Kamis, 14 Januari 2010

Mudik Multi Makna

Sebuah situs yang dikembangkan oleh indo.com 2009 memuat tulisan berjudul “Mudik and Lebaran Inseparable” (Mudik dan Lebaran Tak Terpisahkan) berbunyi demikian:
“A unique phenomenon occurs every year in Indonesia, one which is culturally so sacred to Muslims that no one wants to miss the moment. After fasting for the whole month in Ramadhan, there is a big gift for every Muslim. Lebaran is that white gift, and the day when all Muslims forgive each others' faults.
One of the celebrations of Lebaran is Mudik. In order to reunite with parents and families, millions of migrants from big cities like Jakarta make long queues for train and bus tickets, jump into any overloaded transportation vehicles they can find and get stuck for hours in traffic jams. For them, all the pain and inconvenience is nothing but a small hazard of the home-sweet-home journey. In fact, the journey itself is often an interesting story to tell to the families back home.”
Sebenarnya mudik bukanlah sekedar fenomena melainkan tradisi tahunan yang kokoh tertanam dalam siklus hidup masyarakat Indonesia yang dilakukan oleh orang Indonesia sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu setiap menjelang lebaran, ‘Iedul Fitri sesudah Ramadhan pada awal bulan Syawal, saat kaum Muslim saling meminta dan memberi maaf.
Tradisi ini terus dijalankan orang Indonesia tiap tahun dan makin lama cenderung mendapat dukungan makin meluas dari berbagai pihak, seperti pemerintah dan pengusaha. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, misalnya, menambah persediaan bis angkutan lebaran bagi pemudik sektor informal dari Jakarta ke Jawa Tengah dari 50 bis pada lebaran 2008 menjadi 120 bis pada 2009 ini – sebuah peningkatan 140%!
Para pengusaha memanfaatkan momentum mudik melalui program-program Corporate Social Responsibility (CSR) dan promosi usaha dengan menyediakan angkutan lebaran bagi para pemudik dari Jakarta ke berbagai daerah tujuan mudik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar