Rabu, 13 Januari 2010

Budaya Akademik



Survei mengenai Kehidupan & Kegiatan Akademik
di Sepuluh PTN di Indonesia


Pada hemat kami, Budaya Akademik dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik, di lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian.
Kehidupan dan kegiatan akademik diharapkan selalu berkembang, bergerak maju bersama dinamika perubahan dan pembaharuan sesuai tuntutan zaman.
Perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan dan kegiatan akademik menuju kondisi yang ideal senantiasa menjadi harapan dan dambaan setiap insan yang mengabdikan dan mengaktualisasikan diri melalui dunia pendidikan tinggi dan penelitian, terutama mereka yang menggenggam idealisme dan gagasan tentang kemajuan. Perubahan dan pembaharuan ini hanya dapat terjadi apabila digerakkan dan didukung oleh pihak-pihak yang saling terkait, memiliki komitmen dan rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap perkembangan dan kemajuan budaya akademik.

I. Konsep dan Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik
Dalam situasi yang sarat idealisme, rumusan konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik yang disepakati oleh sebagian besar (167/76,2%) responden adalah
            “Budaya atau sikap hidup yang selalu mencari kebenaran ilmiah melalui kegiatan akademik dalam masyarakat akademik, yang mengembangkan kebebasan berpikir, keterbukaan, pikiran kritis-analitis; rasional dan obyektif oleh warga masyarakat akademik” (Kistanto, et. al. 2000: 80).
            Konsep dan pengertian tentang Budaya Akademik tersebut didukung perumusan karakteristik perkembangannya yang disebut “Ciri-Ciri Perkembangan Budaya Akademik” oleh 176 (80,4%) responden yang meliputi berkembangnya
(1)    penghargaan terhadap pendapat orang lain secara obyektif;
(2)    pemikiran rasional dan kritis-analitis dengan tanggungjawab moral;
(3)    kebiasaan membaca;
(4)    penambahan ilmu dan wawasan;
(5)    kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat;
(6)    penulisan artikel, makalah, buku;
(7)    diskusi ilmiah;
(8)    proses belajar-mengajar, dan
(9)    manajemen perguruan tinggi yang baik
(Kistanto, et. al. 2000: 83).

Rumusan tentang Budaya Akademik dapat dikatakan sebagai landasan dasar bagi “totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik,” sedangkan “ciri-ciri perkembangannya” merupakan sikap, tingkahlaku dan kegiatan-kegiatan konkrit praktis yang merupakan isi material dari ideal budaya akademik yang hendak diwujudkan. Oleh sebab itu, tanpa sikap “menghargai pendapat orang lain secara obyektif,” tanpa “pemikiran rasional dan kritis-analitis” yang disertai “tanggungjawab moral,” dapat dikatakan bahwa Budaya Akademik - sebagai totalitas nilai yang tinggi dalam kehidupan dan kegiatan akademik – mengalami kegagalan atau bahkan kehancuran.
Kondisi yang dicita-citakan tersebut harus dibangun melalui kebiasaan membaca; menambah ilmu dan wawasan; kebiasaan meneliti dan mengabdi kepada masyarakat; dengan pengembangan penulisan artikel, makalah, buku; diskusi ilmiah; proses belajar-mengajar; dan manajemen perguruan tinggi yang baik, misalnya participatory management.
Apabila sikap dan tingkahlaku demikian belum tercermin dalam kehidupan dan kegiatan akademik di lembaga akademik, maka perubahan dan pembaharuan harus segera dilakukan, antara lain dengan penerapan sistem reward and punishment terhadap warga masyarakat akademik sebagai penggerak, pelaku dan pendukung budaya akademik.

II. Tradisi Akademik, Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik dan Otonomi Keilmuan

II. 1. Tradisi Akademik
Pemahaman mayoritas responden (163/74,4%) mengenai Tradisi Akademik adalah
Tradisi yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat akademik dengan menjalankan proses belajar-mengajar antara dosen dan mahasiswa; menyelenggarakan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, serta mengembangkan cara-cara berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif di lingkungan akademik” (Kistanto, et. al. 2000: 85).
Tradisi menyelenggarakan proses belajar-mengajar antara guru dan murid, antara pandito dan cantrik, antara kiai dan santri sudah mengakar sejak ratusan tahun yang lalu, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti padepokan dan pesantren. Akan tetapi tradisi-tradisi lain seperti menyelenggarakan penelitian adalah tradisi baru. Demikian pula, tradisi berpikir kritis-analitis, rasional dan inovatif adalah kemewahan yang tidak terjangkau tanpa terjadinya perubahan dan pembaharuan sikap mental dan tingkah laku yang harus terus-menerus diinternalisasikan dan disosialisasikan dengan menggerus sikap mental paternalistik dan ewuh-pakewuh yang berlebih-lebihan pada sebagian masyarakat akademik yang mengidap tradisi lapuk, terutama dalam paradigma patron-client relationship yang mendarah-daging.

II. 2. Kebebasan Akademik
Pengertian tentang “Kebebasan Akademik” yang dipilih oleh 144 orang (65,7%) responden adalah
Kebebasan yang dimiliki oleh pribadi-pribadi anggota sivitas akademika (mahasiswa dan dosen) untuk bertanggungjawab dan mandiri yang berkaitan dengan upaya penguasaan dan pengembangan Iptek dan seni yang mendukung pembangunan nasional. Kebebasan akademik meliputi kebebasan menulis, meneliti, menghasilkan karya keilmuan, menyampaikan pendapat, pikiran, gagasan sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni, dalam kerangka akademis (Kistanto, et. al., 2000: 86).
“Kebebasan Akademik” berurat-berakar mengiringi tradisi intelektual masyarakat akademik – tetapi kehidupan dan kebijakan politik acapkali mempengaruhi dinamika dan perkembangannya. Dalam rezim pemerintahan yang otoriter, kiranya kebebasan akademik akan sulit berkembang. Dalam kepustakaan internasional kebebasan akademik dipandang sebagai inti dari budaya akademik dan berkaitan dengan kebebasan berpendapat (lihat CODESRIA 1996, Forum 1994, Daedalus Winter 1997, Poch 1993, Watch 1998, Worgul 1992).
Dalam masyarakat akademik di Indonesia, kebebasan akademik yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat telah mengalami penderitaan yang panjang, selama puluhan tahun diwarnai oleh pelarangan dan pembatasan kegiatan akademik di era pemerintahan Suharto (lihat Watch 1998). Kini kebebasan akademik telah berkembang seiring terjadinya pergeseran pemerintahan dari Suharto kepada Habibie, dan makin berkembang begitu bebas pada pemerintahan Abdurrahman Wahid, bahkan hampir tak terbatas dan “tak bertanggungjawab,” sampai pada pemerintahan Megawati, yang makin sulit mengendalikan perkembangan kebebasan berpendapat.
Selain itu, kebebasan akademik kadangkala juga berkaitan dengan sikap-sikap dalam kehidupan beragama yang pada era dan pandangan keagamaan tertentu menimbulkan hambatan dalam perkembangan kebebasan akademik, khususnya kebebasan berpendapat.
Dapat dikatakan bahwa kebebasan akademik suatu masyarakat-bangsa sangat tergantung dan berkaitan dengan situasi politik dan pemerintahan yang dikembangkan oleh para penguasa. Pelarangan dan pembatasan kehidupan dan kegiatan akademik yang menghambat perkembangan kebebasan akademik pada lazimnya meliputi
(1)    penerbitan buku tertentu;
(2)    pengembangan studi tentang ideologi tertentu; dan
(3)    pengembangan kegiatan kampus, terutama demonstrasi dan diskusi yang bertentangan dengan ideologi dan kebijakan pemerintah atau negara.

II. 3. Kebebasan Mimbar Akademik
Secara spesifik “Kebebasan Mimbar Akademik” dipahami oleh sebagian besar (146 atau 66,7%) responden sebagai
Kebebasan mengemukakan pendapat, hasil penelitian, dan pemikiran ilmiah, dalam forum ilmiah yang bertanggungjawab sesuai norma-norma dan kaidah-kaidah akademik.
(Kistanto, et. al., 2000: 88).
Namun, dalam memanfaatkan “Kebebasan Mimbar Akademik” sementara masyarakat akademik masih kurang mempertimbangkan etika dan sopan santun atau fatsoen akademik. Penyampaian hasil penelitian, pemikiran dan pendapat ilmiah, beserta tanggapan dan kritik terhadapnya, masih diwarnai oleh emosi yang tidak terkendali, dalam bentuk penyerangan, bahkan pembantaian, yang tidak proporsional dan kurang konstruktif. Oleh sebab itu, haruslah diingatkan kembali bahwa masyarakat akademik adalah bagian dari masyarakat-bangsa yang berperadaban dan berbudaya, yang menjunjung nilai-nilai sopan-santun, etika dan keramah-tamahan dalam pergaulan.

II.    4. Otonomi Keilmuan
Dalam PP No. 30 Th. 1990 terdapat konsep mengenai “Otonomi Keilmuan” yang disebut “merupakan pedoman bagi perguruan tinggi dan sivitas akademika dalam penguasaan dan pengembangan IPTEK dan seni.” PP tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai “Otonomi Keilmuan” tetapi memberikan arahan yang penjabarannya tampaknya diserahkan kepada PT masing-masing, antara lain:
(1). Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan berpedoman pada norma dan kaidah keilmuan, diarahkan untuk memantapkan terwujudnya penguasaan, pengembangan IPTEK dan seni;
(2). Senat perguruan tinggi berkewajiban merumuskan peraturan pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan perwujudan otonomi keilmuan dalam kerangka pemantapan terwujudnya penguasaan, pengembangan IPTEK, seni, dan pembangunan nasional.
Empat pilihan jawaban yang diajukan dalam butir kuesioner tentang “Otonomi Keilmuan” tidak secara eksplisit memungut dari PP No. 30/Th. 1990, melainkan lebih dari hasil survei pendahuluan yang dilaksanakan sebelumnya pada tingkat lokal (Kistanto, 1997), yang berbunyi sebagai berikut:
A.           Kewenangan bagi perguruan tinggi untuk merumuskan pelaksanaan pengembangan kegiatan-kegiatan akademik di kampus masing-masing.
B.            Otonomi lembaga-lembaga keilmuan (perguruan tinggi) untuk menggali, menemukan dan mengembangkan IPTEKS.
C.        Otonomi pengembangan keilmuan yang dimiliki dosen dan mahasiswa sesuai kaidah-kaidah dan norma-norma keilmuan.
D.           Lainnya, sebutkan:
Secara keseluruhan, selisih antara responden yang memilih jawaban A (38 orang atau 17,3%) dan jawaban B (59 orang atau 26,9%) tidak terlalu mencolok, tanpa seorang responden di UNDIP memilih jawaban A. Sebagian besar pemilih jawaban A terdapat di UNCEN (45,4%) sedangkan jawaban B di UNLAM (54,5%). Tanpa seorang responden pun memilih jawaban D, para pemilih jawaban C berjumlah terbesar (122 orang atau 55,7%) dan tersebar di semua PTN yang dipelajari, dengan proporsi tertinggi di USU (80%), UNDIP (70,8%) dan UNPAD (68,2%) (Tabel 24), sehingga rumusan favorit tentang “Otonomi Keilmuan” berbunyi:
Otonomi pengembangan keilmuan yang dimiliki dosen dan mahasiswa sesuai kaidah-kaidah dan norma-norma keilmuan.

III.       Apakah Budaya Akademik Sudah Berjalan?
Menjadi persoalan penting dalam penelitian ini dan implementasinya adalah, apakah konsep, pernyataan, rumusan, pengertian dan pendapat yang disampaikan secara kontemplatif dan merupakan harapan tidak hanya bagi para responden, melainkan kita sekalian, telah berjalan dan berkembang di lingkungan masing-masing kehidupan akademik, terutama dalam masyarakat akademik di kampus-kampus PTN?
Persoalan tersebut diangkat dan disampaikan antara lain untuk memahami perbandingan, dan merupakan usaha untuk mempertemukan, antara harapan (das sollen) dan kenyataan (das sein) dalam kehidupan akademik, terutama di PTN. Namun demikian, harus disadari bahwa pilihan pernyataan para responden dari berbagai kampus PTN dan lingkungan kehidupan akademik yang bermacam-macam tentang praktek budaya akademik sangat berkaitan dengan pengalaman, persepsi dan tuntutan yang kadangkala bersifat pribadi dan secara akademik mempribadi.
Cukup memprihatinkan menemukan hasil penelitian, bahwa secara keseluruhan, lebih dari separoh responden (119 orang atau 54,3%) memilih jawaban bahwa Budaya Akademik “Belum” berjalan di lingkungan akademiknya. Jawaban tersebut secara proporsional terutama datang dari kampus UI (80%), UNUD (80%), dan UNDIP (58,3%). Kurang dari separoh dari semua responden (94 orang atau 42,9%) menyatakan bahwa Budaya Akademik “Sudah” berjalan di lingkungan akademiknya, dengan pemilih terbanyak dari UNPAD (72,7%), UGM (63%) dan UNAIR (55%) (Tabel 25a).
Pada umumnya, meskipun tak diperinci secara kuantitatif dalam laporan ini, yang menjawab “Sudah” menambahkan alasan bahwa mereka sudah melaksanakan pengajaran (pbm), penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat; di antaranya juga mengaku karena melakukan diskusi di forum ilmiah, menulis artikel dan berinteraksi dengan mahasiswa secara demokratis dan terbuka tentang masalah akademik dan ilmiah.
Lebih menarik adalah menyelidiki penyebab “Belum” berjalannya Budaya Akademik. Kepada responden diajukan 8 (delapan) pilihan jawaban tentang penyebab “belum” berjalannya Budaya Akademik di lingkungan akademik mereka masing-masing yang boleh mereka pilih lebih dari satu jawaban. Penyebab tersebut adalah:
A.    Terhambat budaya kolonial dan feodal;
B.     Terhambat budaya otoritarian dan birokratis;
C.     Masih terlalu banyak kegiatan upacara/seremonial;
D.    Fasilitas dan sarana-prasarana serta dana kurang mendukung;
E.     Dosen dan mahasiswa belum menghayati kehidupan akademik;
F.      Dosen dan mahasiswa belum terbiasa berpikir ilmiah akademik;
G.    Perguruan Tinggi lebih banyak digunakan untuk mencari keuntungan (profit);
H.    Lainnya, sebutkan:
Semua penyebab belum berjalannya Budaya Akademik (A-H) dipilih oleh responden dengan jumlah dan proporsi yang sangat bervariasi antar responden di PTN secara keseluruhan; tapi penyebab yang mendapat angka pilihan tertinggi adalah D (Fasilitas dan sarana-prasarana serta dana kurang mendukung) (118 orang atau 53,9%), diikuti oleh penyebab E (Dosen dan mahasiswa belum menghayati kehidupan akademik) (97 orang atau 44,3%) dan berikutnya penyebab F (Dosen dan mahasiswa belum terbiasa berpikir ilmiah akademik) (78 orang atau 35,6%) dan penyebab B (Terhambat budaya otoritarian dan birokratis) (76 orang atau 34,7%). Penyebab yang ditawarkan dan paling sedikit ditunjuk adalah G (Perguruan tinggi lebih banyak digunakan untuk mencari keuntungan) (21 orang atau 9,6%), yang tak diminati sama sekali oleh responden di UNUD dan UNHAS; selain itu juga penyebab H yang mereka isi sendiri (15 orang atau 6,8%) dan tidak diminati sama sekali oleh responden di UGM (Tabel 25b).
Fasilitas dan sarana-prasarana serta dana kurang mendukung” perjalanan dan perkembangan Budaya Akademik merupakan kesimpulan yang telah sering disampaikan berbagai pihak terutama pengamat pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Indonesia.
Penyebab-penyebab lain yang sempat dijaring melalui jawaban H (Lainnya, sebutkan:) antara lain seperti berikut ini.
Dari UNAIR:
(1) Senior kikir ilmu;
(2) Terlalu rendahnya gaji.
Dari UI:
(1) (Dosen/Guru Besar) sibuk mencari nafkah di luar PT tempat bekerja.
Dari UNPAD
(1) Corak hubungan senior-yunior yang kurang kolegial;
(2) Khususnya kendala birokrasi & politik di kampus.
(3) Dosen belum punya visi yang cukup dan kurangnya penghargaan (reward).
Dari UNDIP
(1) Dosen banyak terlibat dalam urusan administrasi.
Dari UNUD
(1) Literatur, buku, jurnal, kesempatan beasiswa kurang.
Dari USU
(1) Pimpinan PT tidak menghargai mereka yang tekun dalam kegiatan akademis; penyerobotan bidang-bidang keilmuan; KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme);
(2) Adanya sikap lebih menghargai predikat (ijazah, sertifikat) daripada kompetensi ilmu seseorang di masyarakat.
Dari UNLAM
(1) Sikap mental & tanggungjawab karyawan kurang mendukung.
Dari UNHAS
(1) Biaya beli barang/peralatan dari honorarium membuat makalah, tulisan ilmiah;
(2) Tingkat penghasilan yang belum memadai;
(3) Intervensi politisi.
            Dari UNCEN
            (1) Lingkungan sosial budaya setempat (kurang mendukung).
Kiranya perlu ditambahkan, pada saat laporan ini ditulis, tengah marak dibicarakan masalah penghapusan Dana Operasi Pendidikan (DOP) dan salah satu korban penting jika rencana itu dilaksanakan adalah institusi pendidikan tinggi, terutama perguruan tinggi yang kegiatan dan kehidupan akademiknya mengandalkan DOP. Selain itu, pada kondisi demikian pula, kampus-kampus PTN besar di Indonesia seperti UI dan UGM tengah menyiapkan diri untuk menghadapi dan melaksanakan Otonomi Perguruan Tinggi (OPT).
Penyebab-penyebab yang ditemukan dari hasil survei ini kiranya merupakan kenyataan sosial akademik yang sangat layak menjadi bahan pertimbangan para penentu kebijakan pendanaan operasi pendidikan tinggi di Indonesia. Perlu menjadi bahan pertimbangan pula faktor-faktor pendukung dan pendorong perkembangan Budaya Akademik, serta faktor-faktor yang perlu direformasi, seperti yang disampaikan berikut ini.

III. 1. Faktor-Faktor Pendukung dan Pendorong
Kepada para responden ditanyakan tentang faktor-faktor apa saja yang sekiranya mendukung dan mendorong perkembangan budaya akademik di lingkungan PTN mereka masing-masing. Mereka diberi 6 (enam) pilihan jawaban tentang faktor-faktor pendukung dan pendorong perkembangan Budaya Akademik, yang boleh dipilih lebih dari satu, yakni:
A. Sikap mental dan tanggungjawab dosen dan mahasiswa dalam mengembangkan budaya akademik melalui proses belajar-mengajar;
B. Sikap mental dan tanggungjawab pimpinan dalam mengembangkan budaya akademik melalui penyelenggaraan aktivitas tri-dharma perguruan tinggi;
C. Sikap mental dan tanggungjawab karyawan dan staf administrasi dalam mengembangkan budaya akademik melalui pelayanan kegiatan akademik;
D. Kecukupan dana, fasilitas, sarana dan prasarana untuk mengembangkan budaya akademik melalui kegiatan tri-dharma perguruan tinggi;
E.            Lingkungan sosial-budaya masyarakat untuk mengembangkan
budaya akademik;
            F. Lainnya.
Secara keseluruhan, sebagian terbesar responden menunjuk faktor A (sikap mental dan tanggungjawab dosen dan mahasiswa) (204 atau 93,2%) sebagai faktor yang mendukung dan mendorong perkembangan budaya akademik melalui proses belajar-mengajar, diikuti faktor B (sikap mental dan tanggungjawab pimpinan) (81,3%) dan faktor D (kecukupan dana, fasilitas, sarana dan prasarana) (Tabel 26).
            Faktor A disebut di semua PTN dengan proporsi tertinggi, diikuti faktor B, dengan proporsi sedikit lebih rendah. Tetapi semua faktor disebut oleh responden dengan proporsi di atas separoh, termasuk faktor C, mental dan tanggungjawab karyawan dan staf administrasi yang bertugas melayani kegiatan akademik. Faktor-faktor lainnya (F) tidak dianalisis secara detil, hanya catatan bahwa tak satu pun responden di UNAIR dan UNCEN mengusulkannya. Dengan demikian, sikap dan mental dosen dan mahasiswa menjadi favorit perhatian sebagai pendukung/pendorong Budaya Akademik.

III. 2. Faktor-Faktor yang Perlu Direformasi
Tidak sejalan dengan persoalan tentang faktor-faktor pendukung dan pendorong Budaya Akademik, faktor-faktor yang perlu direformasi mendapat tanggapan yang berbeda dari para responden. Kepada responden diberikan 6 (enam) pilihan faktor-faktor yang perlu direformasi untuk perkembangan Budaya Akademik, yang sama dengan faktor-faktor pendukung dan pendorong perkembangan Budaya Akademik. Tetapi menurut mereka, faktor-faktor terpenting yang perlu direformasi agar perkembangan Budaya Akademik meningkat adalah faktor D (penyediaan dana, fasilitas, sarana dan prasarana yang memadai) (dipilih oleh 158 orang atau 72,1%), beserta faktor-faktor A (157 orang atau 71,7%) dan B (150 orang atau 68,5%), yang diikuti faktor-faktor C (109 orang atau 49,8%) dan E (95 orang atau 43,4%).
Seorang responden yang menunjuk faktor E dari UNUD, Denpasar, bahkan memberi contoh tentang lingkungan sosial-budaya masyarakat-nya: “Di daerah Bali penghargaan akademik masih kurang, karena Bali daerah wisata, khususnya Badung dan Kodya Denpasar yang masyarakatnya cenderung menghargai material lebih besar daripada ilmu. Manfaat ‘ilmu’ untuk jangka panjang perlu dimasyarakatkan.”

Responden lain dari UNHAS, Makassar mengungkapkan:
“Budaya di sini kurang bermotivasi untuk mengembangkan kegiatan ilmiah, kesadaran akademik kurang (dibandingkan pengalaman ketika belajar di Bandung dan Yogyakarta). Budaya siri’ tidak terkait budaya akademik karena budaya siri’ lebih mengarah pada yang negatif, misalnya solidaritas mahasiswa tinggi untuk membela teman-temannya yang berkelahi atau dihina tanpa lebih dahulu menelusuri sebab-sebabnya. Pernah terjadi perkelahian antar kelompok teman, antar jurusan, antar fakultas pada 1997, 98, 99, sampai ada yang dipecat gara-gara perkelahian antar kelompok.”

Pernyataan responden di UNHAS tersebut juga dia maksudkan untuk melengkapi jawaban tentang faktor-faktor yang mendukung dan mendorong perkembangan budaya akademik, dengan pilihan E (tentang lingkungan sosial-budaya masyarakat).
Dengan demikian, semua faktor yang diajukan, menurut mereka, perlu direformasi. Sebagian responden (20 orang atau 9,1%) hampir di semua PTN yang dipelajari, kecuali di UI, bahkan menambahkan dengan faktor F (Tabel 27), yang perlu direformasi, meliputi:
Dari UNAIR:
(1) Yang terpenting adalah sikap mental masing-masing individu yang harus diperbaiki terlebih dahulu.
            Dari UNPAD:
(1)    Gaji/penghasilan tetap dosen;
(2)    Kemampuan manajerial para dosen yang diangkat menduduki jabatan struktural;
(3)    Kemauan politik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam pengembangan nilai-nilai akademik yang lebih terarah dan terpola dengan sistem yang baik;
(4)    Pemilihan usulan penelitian yang berhak didanai hendaknya dilaksanakan secara terbuka dan fair (terutama yang dicalonkan oleh Dikti).
            Dari UNDIP:
(1)    Pekerjaan-pekerjaan dosen yang lebih banyak pada urusan administrasi;
(2)    Tidak perlu lagi direformasi sebab kondisinya memang sudah tercipta sesuai dengan lingkungan akademis;
(3)    Sikap mental para penguasa di luar PT yang belum mau menerima kritik/hasil-hasil penelitian/pikiran reformatif  yang berlandaskan ilmiah.
            Dari UGM:
(1)        Tidak semua dosen, mahasiswa, maupun karyawan dan staf administrasi yang perlu direformasi;
(2)        Struktur kekuasaan.
            Dari UNUD:
(1)       Tingkat kesejahteraan, kesehatan, keamanan yang pasti, serta pemerataan hak dan kewajiban;
(2)       Sikap mental KKNK (Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Koncoisme) harus dihilangkan.
            Dari USU:
(1)      Segi moralitas/watak harus menjadi hal yang diperhatikan dan menentukan dalam setiap penerimaan (seleksi) dosen dan mahasiswa;
(2)      Media massa lokal agar turut terlibat mencerdaskan rakyat dan memberdayakan PT.
            Dari UNLAM:
(1)     Sistem kurikulum kependidikan yang tepat untuk masa kini, dan dipermudah bagi staf dosen untuk nunjang karier;
(2)     Peran serta pemerintah (yang mendukung dan mendorong);
(3)     Sistem pendidikan nasional yang tidak demokratis.
            Dari UNHAS:
(1)    Pandangan/penempatan pendidik seperti negara yang sudah maju;
(2)    Hal-hal eksternal, yang berhubungan dengan pengaturan aktivitas politik praktis dari para politisi di kampus.
            Dari UNCEN:
            (1) Sistem pembinaan mahasiswa dan dosen.

III. 3. Upaya-Upaya yang Sudah dan Belum Dilakukan
Semua upaya yang diajukan dalam 6 (enam) pilihan jawaban (ditambah ruang untuk lainnya) disebut oleh para responden sudah pernah dilakukan untuk pengembangan Budaya Akademik (Tabel 28). Tetapi ketika mereka ditanya tentang upaya-upaya yang belum dilakukan untuk pengembangan Budaya Akademik, sebagian di antara mereka juga menjawab dengan pilihan jawaban yang sama (Tabel 29) meskipun secara keseluruhan dengan angka dan proporsi yang berbeda.
            Enam pilihan + lainnya yang disediakan meliputi:
A.    Perbaikan sistem proses belajar-mengajar;
B.     Perbaikan sistem pengelolaan program-program dan pelaksanaan penelitian;
C.     Perbaikan sistem pengelolaan program-program dan pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat;
D.    Penyelenggaraan forum diskusi, seminar, lokakarya, dsb.;
E.     Peningkatan SDM dosen dengan melanjutkan studi ke jenjang S2 dan S3;
F.      Perbaikan fasilitas, dana dana sarana-prasarana;
G.    Lainnya.
Pada persoalan tentang “upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk pengembangan Budaya Akademik,” jawaban A menduduki ranking pilihan tertinggi (oleh 177 orang atau 80,8%), yang diikuti dengan pilihan E (oleh 174 orang atau 79,4%), kemudian D (oleh 140 orang atau 63,9%), B (oleh 137 orang atau 62,5%), dan F (oleh 111 orang atau 50,7%) (Tabel 28). Kalau angka-angka tersebut memang mencerminkan kecenderungan upaya-upaya yang sesungguhnya yang telah dilakukan di PTN-PTN yang bersangkutan, maka kecenderungan itu cukup menggembirakan, karena telah tumbuh dinamika perhatian dalam bentuk upaya-upaya melalui perbaikan-perbaikan, secara berurutan, dalam
(1)    sistem proses belajar-mengajar; kemudian
(2)    peningkatan SDM dosen;
(3)    penyelenggaraan forum diskusi ilmiah;
(4)    sistem pengelolaan penelitian; dan
(5)    fasilitas, dana, sarana-prasarana.
Namun demikian, dalam perbaikan sistem PBM, tampaknya kampus-kampus UGM (92,6%) dan UNHAS (90,1%) dirasakan oleh sebagian terbesar respondennya, diikuti oleh UNPAD (86,4%) dan UNDIP (83,3%); sedangkan dalam peningkatan SDM dosen yang terbanyak dirasakan oleh responden di UNHAS (90,1%) dan UI (90%), kemudian UNLAM (86,4%) dan UNAIR (85%). Para responden di UGM terbanyak (81,5%) merasakan perbaikan dalam penyelenggaraan forum diskusi ilmiah, diikuti responden di UI (75%), UNPAD (72,7%), UNAIR (70%) dan UNDIP (66,7%), sedangkan di UNCEN hanya separuh responden (50%) yang merasakan perbaikan tersebut. Pada saat yang sama, sebagian terbesar responden UGM (85,2%) pula yang merasakan perbaikan dalam pengelolaan penelitian, diikuti oleh para responden di UNPAD (77,3%), UNAIR (75%), UI (75%) dan UNDIP (75%); sementara para responden di UNLAM (45,4%), UNCEN (40,9%) dan USU (40%) merasa tertinggal dalam perbaikan pengelolaan penelitian tersebut. Sebaliknya, sebagian terbesar responden di UNUD (75%) merasakan terjadinya perbaikan dalam fasilitas, dana dan sarana-prasarana, diikuti oleh responden di UI (70%), UGM (66,7%), dan UNLAM (54,5%), pada saat hanya sebagian, atau separuh, dari para responden di UNDIP (37,5%), UNPAD (40,9%), UNHAS (40,9%) dan UNCEN (40,9%), serta UNAIR (50%), merasakan perbaikan fasilitas dan pendanaan (Tabel 28). Dari sini terlihat upaya-upaya perbaikan lebih sering dirasakan oleh para responden di UGM dan UI, diikuti UNAIR, UNDIP dan UNPAD, yang kesemuanya berada di Jawa, sedangkan para responden di UNHAS, UNUD, USU, UNLAM dan UNCEN merasa berada di belakangnya.
            Akan tetapi, ketika kepada responden diminta menyebutkan “upaya-upaya yang belum dilakukan untuk pengembangan Budaya Akademik,” sebagian besar responden di semua PTN yang dipelajari menunjuk pada pilihan F, yakni perbaikan fasilitas, dana, sarana-prasarana. Penunjukan tersebut diikuti dengan, secara berurutan, pilihan B, kemudian C, D, dan A. Sehingga dapat dikatakan, bahwa yang sangat mendesak diperbaiki adalah fasilitas, dana dan sarana-prasarana; sedangkan proses belajar-mengajar kurang mendapat perhatian tentang “belum diperbaikinya” (Tabel 29), karena dirasakan sudah dilakukan upaya-upaya perbaikan terhadap sistemnya, yakni kurikulum semesteran dengan sistem SKS yang dilaksanakan secara hampir serentak dan menyeluruh.

IV. Tergabung dalam Organisasi Profesi dan Organisasi Sosial/Politik/Intelektual
Yang dimaksud organisasi profesi adalah organisasi yang bergerak di bidang kepentingan sesama profesi, misalnya organisasi para sarjana ekonomi (ISEI), para ahli antropologi (AAI), masyarakat linguistik (MLI), sarjana sastra (HISKI), sarjana hukum (Persahi), dokter (IDI), sarjana perikanan (Ispikani), sarjana agronomi (Peragi), insinyur (PII), arsitek (IAI), dan sebagainya. Sedangkan organisasi sosial/politik/ intelektual adalah semacam NU, Muhammadiyah, Golkar, PDI-P, PKB, PPP, PAN, ICMI, dan lain-lain.
            Ada 2 (dua) pertanyaan terpisah yang diajukan kepada responden, yakni apakah responden tergabung dalam (1) organisasi profesi dan (2) organisasi sosial/politik/intelektual. Menjawab pertanyaan pertama, sebagian terbesar responden secara keseluruhan menjawab “Ya” (167 orang atau 76,3%), lebih dari seperlima menjawab “Tidak” (47 orang atau 21,4%) dan hanya sebagian sangat kecil tidak menjawab (5 atau 2,3%) (Tabel 30); sedangkan menjawab pertanyaan kedua, sebagian terbesar menjawab “Tidak” (121 orang atau 55,3%), lebih dari sepertiga menjawab “Ya” (82 orang atau 37,4%) dan sebagian kecil tidak menjawab (16 orang atau 7,3%) (Tabel 31). Dari temuan ini tampaknya sebagian besar responden lebih tertarik pada organisasi profesi masing-masing daripada organisasi sosial, politik, intelektual. Mereka lebih merasa at home dan akrab terhadap profesinya daripada pada lingkungan sosial lain yang belum tentu merasakan kepentingan profesional yang sama. Dari perspektif perkembangan Budaya Akademik, gejala demikian sudah tentu menggembirakan, karena dengan terlibat dalam gabungan profesional yang anggotanya terdiri atas para akademisi, kemungkinan untuk lebih memperhatikan perkembangan dan pengembangan Budaya Akademik beserta kegiatan-kegiatan akademiknya, seperti penelitian dan diskusi ilmiah, lebih terbuka.

V. Menerima Penghargaan Akademik, Keilmuan, Teknologi dan Kebudayaan
Hampir sepertiga dari seluruh responden (70 orang atau 32%) pernah menerima perhargaan, baik akademik, keilmuan, teknologi, maupun kebudayaan dan kesenian, pada tingkat lokal, regional dan nasional, seperti dosen teladan dan bentuk-bentuk penghargaan lain, baik dari pemerintah maupun non-pemerintah. Hampir 60% di antara responden mengaku belum pernah mendapatkan penghargaan akademik atau keilmuan atau teknologi dan kebudayaan, dan sayangnya, ada 18 orang responden (8,2%) yang tidak bersedia menjawab pertanyaan tanpa alasan yang jelas. Di antara yang pernah mendapat penghargaan, paling banyak diterima oleh responden di UGM (14 orang atau hampir 52%) dan UI (9 orang atau 45%), kemudian responden di UNPAD, UNLAM dan UNHAS (masing-masing 8 orang atau 36,4%); sedangkan yang paling sedikit pernah menerima adalah responden di UNCEN (2 orang atau 9,1%) dan UNUD (3 orang atau 15%) (Tabel 32). Pemberian penghargaan akademik, keilmuan, teknologi, kebudayaan dan kesenian tentulah dapat mendorong terciptanya kondisi yang apresiatif bagi Budaya Akademik. Semakin banyak penghargaan akademik diberikan, semakin terdorong kemajuan Budaya Akademik, karena para penggerak, pelaku, dan pendukung Budaya Akademik yang berprestasi akan semakin terpacu kreatifitas akademik, keilmuan dan kebudayaannya.

VI. Kebudayaan Membaca
Kebudayaan membaca dapat dikatakan sebagai nafas, atau bagian kegiatan terpenting, dari Budaya Akademik. Masyarakat akademik adalah masyarakat yang membaca dan menulis; masyarakat yang tidak membaca dan tidak menulis sangat sulit diharapkan dapat mengembangkan Budaya kebudayaan membaca. Kepada responden ditanyakan 4 (empat) persoalan yang saling berkaitan, yaitu apakah mereka
(1)    menghimpun perpustakaan/koleksi buku pribadi?
(2)    menyediakan anggaran untuk membeli buku dan/atau berlangganan jurnal ilmiah?
(3)    menyediakan waktu khusus untuk membaca buku dan/atau jurnal ilmiah?
(4)    menggunakan perpustakaan kampus?
Sebagian terbesar responden mengaku “Ya” (205 orang atau 93,6%) menghimpun perpustakaan atau koleksi buku pribadi, hanya 9 (sembilan) orang mengaku “Tidak” (4,1%) dan 5 (lima) orang (2,3%) tak menjawab. Dapat dikatakan bahwa menghimpun buku bagi para dosen dan guru besar hampir merupakan kewajiban tak tertulis, yang di antara responden UI, UNDIP, UNUD, dan UNCEN proporsinya masing-masing bahkan mencapai 100% alias semua responden di PTN-PTN tersebut menghimpun buku pribadi (Tabel 33). Demikian pula, hampir dua pertiga dari para responden tersebut (159 orang atau 72,6%) mengaku menyediakan anggaran untuk membeli buku dan/atau berlangganan jurnal ilmiah; dan hanya kurang dari seperempat dari mereka (54 orang atau 24,7%) menyatakan tidak menyediakan anggaran untuk beli buku atau langganan jurnal; sisanya merasa ragu-ragu (6 orang atau 2,7%) tentang penyediaan anggaran tersebut. Yang menarik, semua responden di UNHAS (100%) menyatakan menyediakan anggaran beli buku atau langganan jurnal, yang diikuti oleh responden di UNUD (18 orang atau 90%), UNPAD (18 orang atau 81,8%) dan UNDIP (18 orang atau 75%) (Tabel 34). Tetapi bukan tidak mungkin, bahwa mereka menghimpun buku dan/atau langganan jurnal secara pribadi karena merasa tidak puas dengan persediaan buku atau jurnal dan pelayanan di perpustakaan umum/kampus yang tidak memadai!
            Menyediakan waktu khusus untuk membaca buku atau jurnal kiranya juga sudah mulai menjadi kebiasaan mentradisi bagi para dosen dan guru besar di PTN-PTN yang dipelajari. Sebagian besar menjawab “Ya” (150 orang atau 68,5%) ketika ditanyakan masalah tersedianya waktu khusus untuk membaca buku/jurnal, dengan proporsi yang hampir merata di semua PTN yang dipelajari. Sebagian alasan yang disampaikan oleh yang menjawab “Tidak” (62 orang atau 28,3%) adalah karena mereka menyediakan waktu yang tidak menentu untuk membaca; mereka membaca ketika butuh atau perlu membaca tanpa dibatasi waktu khusus. Barangkali demikian pula alasan yang tak disampaikan oleh mereka yang tidak menjawab (7 orang atau 3,2%) (Tabel 35).
            Selain itu, ternyata jumlah responden yang mengaku menggunakan perpustakaan kampus (174 orang atau 79,5%) lebih besar daripada jumlah mereka yang menyediakan anggaran untuk beli buku atau langganan jurnal. Hanya kurang dari seperlima (43 orang atau 19,6%) responden yang mengaku tidak menggunakan perpustakaan kampus, yang sebagian memberikan alasan bahwa perpustakaan kampus kurang menyediakan buku atau jurnal yang ingin atau perlu mereka baca. Di antara para responden, semua responden di UNAIR dan UI mengaku menggunakan perpustakaan kampus; sedangkan jumlah responden di UNUD (11 orang atau 55%) dan USU (12 orang atau 60%) adalah yang paling sedikit menggunakan perpustakaan kampus (Tabel 36).

VII. Penguasaan Bahasa Asing
Penguasaan bahasa asing kiranya sangat berperan dalam membantu pengembangan Budaya Akademik di PTN-PTN yang dipelajari. Sejumlah terbesar responden menyatakan bahwa penguasaan bahasa asing “membantu” pengembangan Budaya Akademik (171 orang atau 78,1%), sebagian responden menyatakan “cukup membantu” (16 orang atau 7,3%), dan tak seorang pun responden mengatakan bahwa penguasaan bahasa asing “tidak membantu” pengembangan Budaya Akademik; tapi sayangnya, masih ada responden yang ragu apakah penguasaan bahasa asing itu membantu atau tidak membantu pengembangan Budaya Akademik, sehingga mereka tidak menjawab pertanyaan (32 orang atau 14,6%) (Tabel 37).
            Bahasa asing apa sajakah yang mereka kuasai?
            Hampir semua responden menyatakan menguasai bahasa Inggris (217 orang atau 99,1%) dengan tingkat penguasaan yang bervariasi (sangat baik/baik/sedang/kurang). Selisih jumlah antara responden yang menyatakan menguasai bahasa Inggris dan bahasa-bahasa lainnya sangat besar: secara berurutan ranking, mereka yang menyatakan menguasai bahasa Belanda, penguasaan bahasa kedua sesudah Inggris dalam temuan ini, hanya berjumlah 47 orang (21,5%); kemudian yang menguasai bahasa ketiga, Jerman, 19 orang (8,7%); keempat, Arab, 17 orang (7,8%); kelima, Prancis, 12 orang (5,5%); keenam, Jepang, 9 orang (4,1%); dan ketujuh, Cina atau Mandarin, 3 (tiga) orang (1,4%). Hanya di UI dan UNCEN yang ditemukan responden yang menguasai ketujuh bahasa tersebut, yakni untuk tiap bahasa yang diajukan itu terdapat responden di UI dan UNCEN yang menguasainya (Tabel 38).
VIII. Pemberian Sanksi terhadap Penjiplak
Salah satu bagian terpenting dari sikap dan mentalitas yang mengembangkan Budaya Akademik adalah pengutamaan terhadap orisinalitas karya para penggerak, pelaku, dan pendukung Budaya Akademik. Dalam Budaya Akademik, karya orisinal dan autentik mesti mendapat penghargaan tinggi; sebaliknya, karya imitasi, apalagi hasil penjiplakan tulisan dan penelitian, mesti mendapat perhatian untuk dicarikan penyelesaian yang bijak dan adil. Pemahaman ini tampaknya sudah begitu disadari oleh para responden secara merata.
Bukti autentik dalam penelitian ini adalah, tak seorang responden pun menolak ketika ditanyakan kepada mereka tentang perlunya pemberian sanksi terhadap staf pengajar atau mahasiswa yang menjiplak tulisan atau penelitian orang lain (Tabel 39). Tetapi ketika kepada responden ditanyakan tentang sanksi yang sekiranya memadai untuk dikenakan terhadap mereka yang melakukan penjiplakan atau plagiat (plagiarism), para responden memilih jawaban yang berbeda-beda (Tabel 40a, Tabel 40b, Tabel 41a, dan Tabel 41b).
Dalam desain kuesioner, sanksi dikenakan ke dalam 2 (dua) jurusan, yakni (1) sanksi moral dan (2) sanksi akademik, serta terhadap 2 (dua) kelompok warga masyarakat akademik, yakni (1) staf pengajar dan (2) mahasiswa. Pemahaman terhadap kelompok warga masyarakat akademik ini sebetulnya agak rancu dan mudah diperdebatkan, karena cukup sering terjadi bahwa para mahasiswa S2/S3 adalah juga berstatus staf pengajar di PT, sehingga kelompok ini dapat berperan ganda. Dalam penelitian ini, pengertian mahasiswa dimaksudkan sebagai peserta didik di PTN pada jenjang S1 atau jenjang-jenjang di bawahnya (Diploma, dsb.).
            Pilihan mengenai sanksi moral bagi staf pengajar yang melakukan penjiplakan tulisan dan/atau penelitian meliputi (boleh pilih lebih dari satu):
A.    Diperingatkan;
B.     Dikucilkan;
C.     Diumumkan (kasusnya);
D.    Minta maaf kepada yang dijiplak dan diumumkan;
E.     Lainnya.
Sebagian terbesar responden dari semua PTN yang dipelajari  menunjuk pilihan A (162 orang atau 74%) sebagai sanksi moral terhadap staf pengajar yang melakukan penjiplakan, diikuti pilihan D (122 orang atau 55,7%). Sanksi moral paling sedikit pemilihnya adalah B (12 orang atau 5,5%) (Tabel 40a). Angka-angka tersebut menyiratkan, meskipun secara akademik menjiplak, seseorang harus diberi hak untuk tidak begitu saja “dikucilkan” secara moral; para penjiplak cukup “diperingatkan” – agar memperbaiki sikap dan moralnya.
            Akan tetapi ketika para responden diminta menyebutkan sanksi akademik bagi staf pengajar yang menjiplak, pilihan terbanyak jatuh pada sanksi E, yakni “tidak diakui karya akademiknya” (oleh 143 orang atau 65,3%); kemudian dengan selisih yang amat substansial pada sanksi C, yakni “tunda kenaikan pangkat” (oleh 79 orang atau 36%) dan, secara berturut-turut, sanksi D, “skors sebagai dosen” (oleh 60 orang atau 27,4%); sanksi A, “pecat” (oleh 25 orang atau 11,4%); dan sanksi B, “turunkan pangkat” (oleh 18 orang atau 8,2%), serta sanksi F, lainnya (oleh 20 orang atau 9,1%) (Tabel 40b). Secara sosial akademik, angka-angka tersebut bersifat manusiawi, karena begitu sedikitnya responden yang memilih sanksi “pecat” dan “turunkan pangkat;” agaknya mereka lebih memilih “tunda kenaikan pangkat” dan “skors sebagai dosen” – karena dengan demikian, kepada si dosen penjiplak masih diberikan kesempatan untuk secara akademik memperbaiki diri dan mentalitasnya.
Pilihan jawaban untuk sanksi moral terhadap mahasiswa sama persis dengan yang terhadap staf pengajar. Angka pilihan yang dihasilkan tidak jauh berbeda dari yang dikenakan terhadap staf pengajar, yakni sebanyak 169 orang responden (77,2%) memilih untuk memberi “peringatan” kepada mahasiswa penjiplak; sebanyak 121 orang responden (55,3%) memilih agar mahasiswa penjiplak “minta maaf kepada yang dijiplak dan diumumkan;” sedangkan 46 orang responden (21%) minta agar kasus mahasiswa penjiplak “diumumkan” dan hanya 7 orang responden (3,2%) memilih agar mahasiswa penjiplak “dikucilkan” sebagai sanksi moral (Tabel 41a).
Kecenderungan yang manusiawi tersebut juga tergambar dalam pilihan untuk pemberian sanksi akademik bagi mahasiswa penjiplak. Sebanyak 144 orang responden (65,8%) lebih memilih memberi sanksi “skors” kepada mahasiswa penjiplak, daripada langsung “pecat” seperti yang dipilih oleh hanya 22 orang responden (10%); 72 orang responden (32,9%) selebihnya mengajukan sanksi-sanksi akademik lain untuk mahasiswa penjiplak (Tabel 41b), yang tidak diperinci dalam analisis ini.

IX. Penghargaan kepada Staf Pengajar dan Mahasiswa
Kehidupan dalam Budaya Akademik harus mengandung keseimbangan akademik yang adil. Jika mereka yang melakukan kesalahan akademik, seperti penjiplakan karya, mendapat sanksi atau hukuman, maka para penggerak, pelaku, dan pendukung Budaya Akademik yang mencapai prestasi akademik mesti mendapat hadiah atau penghargaan. Sehingga terjadi keseimbangan azas reward and punishment. Selain itu, prestasi akademik yang diraih staf pengajar dan mahasiswa pada gilirannya akan meningkatkan reputasi akademik tidak saja bagi individu yang bersangkutan, melainkan juga bagi PTN tempatnya mengabdikan diri secara akademik.
Penghargaan apa yang patut diberikan kepada staf pengajar dan mahasiswa yang berprestasi dengan menciptakan karya-karya penulisan, penelitian dan karya-karya lain yang berbobot akademik?
Kepada staf pengajar yang berprestasi, sebagian terbesar responden (150 orang atau 68,5%) memilih agar “diberi angka kredit (KUM) yang lebih tinggi” (A); disusul sejumlah 144 orang responden (65,8%) yang memilih “diberi kesempatan untuk berprestasi lebih tinggi” (C); 123 orang responden (56,2%) yang lebih suka agar staf pengajar berprestasi “diberi uang/dana insentif” (B) untuk menghargai prestasinya; 108 orang responden (49,3%) memilih pemberian “surat penghargaan” (E) dan 101 orang responden (46,1%) mengusulkan pemberian “percepatan kenaikan pangkat/jabatan” (D). Yang menarik adalah bahwa sebagian terbesar responden di UI (95%) lebih tertarik untuk memberi “angka kredit (KUM) lebih tinggi” bagi para koleganya yang berprestasi akademik; sementara sebagian terbesar responden di UNPAD (90,9%) memilih memberikan “kesempatan untuk berprestasi lebih tinggi” kepada kaum berprestasi akademik; tapi kebanyakan responden di UNUD (80%) dan di UNHAS (77,3%) lebih tertarik memberi mereka “uang/dana insentif” (Tabel 42).
            Kepada mahasiswa berprestasi akademik, sebagian terbesar responden (161 orang atau 73,5%) memilih agar “diberi kesempatan berprestasi lebih tinggi” (C); disusul sejumlah 149 orang responden (68%) yang memilih agar mereka “diberi uang/dana insentif” (B) dan 145 orang responden (66,2%) yang lebih suka agar mahasiswa berprestasi cukup “diberi surat penghargaan” (D) untuk menghargai prestasinya; dan hanya 50 orang responden (22,8%) memilih pemberian “angka kredit (SKS)” (A) bagi mahasiswa berprestasi akademik; sisanya, 8 orang responden (3,7%) memilih untuk memberi penghargaan dalam bentuk “lainnya” (F). Yang menarik adalah, kemenonjolan para responden di UNUD (95%) dan di UNHAS (86,4%) untuk memilih pemberian “uang/dana insentif” bagi mahasiswa berprestasi akademik, sebagaimana kemenonjolan para responden di UNPAD (90,9%) dan di UNCEN (86,4%) yang memilih untuk memberi “kesempatan untuk berpretasi lebih tinggi” bagi para mahasiswa yang berprestasi akademik (Tabel 43).

X. Semboyan Publish or Perish
Semboyan publish or perish di lingkungan PT kiranya diharapkan menjadi tradisi akademik yang sangat substansial bagi pengembangan Budaya Akademik. Semboyan itu mengandung maksud, bahwa staf pengajar di PT yang tidak pernah mempublikasikan karya tulis dan/atau hasil penelitiannya sebaiknya mundur dari lingkungan PT, tidak usah melanjutkan karier sebagai dosen dan guru besar. Bagaimanakah tanggapan para responden ketika mereka diminta pendapatnya tentang semboyan ini untuk diterapkan di lingkungan PTN tempatnya bekerja bagi pengembangan Budaya Akademik?
            Secara keseluruhan sebagian terbesar responden (183 orang atau 83,6%) “setuju” dengan gagasan publish or perish tersebut, dengan porsi terbesar secara berurutan para responden di UNHAS (95,5%), kemudian di UNAIR (95%), di UNPAD (86,4%), di UNUD (85%) dan UNDIP (83,3%); hanya 28 orang (12,7%) di antaranya menyatakan “tidak” setuju, dengan responden yang ditemukan di semua PTN. Bagi sebagian dari responden yang “tidak” setuju (12,7%) dan yang tidak menjawab (omit) (8 orang atau 3,7%) (Tabel 44), pelaksanaan dari semboyan tersebut di Indonesia pada umumnya dan di lingkungan tempat mereka bekerja sebagai staf pengajar pada khususnya, masih menghadapi berbagai kendala besar yang tidak hanya bersifat internal individu staf pengajar, melainkan juga eksternal yang menyangkut misalnya fasilitas jurnal, dan lain sebagainya, yang belum memadai. Tapi kesadaran untuk melaksanakan semboyan tersebut sudah mulai merata di semua PTN yang dipelajari dan dengan dukungan yang tinggi dari mereka yang secara lugas menyatakan persetujuannya.

XI. Dimensi-Dimensi Kesejahteraan dan Kebahagiaan
Pengembangan dan kehidupan dalam Budaya Akademik kiranya tidak sempurna jika hanya dimaksudkan untuk mengejar kemajuan-kemajuan akademik, terutama dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian. Kehidupan dalam Budaya Akademik selayaknya juga memperhati-kan dimensi-dimensi yang menyangkut kesejahteraan dan kebahagiaan manusia penggerak, pelaku dan pendukungnya. Karena, justru segala kegiatan manusia sesungguhnya dan terutama ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia sendiri dan lingkungannya. Bagaimanakah pendapat dan perasaan para responden mengenai pengalaman dan persepsinya tentang kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya sebagai penggerak, pelaku dan pendukung Budaya Akademik?
           
            XI. 1. Dimensi Kesejahteraan
            Ketika kepada responden ditanyakan tentang apakah mereka sejahtera dalam kehidupan sebagai dosen atau guru besar di PTN, secara keseluruhan selisih proporsi antara responden yang menjawab “Ya” (114 orang atau 52%) dan yang menjawab “Tidak” (102 orang atau 46,6%) tidaklah besar, sedangkan responden yang tidak menjawab (Omit) amat sedikit (3 orang atau 1,4%). Proporsi terbesar dari responden yang merasa sejahtera ditemukan di UGM (18 orang atau 66,6%), di UNHAS (14 orang atau 63,6%), di UNCEN (14 orang atau 63,6%) dan UNUD (12 orang atau 60%), sedangkan yang merasa tidak sejahtera lebih banyak dijumpai di USU (12 orang atau 60%), di UNAIR (11 orang atau 55%), di UNLAM (12 orang atau 54,5%) dan UNDIP (13 orang atau 54,2%) (Tabel 45a).
Responden yang merasa sejahtera (114 orang atau 52%), antara lain memberi alasan bahwa,
(1)   mereka “lebih cukup dibanding kelompok masyarakat lain yang
      lebih bawah” (alasan C) (74 orang atau 64,9% dari 114);
(2)   “gaji cukup” (alasan A) (43 orang atau 37,7% dari 114);
(3)   “lainnya” (alasan D) (20 orang atau 17,4% dari 114); dan
(4)   “fasilitas tersedia” (alasan B) (15 orang atau 13,2% dari 114)
(Tabel 45b).
Di antara responden yang merasa “tidak” sejahtera (102 orang atau 46,6%) mengaku menempuh cara atau kiat mereka dalam mengatasi ketidaksejahteraannya, antara lain dengan
(1)   “mencari sumber pendapatan lain” (alasan B) (80 orang atau 78,4% dari 102);
(2)   “menekan biaya hidup dengan hemat” (alasan A) (53 orang atau 52% dari 102);
(3)   “mengurangi pembelian buku, jurnal, majalah” (25 orang atau 24,5% dari 102); dan
(4) “lainnya” (alasan D) (orang atau 2,9% dari 102) (Tabel 45c).
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mereka yang merasa sejahtera terutama disebabkan oleh perasaan dan persepsi bahwa kehidupan mereka masih “lebih cukup dibanding kelompok masyarakat lain yang lebih bawah” - tapi alasan demikian hanya seperti menghibur diri, lantaran sekarang ini (2003) gaji guru besar, yang sudah bekerja lebih dari 30 tahun hanya sekitar Rp. 2,5 juta/bulan, atau para dosen muda sekitar Rp. 1 juta/bulan. Tapi agak menggembirakan juga bahwa sebagian besar dari responden yang merasa tidak sejahtera dapat mengatasinya dengan “mencari sumber pendapatan lain” yang halal dan terutama yang sesuai dengan bidang profesinya, seperti yang mereka sampaikan dalam wawancara.
Untuk melihat perbandingan tingkat kesejahteraan (ekonomi: gaji), antara para dosen dan guru besar di Indonesia dan di negara-negara lain, pada suatu kesempatan bertemu dengan guru besar dan lektor dari 18 negara saya bertanya pada beberapa di antara mereka, dan hasilnya adalah sebagai berikut.

Gaji Guru Besar dan Lektor di Beberapa Negara ($/Bulan)[1]
Amerika Serikat          : $ 8,000
Venezuela                   : $ 2,000
Malaysia                      : $ 2,000
Hongaria                     : $ 150-200
Indonesia                    : $ 150-200
Soviet Rusia                : $ 50

XI. 2. Dimensi Kebahagiaan
“Apakah menjadi staf pengajar di Perguruan Tinggi membuat hidup mereka bahagia?”
Hampir semua responden (211 orang atau 96,3%) menjawab “ya, bahagia;” hanya 5 orang (2,3%) menjawab “tidak;” dan 3 orang (1,4%) tidak menjawab.
Banyak responden mengakui bahwa dengan menjadi guru besar dan dosen dapat terpenuhi kebutuhan spiritual, intelektual, aktualisasi diri dan kebanggaan diri, sehingga mereka merasa bahagia. “Menjadi dosen adalah tugas mulia,” kata mereka. Meskipun mereka merasakan bahwa penghasilan menjadi guru besar dan dosen begitu kecil, misalnya jika dibandingkan dengan beberapa bekas mahasiswanya yang bekerja di sektor usaha, bisnis, bahkan bergerak di bidang politik dan pemerintahan.


















DAFTAR PUSTAKA

Adams, Hazard (Editor). 1971. Critical Theory Since Plato. New York: Harcourt Brace.

Bernard, H. Russell. 1994. Research Methods in Anthropology – Qualitative dan Quantitative Approaches. London: Sage.

Bronowski, Jacob. 1968. On Being an Intellectual. Northampton, Mass.: Smith College.

            CODESRIA. 1996. The State of Academic Freedom in Africa 1995. Dakar, Senegal: Codesria.

            Forum, Arab Thought (ATF). 1994. Academic Freedom in Arab Universities. Amman, Jordan: ATF Seminar, 27-28 September.

            Daedalus. Winter 1997. “American Academic Culture in Transformation: Fifty Years, Four Disciplines.”

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

________. 1983. Local Knowledge. New York: Basic Books.

Giddens, Anthony. 1991. Sociology. Cambridge: Polity.

Hassan, Fuad. 1990. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Budaya.

________. 1992. Cultural Dimension and Human Development. Jakarta: Balai Pustaka.

Icksan, M. Achmad. 1985. Mahasiswa dan Kebebasan Akademik. Yogyakarta: Hanindita.

Jary, David & Julia Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow: Harper Collins.

Kebudayaan RI, Departemen Pendidikan dan. 1995. Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

________. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro. IIA & IIB. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
           
            Kempner, Ken and William G. Tierney, Eds. 1996. The Social Role of Higher Education – Comparative Perspectives. New York: Garland.

Kistanto, Nurdien H. 1997a. “Menuju Paradigma Penelitian Sosial yang Partisipatif,” PRISMA Jakarta: LP3ES, No. 1 Th. XXVI, Januari.

________. 1997b. Budaya Akademik: Kehidupan dan Kegiatan Akademik di PTN dan PTS di Semarang. Laporan Penelitian. Semarang: Universitas Diponegoro.

________. 2000. Budaya Akademik: Kehidupan dan Kegiatan Akademik di Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Jakarta: Dewan Riset Nasional, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.

Koentjaraningrat (Redaksi). 1977. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Krathwhl, David R. 1988. How to Prepare Research Proposal. New York: Syracuse University.

Kuhn, Thomas S. 1970. The Structure of Scientific Revolution. Chicago: University of Chicago.

Layder, Derek. 1993. New Strategies in Social Research. Cambridge: Polity.

Little, Graham. 1975. Faces on the Campus. Clayton, Victoria: Melbourne University.
           
            Mamdani, Mahmood and Mamadou Diouf, Eds. 1994. Academic Freedom in Africa. Dakar, Senegal: CODESRIA.

Penny, David H. 1990. Petunjuk bagi Peneliti Ilmu-Ilmu Sosial. Semarang: CV Agung.

Poch, Robert K. 1993. Academic Freedom in American Higher Education: Rights, Responsibilities, and Limitations. Washington DC: School of Education and Human Development, The George Washington University.

Shipman, MD. 1975. The Sociology of the School. London: Longman.

Sieber, Sam D. 1973. “The Integration of Fieldwork and Survey Methods,” American Journal of Sociology Vol. 78, No. 6, pp. 1335-59.
           
            Watch, Human Rights. 1998. Academic Freedom in Indonesia – Dismantling Soeharto-Era Barriers. New York: Human Rights Watch.
           
            Worgul, George S., Jr. 1992. Issues in Academic Freedom. Pittsburgh: Duquesne University Press.


[1] Wawancara dilakukan di New York dan beberapa tempat lain di Amerika Serikat, Juli-Agustus 1999.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar