kiranya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan perlunya melindungi, menghargai, melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit implementasinya, dengan partisipasi masyarakat.*

Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko. Cetakan I 1983, cetakan III 1991. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.

_______, Editor. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan.

Jokilehto, Jukka. 2002. A History of Architectural Conservation. Oxford: Butterworth Heinemann.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta, 21 Maret 1992, Presiden Republik Indonesia, Soeharto.

Sumber-Sumber Lain

Dari Kompas dan Suara Merdeka, Mei-Juni 2009.

Deskripsi Pesona Budaya Jawa Tengah

Deskripsi
Pesona Budaya Jawa Tengah

1. Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara
2. Segara Anakan, Kabupaten Cilacap
3. Dieng Plateau, Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara
4. Situs Sangiran, Kabupaten Sragen
5. Pasar Hewan, Pasar Pon, Kabupaten Semarang
6. Baturraden, Kabupaten Banyumas
7. Alas Roban, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang
8. Komunitas Kauman, Semarang
9. Pelabuhan Pendaratan Ikan, Kota Tegal
10. Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri

1. Taman Nasional Karimunjawa, Kabupaten Jepara
Taman Nasional Laut Karimunjawa meliputi gugusan Kepulauan Karimunjawa yang terdiri dari 27 pulau yang dikenal dengan Oasis of Java karena keindahan dan keaslian lingkungan alamnya. Kepulauan Karimunjawa terletak di Laut Jawa sekitar 83 km di sebelah utara barat laut pantai Jepara dengan luas 111.625 ha, terdiri dari 104.592 ha perairan dan 7.033 ha daratan. Kapulauan ini memiliki beberapa ekosistem utama, yakni ekosistem pelagik laut, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun (seagrass), ekosistem hutan bakau (mangrove), ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan hujan dataran rendah.
Kekayaan flora yang telah terindentifikasi di kepulauan ini meliputi bakau (mangrove) yang terdiri dari Bruguiera dan Rhizophora, jambon (Acmena acuminatissima), gondorio (Bouea macrophylla), uyahuyahan (Procris penduculata), dan satu jenis tumbuhan endemik dewandaru (Cristocalyx macrophylla) yang mengandung mitos tersendiri. Fauna darat di kepulauan ini meliputi rusa (Cervus timorensis), trenggiling (Manis javanicus), landak (Hystrix brachyura), ular edor (Calloselasma rhodostoma), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), bangau abu-abu (Ardea cinera), elang laut (Heliaetus leucogaster), dara laut (Sterna sp), dan wedi-wedi (Ducula rosacaeae). Fauna laut meliputi 33 genera dari 12 suku karang batu; spons dan karangmerah (Tubipora musica), 242 jenis ikan hias; kemudian penyu sisik (Eretmochelys umbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas).
Para pengunjung dapat memancing, menyelam, menikmati keindahan alam, dan bermalam di Pulau Menyawakan yang menyediakan Kura Kura Resort atau di Pulau Karimunjawa di Hotel Kura-Kura, sejumlah homestay dan wisma pemerintah daerah (NHK).

2. Segara Anakan, Kabupaten Cilacap
Di sebelah utara Pulau Nusakambangan, Cilacap, terhampar Segara Anakan dan pulau-pulau kecil yang bersambung dengan daerah estuari, rawa dan hutan bakau di pantai selatan Cilacap. Perairan Segara Anakan merupakan bagian Samudera Hindia dengan muara-muara sungai dan hutan payau Cilacap dan Ciamis, sehingga kawasan ini mengandung aneka ragam ekosistem dan sumber daya hayati. Di perairan Segara Anakan, selain terdapat ribuan jenis biota laut, hidup satwa langka, yaitu lumba-lumba khas wersut atau pesut (Orcaella, sp), kerabat dekat pesut Mahakam dan dolfin Irrawady Myanmar (NHK).

3. Dieng Plateau, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara
Kawasan Dieng Plateau terbentang melintasi batas antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Inilah kawasan tanah tinggi terluas di tanah Jawa yang terbentang pada 2.093 meter di atas permukaan laut dengan temperatur rata-rata 15 derajat Celcius. Banjarnegara meliput bagian dari plateau yang lebih luas tapi jalan menuju plateau lebih mudah dicapai melalui kota Wonosobo, yang berjarak 26 km. Pada plateau tersebut terdapat kelompok Candi Hindu “Pandawa”, danau-danau, kawah-kawah aktif, sumber Sungai Serayu, dan gua-gua (NHK).

4. Situs Sangiran, Kabupaten Sragen
Situs Sangiran adalah contoh gambaran kehidupan manusia purba dengan luas kawasan mencapai 56 km2, yang meliputi 3 Kecamatan (Gemolong, Kalijambe, Plupuh) di Sragen dan 1 Kecamatan (Gondangrejo) di Karanganyar. Sangiran merupakan situs terpenting bagi ilmu pengetahuan, terutama arkeologi, palaeoantropologi, antropologi ragawi, biologi, dan geologi, yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari kehidupan manusia purba. Situs ini lengkap dengan fosil-fosil manusia dan hasil-hasil budayanya, fosil-fosil flora dan fauna, beserta gambaran stratigrafinya. Di Sangiran mengalir Sungai Cemoro yang indah dan bermuara di Bengawan Solo. Sungai Cemoro merupakan sungai antecedent yang membelah zona inti Sangiran sehingga struktur cekungan Sangiran dan lapisan tanah dapat dipelajari dengan seksama. Sampai saat ini Situs Sangiran masih menyimpan misteri, meskipun sudah ditemukan 50 fosil Homo Erectus. Pada tanggal 5 Desember 1996, Situs Sangiran ditetapkan oleh Komite World Heritage UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia No. 593, dengan nama Sangiran Early Man Site (NHK).

5. Pasar Hewan, Pasar Pon, Ambarawa, Kabupaten Semarang
Pasar Hewan ini terletak di Desa Ngrengas, Ambarawa, Kabupaten Semarang dan disebut Pasar Pon karena pasar ini hanya buka pada hari pasaran Pon, menurut penanggalan Jawa. Pada tiap Pon para pemilik, belantik, makelar atau perantara, dan pembeli bertemu untuk melakukan transaksi rajakaya (hewan berkaki empat) dan sato iwen (ternak unggas). Para pengunjung datang dari berbagai kota dan desa di Jawa Tengah. Warung makanan, minuman, jamu dan obat, tukang pijit, dan tukang cukur pun tersedia di pasar tradisional ini (NHK).

6. Baturraden, Kabupaten Banyumas
Baturraden adalah kawasan peristirahatan pegunungan yang berjarak 15 km dari kota Purwokerto ke arah utara. Kawasan ini terletak di lereng Gunung Slamet pada ketinggian 640 meter di atas permukaan laut. Dengan pemandangan alam yang mempesonakan, berupa rerimbunan pohon di kaki gunung dan suara gemericik air mengalir, para pengunjung dapat mandi di sumber air panas Pancuran Pitu and Pancuran Telu yang dikelilingi hawa sejuk dan udara segar (NHK).

7. Alas Roban, Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang
Nama Alas Roban diambil dari bahasa Jawa yang berarti “hutan yang angker atau berbahaya”. Disebut demikian karena pada jaman dahulu kawasan hutan yang membentang di kiri-kanan jalan raya Semarang-Jakarta dari Gringsing di Kabupaten Kendal sampai di Tulis, Kabupaten Batang ini tidak aman untuk dilewati. Konon dahulu Alas Roban menjadi lokasi beroperasi para penjahat seperti rampok, kecu dan begal, serta dihuni oleh makhluk-makhluk halus seperti setan dan jin yang ganas, sehingga dikenal dengan sebutan “setan alas roban.” Kini lintasan Alas Roban merupakan lintasan sosial-ekonomi yang amat penting yang menghubungkan kegiatan sosial, budaya dan ekonomi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jakarta (NHK).

8. Komunitas Kauman, Semarang
Di wilayah pesisir utara Jawa permukiman muslim Kauman berawal. Di samping terstruktur dalam kota tradisional Jawa, Kampung Kauman merupakan tipologi perkampungan komunitas muslim, santri, di pusat kota dan berlokasi di belakang Masjid Besar atau Masjid Jami’. Dengan berjalannya waktu, komunitas Kauman Semarang mengalami transisi: yang semula merupakan pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan Islam, kini juga menjadi pusat kegiatan bisnis. Para anggota keturunan komunitas Kauman Semarang sekarang juga bermukim di lokasi-lokasi lain dengan berbagai kegiatan dan matapencaharian (NHK).

9. Pelabuhan Tegal
Pelabuhan Tegal yang dikelola oleh PT (Persero) Pelabuhan Indonesia III Cabang Tegal terletak di bagian utara Kota Tegal. Di pelabuhan ini berlabuh ratusan kapal yang mengangkut barang-barang komoditas dan sebagian di antaranya mendaratkan berbagai jenis ikan besar dan kecil yang segera ditumpahkan dan diperdagangkan di Tempat Pelelangan Ikan. Di Kota Bahari itu denyut kehidupan sumber daya alam kelautan dan pesisir sangat mencolok hingga di sore hari. Perhatikan moto yang terpampang di pintu masuk pelabuhan itu: Laut adalah sumber kehidupan. Jagalah laut dari pencemaran (NHK).

10. Waduk Gajah Mungkur, Kabupaten Wonogiri
Gajah Mungkur adalah waduk yang luasnya 83 ha dan terletak di sekitar 35 km ke arah selatan dari kota Sala dan 2.5 km ke arah selatan dari kota Wonogiri. Waduk ini dibangun untuk mencegah banjir dan untuk irigasi persawahan. Di waduk ini para pengunjung dapat memancing dan berolah raga air seperti jetski dan dayung. Tetapi tak jarang waduk ini juga dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan lain yang mendatangkan pengunjung dari luar daerah (NHK).

Pesona Budaya Jawa Tengah


1. 1. Wawasan dan Teori Budaya
(1) Manusia, Binatang dan Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan tak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun kehidupan. Tak ada kebudayaan tanpa manusia dan tak ada manusia tanpa kebudayaan. Batasan tentang kebudayaan bisa dilakukan dengan simbol atau penyimbolan (symboling), dalam hubungan ini manusia disebut symboling animal (binatang yang menyimbolkan). Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kebudayaan terjadi dengan penyimbolan (symboling). Salah satu konsepsi tentang kebudayaan meliputi “beliefs, ideologies, social organization, and technology (the use of tools)” (White, 1973: 9).
Bagaimana dengan tingkah laku binatang yang berbeda dari Homo sapiens? Kenapa tingkah laku mereka tidak disebut kebudayaan? Semua binatang punya organisasi sosial, bahkan tanaman pun punya (Plant ecology: plant sociology). Beberapa binatang menggunakan peralatan, membuat rumah/sarang, yang dipelajari dan diwariskannya dari generasi sebelumnya. Beberapa binatang juga memiliki pengetahuan dan konsepsi. Kenapa tingkah laku mereka bukan (produk) kebudayaan?
Karena tingkah laku, organisasi sosial species mereka ditentukan secara biologis, organisasi sosial mereka merupakan suatu fungsi dari struktur tubuhnya, fungsi dari komposisi genetiknya. Karakteristiknya antara lain, nonprogressive, nonaccumulative. Dalam species manusia, organisasi sosial bukan semata-mata fungsi struktur tubuh, melainkan fungsi suatu tradisi external suprabiological yang disebut “kebudayaan.” Dalam jenis manusia terdapat macam-ragam organisasi sosial dan proses peralatan yang tak terhingga variasinya, yang bersifat progressive dan cumulative, serta symboling atau conceptual.
Oleh sebab itu terdapat dua sosiologi yang secara mendasar membedakan antara organisasi sosial manusia dan organisasi sosial makhluk-makhluk lain:
(1)   the sociology of nonhuman species, which is a subdivision of biology;
(2)   the sociology of human beings, which is a subdivision of the science of culture, or culturology, because it is a function of this external suprabiological, supraorganic tradition called culture (White, 1979: 9-10).
Kemampuan berbicara pada manusia adalah karakteristik dari proses kebudayaan yang amat penting dan merupakan bentuk karakteristik dari symboling. Dengan kemampuan tersebut manusia mengembangkan kebudayaan sehingga apa yang dihadapinya di dunia dapat diklasifikasikan, dikonseptualisasikan, diverbalisasi-kan. Dengan demikian pula hubungan-hubungan antar benda-benda disusun atas dasar konsepsi-konsepsi (White, 1979: 10).
Hubungan-hubungan biologis sekaligus sosial dipahami melalui ujaran artikulasi (articulate speech), yang merupakan kemampuan dasar bagi pengembangan bahasa.  Simpanse dan kera serta binatang-binatang lain punya ayah-ibu, paman-bibi, dan sebagainya, tapi mereka tidak mampu mengklasifikasikan semua hubungan-hubungan tersebut dengan ujaran artikulasi, atau bahasa, yang bersamanya mengandung pula norma, etika, aturan, kebiasaan dan nilai-nilai (adat-istiadat). Dengan ujaran artikulasi, semua orang dengan siapa dia berhubungan sosial diklasifikasikan dan ditentukan; tugas dan kewajiban ditentukan untuk setiap kategori (White, 1979: 11).
(2) Sistem dan Konsep Budaya
Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.” Dalam pengertian “sempit” yang meluas, kebudayaan dipahami sebagai “kesenian.” Pementasan kesenian sering disebut sebagai acara budaya; misi kesenian yang melawat ke luar negeri sering dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan praktek demikian tentu mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dari unsur-unsur atau isi kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan.
Unsur-unsur atau isi kebudayaan secara keseluruhan dari suatu masyarakat terkandung dalam suatu sistem budaya, yaitu
“seperangkat pengetahuan dan pekerjaan yang meliputi pandangan hidup, keyakinan, nilai, norma, aturan, hukum, dari suatu masyarakat, yang dapat dicapai melalui proses belajar dan dimanfaatkan sebagai pedoman untuk menata, mengatur, menilai, dan menafsirkan kegiatan dan aspek-aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat yang bersangkutan” (Melalatoa, 1997: 4-5).

Sosiolog Anthony Giddens (1991: 31) mengenai kebudayaan (culture) dan masyarakat (society):
Culture consists of the values the members of a given group hold, the norms they follow, and the material goods they create. Values are abstract ideals, while norms are definite principles or rules which people are expected to observe. Norms represent the ‘dos’ and ‘don’ts’ of social life....
When we use the term in ordinary daily conversation, we often think of ‘culture’ as equivalent to the ‘higher things of the mind’ – art, literature, music and painting… the concept includes such activities, but also far more. Culture refers to the whole way of life of the members of a society. It includes how they dress, their marriage customs and family life, their patterns of work, religious ceremonies and leisure pursuits. It covers also the goods they create and which become meaningful for them – bows and arrows, ploughs, factories and machines, computers, books, dwellings.
‘Culture’ can be conceptually distinguished from ‘society’, but there are very close connections between these notions. ‘Culture’ concerns the way of life of the members of a given society – their habits and customs, together with the material goods they produce. ‘Society’ refers to the system of interrelationships which connects together the individuals who share a common culture. No culture could exist without a society. But, equally, no society could exist without culture. Without culture we would not be ‘human’ at all, in the sense in which we usually understand that term. We would have no language in which to express ourselves, no sense of self-consciousness, and our ability to think or reason would be severely limited….
(Giddens, 1991: 31-32).

(3) Unsur-Unsur Kebudayaan
Para ahli kebudayaan sekarang memandang kebudayaan sebagai suatu strategi (van Peursen, 1976: 10). Salah satu strategi adalah memperlakukan (kata/istilah) kebudayaan bukan sebagai “kata benda” melainkan “kata kerja.” Kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda lainnya. Kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (van Peursen, 1976: 11) yang bekerja, yang merasakan, memikirkan, memprakarsai dan menciptakan. Dalam pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa dan cipta manusia.” Dengan begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi meningkatnya harkat dan martabat manusia. Akan tetapi, memahami konsep kebudayaan secara demikian tidak begitu mudah. Penjelasan lebih lanjut tentu diperlukan, demikian.
Secara konseptual, kebudayaan mengandung unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi kebudayaan. Unsur-unsur atau isi kebudayaan tersebut (Koentjaraningrat, 1974), yang membuat kita lebih mudah memahami kebudayaan secara luas, meliputi:
(1)         Sistem dan organisasi kemasyarakatan;
(2)         Sistem religi dan upacara keagamaan;
(3)         Sistem mata pencaharian;
(4)         Sistem (ilmu) pengetahuan;
(5)         Sistem teknologi dan peralatan;
(6)         Bahasa; dan
(7)         Kesenian.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut merupakan isi kebudayaan yang universal, yang terdapat pada semua masyarakat manusia di mana pun mereka berada (Koentjaraningrat, 1974), baik dalam masyarakat sederhana (less developed) dan terpencil (isolated), berkembang (developing), maupun maju (developed) dan rumit (complex). Unsur-unsur tersebut juga menunjukkan (jenis-jenis atau kategori) pekerjaan manusia untuk “mengisi” atau “mengerjakan”, atau “menciptakan” kebudayaan, yang sekaligus adalah tugas manusia sebagai “utusan (khalifah)” di dunia.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari dengan kategori-kategori sub-unsur dan sub-sub-unsur, yang saling berkaitan dalam suatu sistem budaya dan sistem sosial.
(4) Sistem Budaya Indonesia
Dengan melihat kondisi masyarakat yang majemuk, tidak mudah menentukan sistem budaya Indonesia. Namun setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan, atau sub-kebudayaan, dalam masyarakat Indonesia:
(1)   Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45;
(2)   Kebudayaan suku-suku bangsa;
(3)   Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya perbedaan-perbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat yang saling berbeda kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar atau kota (Melalatoa, 1997: 6).

Harsya W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut berkembangnya 4 (empat) sistem budaya di Indonesia, yakni
(1)   Sistem Budaya Etnik: bermacam-macam etnik yang masing-masing memiliki wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih);
(2)   Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;
(3)   Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia, Pancasila dan UUD-RI.
(4)   Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur Tengah, Cina, Amerika, Jepang, dsb.

Selain itu, berkembang pula “Sistem Budaya Campuran” di Indonesia.

1. 2. Budaya Jawa Tengah
Orang-orang Jawa Tengah adalah manusia Jawa yang secara kolektif sudah sejak lama berkebudayaan dan berperadaban tinggi. Orang-orang Jawa Tengah sudah berabad-abad merintis, menumbuhkan dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban, melakukan kegiatan-kegiatan dan menghasilkan karya-karya yang cermat, rumit, halus, enak dan bermutu.
Kebudayaan dan peradaban yang dibangun dan dikembangkan orang-orang Jawa Tengah tidak hanya yang bersifat kebendaan, atau yang material, tangible, yang mudah disentuh, diraba dan dirasakan indera secara fisik, melainkan juga yang bukan-benda, atau yang immaterial, intangible, dan abstrak.
Warisan-warisan dari masa lalu, yang menunjukkan keluhuran dan kemuliaan budaya dan peradaban yang hidup dan berkembang di Jawa Tengah masih dapat mempesona dan membangkitkan kebanggaan bagi mereka yang memahami dan menghayatinya. Warisan-warisan budaya dan peradaban yang sekarang masih dirawat dan dilestarikan diharapkan dapat menumbuhkan kenangan yang pada gilirannya menjadi pendorong kemajuan dan kemuliaan kebudayaan dan peradaban yang bermutu tinggi bagi generasi-generasi penerus budaya.

1. 3. Pesona Budaya Jawa Tengah
Hasil cipta budaya dan peradaban masyarakat Jawa Tengah pada masa lalu terbukti telah dirawat dan dikembangkan dalam berbagai implementasi dan ekspresi baik yang tangible maupun yang intangible oleh masyarakat Jawa Tengah moderen hingga pada hari ini. Begitu banyak hasil cipta budaya dan peradaban masyarakat Jawa Tengah yang berasal dari masa lalu maupun yang diciptakan hingga sekarang yang begitu mempesona, indah, menawan, menarik, khas, unik, penting dan istimewa.
Kenyataan kultural demikian kiranya sangat perlu mendapat perhatian kita sekalian, tidak hanya masyarakat dan pemerintah Jawa Tengah saja, melainkan juga masyarakat Indonesia dan dunia. Karena budaya dan peradaban Jawa Tengah yang mempesona dan bermutu kiranya bukan hanya milik masyarakat dan pemerintah Jawa Tengah, melainkan buah-buah dari pohon-pohon kebudayaan yang disajikan tidak hanya bagi masyarakat Jawa Tengah, melainkan kepada manusia Indonesia dan ummat manusia.
Kecintaan dan rasa memiliki terhadap hasil karsa dan cipta manusia Jawa Tengah yang pada gilirannya menumbuhkan dan mengembangkan patriotisme, nasionalisme, jati diri bangsa dan martabat manusia, kiranya harus dipertahankan, dikembangkan dan ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan pendataan, inventarisasi, dokumentasi, deskripsi dan penyajian yang indah dan menarik dalam suatu kemasan. Citra dan jati diri yang berupa mozaik budaya Jawa Tengah kiranya layak disajikan dalam buku Pesona Budaya Jawa Tengah.

2. Tujuan dan Sasaran
(1) Menyajikan mozaik budaya Jawa Tengah untuk meningkatkan pengenalan, pemahaman, kepedulian dan kecintaan masyarakat Jawa Tengah dan para tamu, pengunjung luar daerah dan luar negeri, terhadap warisan budaya dan hasil cipta karya budaya masyarakat Jawa Tengah yang dirawat, dilestarikan, dimanfaatkan dan dikembangkan sampai sekarang.
(2) Menyajikan ragam budaya Jawa Tengah dalam buku Pesona Budaya Jawa Tengah yang berisi informasi tentang keunikan kawasan, warisan budaya dan peradaban, serta kekhasan budaya di Jawa Tengah dalam 3 (tiga) bahasa, yaitu bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.

3. Metode dan Kegiatan
Penyusunan buku Pesona Budaya Jawa Tengah akan memanfaatkan metode-metode dengan kegiatan-kegiatan dalam penelitian pustaka dan penelitian lapangan, untuk menghasilkan laporan akhir berupa sebuah buku setebal sekitar 140 halaman.
3. 1. Penelitian Pustaka
Penelitian pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi yang berupa dokumen gambar, foto, peta, disain dan deskripsinya yang sudah diterbitkan dan yang belum diterbitkan, dengan cara membeli, meminjam atau meminta, untuk dimanfaatkan dalam penyusunan buku ini.
Sumber-sumber data dan informasi dalam penelitian pustaka meliputi perpustakaan-perpustakaan, kantor-kantor, penerbitan-penerbitan dan media massa komunikasi, baik milik pemerintah maupun bukan-pemerintah, terutama di Jawa Tengah. Kemudian sumber-sumber juga akan dikumpulkan dari dokumen-dokumen pribadi dan situs/website/portal internet, serta sumber-sumber lain.
3. 2. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan akan memanfaatkan teknik-teknik observasi, wawancara dan rekaman audio dan visual, di lapangan yang dipilih berdasarkan kepentingannya.
Sampel akan ditentukan berdasarkan kepentingan, keunikan, kekhasan dan keistimewaan budaya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan wilayah dan daerah di Jawa Tengah.
3. 3. Tahapan Kegiatan Penelitian dan Pencetakan
(1)  Pengumpulan data dan informasi pustaka tentang ragam budaya, dengan kegiatan-kegiatan, sebagai berikut:
(a) studi pustaka, analisis dan pengolahan data dan informasi;
(b) diskusi pakar;
(c) pemilahan dan pemilihan ragam budaya yang hendak disajikan.
(2) Studi lapangan di kawasan, wilayah atau daerah di Kabupaten dan Kota, yang meliputi kegiatan-kegiatan:
(a) memilih dan menentukan lokasi dan jadual kunjungan;
(b) melakukan pengamatan dan perekaman;
(c) melakukan wawancara dan wawancara mendalam dengan narasumber.
(3) Analisis dan Penulisan Laporan
(a) melakukan kategorisasi dan klasifikasi data pustaka dan lapangan;
(b) menyusun draf laporan awal,
(c) menyelenggarakan pembahasan draf laporan dengan para pakar;
(d) menyusun laporan perbaikan dan laporan dalam bentuk buku;
(e) menyusun draf buku dalam 3 (tiga) bahasa: bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
(f) melakukan penyuntingan dalam 3 (tiga) bahasa: bahasa Jawa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris;
(4) Pencetakan buku Pesona Budaya Jawa Tengah
(a) melakukan review dan penyuntingan akhir isi buku;
(b) melakukan penyempurnaan desain sampul buku;
(c) melakukan penentuan format dan bentuk cetakan;
(d) melakukan pencetakan menjadi draf cetakan awal;
(e) melakukan proofdruk, review dan koreksi akhir cetakan;
(f) melakukan pencetakan final.
(5) Penyerahan buku: melakukan penyerahan buku sebagai laporan penelitian dan seluruh pekerjaan.

4. Contoh-contoh Gambar Buku Pesona Budaya Jawa Tengah (Lampiran 1)
5. Sistematika Buku
5. 1. Rencana Garis Besar
(1)   Halaman sampul: Sampul Luar dan Sampul Dalam
(2)   Halaman kata-kata bijak
(3)   Sambutan Gubernur Jawa Tengah
(4)   Para Pemimpin: Para Gubernur dan Ketua DPRD Jawa Tengah
(5)   Pendahuluan
(6)   Peta Tematik
(7)         Isi
(8)         Penutup
(9)   Daftar Pustaka
(10)     Ucapan Terima Kasih dan Tim Penyusun
(11)     Lampiran-lampiran.
5. 2. Rencana Isi: Lokasi dan Obyek
No
Lokasi
Obyek
Jml
I
Pesona Alam

1
Selo, Kab Boyolali
Ketep Pass

2
Kab Temanggung
Kledung Pass

3
Tawangmangu, Kab Karanganyar
Grojogan Sewu

4
Sukorejo, Kab Kendal
Curug Sewu

5
Kab Tegal
Guci

6
Kab Kebumen
Gua Petruk

7
Kep Karimunjawa, Kab Jepara
Kura-kura Resort

8
Kab Cilacap
Segara Anakan

9
Kab Banyumas
Baturraden

10
Kab Wonosobo
Dieng Plateau

11
Grabag, Kab Magelang
Kebun Kopi, Losari Plantation Resort

12
Randublatung, Kab Blora
Hutan Randublatung

13
Kabupaten Batang
Hutan Alas Roban

14
Kabupaten Grobogan
Bleduk Kuwu
14
II
Warisan Purbakala

1
Gedung Batu, Kota Semarang
Sam Poo Kong

2
Kadilangu, Kab Demak
Makam Sunan Kalijaga

3
Kab Sragen
Sangiran

4
Borobudur, Kab Magelang
Candi Borobudur

5
Mendut. Kab Magelang
Candi Mendut

6
Dsn Darum, Candi, Kab Semarang
Candi Gedongsongo

7
Karangpandan, Kab Karanganyar
Candi Sukuh

8
Dieng, Kab Banjarnegara
Candi Pandawa
8
III
Tempat Peribadatan


1
Kauman, Kota Semarang
Masjid Gede

2
Gajah Raya, Kota Semarang
Masjid Agung Jawa Tengah

3
Kab Demak
Masjid Agung Demak

4
Kab Kudus
Masjid Menara Kudus

5
Kota Lama. Kota Semarang
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) atau Gereja Blenduk

6
Marina, Kota Semarang
Vihara Agung

7
Watugong, Kota Semarang
Vihara Buddhagaya
7
IV
Pesona Kraton


1
Kota Sala
Kasunanan

2
Kota Sala
Pura Mangkunegaran
2
V
Komunitas dan Etnik

1
Pecinan, Kota Semarang
Pecinan

2
Kauman, Kota Semarang
Arab Kauman

3
Pasar Kliwon, Kota Sala
Kampung Arab

4
Kota Salatiga
International School
4
VI
Seni Tari dan Suara

1
Kraton, Kota Sala
Tari Bedoyo dan Srimpi

2
Rakyat, Kab Blora
Tayub

3
Rakyat, Kab Banyumas
Ronggeng

4
Kab Karanganyar
Campursari Didi Kempot

5
Kota Surakarta
Waljinah
5
VII
Seni Kriya dan Kerajinan

1
Kota Pekalongan
Batik Pekalongan

2
Kota Sala
Batik Sala

3
Kota Sala
Wayang Kulit dan Keris

4
Klampok, Kab Purbalingga
Keramik

5
Kab Jepara
Ukir-ukiran dan mebel

6
Kab Kudus
Rokok Kretek

7
Kab Kudus
Jenang Kudus

8
Juwana, Kab Pati
Kuningan

9
Kota Magelang
Getuk Trio

10
Sokaraja, Kab Banyumas
Getuk Goreng

11
Kab Brebes
Telur Asin

12
Kab Wonogiri
Jamu Seduh dan Jamu Gendong

13
Kab Karanganyar
Rumah Joglo Pedalaman

14
Kab Kudus
Rumah Joglo Pesisiran
14
VIII
Pasar

1
Kota Semarang
Pasar Johar

2
Kab Brebes
Pasar Desa

3
Desa Ngrengas, Ambarawa, Kab Semarang
Pasar Hewan, Pasar Pon
3
IX
Pesona Buah dan Bunga

1
Muntilan, Kab Magelang
Salak Nglumut

2
Borobudur, Kab Magelang
Ace Budur

3
Kab Demak
Blimbing Demak

4
Kab Jepara
Duren Petruk

5
Bandungan, Kab Semarang
Kebun Bunga
5
X
Rancang Bangun

1
Kab Boyolali
Waduk Kedung Ombo

2
Kab Wonogiri
Waduk Gajah Mungkur
2
XI
Gerbang

1
Kota Semarang
Pelabuhan Tanjung Mas

2
Kota Semarang
Bandar Udara A. Yani
2
XII
Energi Alam


1
Cepu, Kab Blora
Gas dan Minyak Bumi Blok Cepu
1
XIII
Pahlawan


1
Rumah Residen/Bakorlin Magelang
P. Diponegoro (dg van De Cock)
1
XIV
Pujangga dan Filsuf

1
Kota Sala
R. Ng. Ronggowarsito

2
Kab. Kudus
R. M. Panji Sosrokartono
2
XV
Legenda dan Pejuang Wanita

1
Keling, Kab Jepara
Ratu Sima

2
Pertapaan Sonder. Kab Jepara
Ratu Kalinyamat

3
Kab Rembang
R. A. Kartini
3
XVI
Mitos

1
Jawa Tengah
Semar, Sang Pamomong
1
XVII
Gunung

1
Pos Pengamatan Selo, Kab Boyolali
Gunung Merapi

2
Kota Magelang
Gunung Tidar
2
Jumlah Lokasi dan Obyek
75

6. Jadual Kegiatan
No
Minggu ke
Kegiatan
01
1
Rapat persiapan peneliti
02
2
Pembagian kerja peneliti
03
3
Pengumpulan data pustaka
04
4
Pengumpulan data pustaka dan diskusi pakar 1
05
5
Pengumpulan data di lapangan
06
6
Pengumpulan data di lapangan
07
7
Pengumpulan data di lapangan dan diskusi pakar 2
08
8
Klasifikasi dan analisis data
09
9
Analisis data
10
10
Penyusunan laporan penelitian
11
11
Penyusunan dan pencetakan buku
12
12
Penyerahan buku (awal Juli 206)

7. Rencana Anggaran dan Belanja (RAB)
1. Biaya Pakar, Tenaga Teknis dan Staf
No.

Jabatan
Satuan
Biaya Satuan
(Rp)
Total
(Rp)
1. 1
Pakar




1
Ketua
3
Bulan
4.000.000
12.000.000
2
Sekretaris 1
3
Bulan
3.000.000
9.000.000
3
Sekretaris 2
3
Bulan
2.500.000
7.500.000
4
Anggota 1
3
Bulan
2.000.000
6.000.000
5
Anggota 2
3
Bulan
2.000.000
6.000.000
6
Anggota 3
3
Bulan
2.000.000
6.000.000
7
Ahli Bahasa/Terjemahan
2
Bulan
1.500.000
3.000.000
1. 2
Tenaga Teknis




8
Pengumpul data
15
Orang
5.000.000
75.000.000
1. 3
Staf




9
Administrasi dan Perkantoran
3
Orang
3.000.000
9.000.000
Subtotal 1
143.500.000
2. Biaya Penelitian
No
Kegiatan
Satuan
Biaya Satuan (Rp)
Total
(Rp)
1
Rapat persiapan peneliti 5x
7
Orang
200.000
7.000.000
2
Rapat Pembagian kerja peneliti 2x
7
Orang
200.000
2.800.000
3
Pengumpulan data pustaka
6
Orang
3.000.000
18.000.000

Diskusi pakar 1
1
Sidang
5.000.000
5.000.000
5
Pengumpulan data di lapangan
75
Obyek
500.000
37.500.000
6
Diskusi pakar 2
1
Sidang
5.000.000
5.000.000
7
Klasifikasi data
1
Paket
15.000.000
15.000.000
8
Analisis data
1
Paket
20.000.000
10.000.000
9
Penyusunan laporan
1
Paket
25.000.000
25.000.000
10
Penyusunan buku
1
Paket
25.000.000
25.000.000

1. Biaya Terjemahan
(a) Indonesia-Jawa
140
Hal
30.000
4.200.000
(b) Indonesia-Inggris
140
Hal
30.000
4.200.000
2. Biaya Penyuntingan
(a) Indonesia-Jawa
140
Hal
30.000
4.200.000
(b) Indonesia-Inggris
140
Hal
30.000
4.200.000
Subtotal 2
167.100.000
3. Biaya Bahan Produksi

No.
Kegiatan
Satuan
Harga Satuan
(Rp)
Total
(Rp)

1
Pengadaan Kertas HVS Kuarto 80 gr
20
Rim
30.000
600.000
2
Pengadaan Cartridge Printer Colour
5
Unit
160.000
800.000
3
Pengadaan Cartridge Printer BW
5
Unit
70.000
300.000
4
Pengadaan transparency Fullmark A4
5
Pak
120.000
600.000
5
Alat tulis
1
Paket
2.000.000
2.000.000
6
Fotokopi
1
Paket
5.000.000
5.000.000
7
Sewa Kamera Foto
15
Unit
500.000
7.500.000
8
Sewa Desk Computer
3
Unit
2.000.000
6.000.000
Subtotal 3
22.800.000
4. Biaya Produksi
No
Kegiatan
Satuan
Harga Satuan (Rp)
Total
(Rp)
1
Desain dan Tata Letak
140
Hal
100.000
14.000.000
2
Proofing
140
Hal
40.000
5.600.000
3
Pemotretan dan Pencetakan Film Full Colour
140
Hal
100.000
14.000.000

Pembuatan Plate Full Colour
140
Hal
40.000
5.600.000
5
Pencetakan Film Full Colour
140
Hal
100.000
14.000.000
6
Pengadaan Kertas

(a) Fancy Paper (Cover + Tempat)
1250
Buku
20.000
25.000.000
(b) Art Paper 150 gram (Isi Buku)
1250
Buku
30.000
37.500.000
7
Laminasi
1250
Buku
10.000
12.500.000
8
Penjilidan
1250
Buku
10.000
12.500.000
Subtotal 4
140.700.000
Total: 1 + 2 + 3 + 4
474.100.000

Empat ratus tujuh puluh empat juta seratus ribu rupiah


8. Peneliti dan Penyusun
Ketua                                : (1) Prof. Dr. Nurdien H. Kistanto, M. A.
Sekretaris                         : (2) Drs. Yudiono KS, S. U.
                                          : (3) Dra. Dyah W. Dewi Tunjung, M. I. S.
Anggota                            : (4)  Ir. Totok Roesmanto, M. Eng.
                                             (5) Lapon Tukan Leonardus, S. H., M. A.
                                             (6) Ir. Adji Nugroho, M. S. R.,
Ahli Bahasa/Penerjemah: (7) Dr. I. M. Hendrarti, M. A.
Ahli Fotografi                  :  (8) Drs. Ganug Nugroho Adi
  
9. Daftar Pustaka

1)  Geertz, Clifford. 1960. 1976. The Religion of Java. Chicago and London: The University of Chicago Press.
2)  ________. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
3)  ________. 1983. Local KnowledgeFurther Essays in Interpretive Anthropology. New York: Basic Books.
4)  ________. 1995. After the Fact – Two Countries, Four Decades, One Anthropologist. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
5)  Giddens, Anthony. 1989. 1991. Sociology. Cambridge, UK: Polity Press.
6)  Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: HarperCollins.
7)  Koentjaraningrat (Redaksi). 1971. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
8)  ________. 1974. 1984a. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
9)  ________. 1984b. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
10)  Melalatoa, M. Junus (Penyunting). 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: FISIP UI dengan PT Pamator.
11)  Mulder, Niels. 1989. Individual and Society in Java – A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
12)  Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java”. Ithaca and London: Cornell University Press.
13)  Peursen, C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia; Yogyakarta: Kanisius.
14)  Quilici, Folco. 1972. 1975. Primitive Societies. London: Collins. New York: Franklin Watts.
15)  White, Leslie A. with Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture. Minneapolis, Minnesota: Burgess.

Lampiran-lampiran
Lampiran 1: Contoh-contoh Gambar