Rabu, 13 Januari 2010

Menuju Seafood Eco-Labelling Berbasis Masyarakat



1. Pendahuluan

Dalam satu dasawarsa (1990an-2000an) belakangan ini perdagangan ikan laut untuk konsumsi berkembang di wilayah Asia Tenggara. Negara-negara besar di Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina menjadi negara-negara produsen ikan dan udang laut rasa enak bagi negara-negara Hong Kong, Taiwan, Cina, dan Singapura. Tentu menyusul negara-negara lain, tidak hanya di sekitar Asia Timur.

Gagasan untuk memasuki sistem eco labeling bagi produk perikanan laut Indonesia merupakan tanggapan terhadap sejumlah tekanan yang mendesak untuk kegiatan perdagangan hasil laut antar negara yang go global, antara lain:

(1)       Meningkatnya permintaan pasar global terhadap hasil laut, khususnya ikan dan udang eksotik bagi makanan rasa enak;
(2)       Meningkatkan produksi bagi negara pengekspor seperti Indonesia;
(3)       Mempedulikan metode-metode penangkapan ikan yang berkelanjutan (sustainable fisheries), environmentally friendly, ramah lingkungan dan tidak merusak anasir-anasir biota laut;
(4)       Menghindari terganggunya sumberdaya perikanan seperti terumbu karang, taman laut, lingkungan pantai;
(5)       Mempertahankan dan meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil tangkapan dari laut;
(6)       Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan sumberdaya perikanan sebagai basis bargaining power ekonomi dan industri perikanan laut; dan last but not least,
(7)       Mempertahankan dan meningkatkan kekuatan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat, terutama kelompok-kelompok nelayan yang merupakan ujung tombak dari kegiatan penangkapan yang menghasilkan produksi laut.

Gagasan, tuntutan dan tekanan ramah lingkungan dengan memasuki sistem eco labelling memberikan kesempatan yang logis terhadap para pengamat, pemeduli dan pecinta lingkungan bersama para industrialis yang didukung kebijakan pemerintah untuk mengembangkan idealisme dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan laut dan pesisir. Dalam fenomena ini agaknya telah berkembang dan melakukan kemitraan antara para industrialis dengan motif-motif ekonomi industri yang bergandengan tangan dengan idealisme pecinta lingkungan “demi pelestarian lingkungan” menuju sustainable development dalam wujud spesifik sustainable fisheries. Berbagai motif, maksud, dan tujuan yang mulya maupun yang bertendens dapat terlibat dalam gagasan dan ideologi apa pun.

Bagaimana pun juga, tuntutan untuk menjadi ramah lingkungan dengan mengenakan sertifikasi dalam sistem eco labeling tetap jauh lebih baik daripada kita memusuhi importir bagi produk hasil laut kita dan mengikuti tradisi-tradisi baru bangsa moderen untuk kesejahteraan manusia. Sehingga pada masa nanti kita tidak dipersalahkan oleh anak-cucu kita bahwa kita merupakan generasi perusak lingkungan yang membiarkan sumberdaya perikanan kita dijarah oleh bangsa sendiri dan bangsa lain yang tidak mempedulikan kepentingan pelestarian alam bagi mereka, penerus peradaban kita. Hutang-hutang kita terutama kepada generasi manusia sesudah kita.


II. Berbasis Masyarakat
Semua gagasan, ideologi, kegiatan dan tuntutan seharusnya ditujukan terutama untuk kesejahteraan manusia, untuk kelangsungan dan peningkatan harkat hidup manusia. Gagasan dan langkah-langkah para pecinta lingkungan untuk memasuki babakan baru dalam perdagangan hasil sumberdaya perikanan lebih mudah dipahami oleh para pecinta lingkungan, para industrialis dan para ilmuwan, serta, mungkin pemerintah – tapi bagaimana dengan mereka yang disebut “masyarakat” atau “komunitas” atau “rakyat” yang seringkali disebut sebagai pihak “yang diperjuangkan” nasibnya?
Tentu tidak mudah bagi para nelayan untuk memahami maksud dan tujuan dari pengenaan sistem eco labelling yang sesungguhnya berdampak langsung bagi kegiatan mereka, nasib hidup mereka, tingkat kesejahteraan mereka, kelanjutan penghidupan keturunan mereka dan berbagai dimensi kehidupan mereka – terlebih-lebih jika kegiatan penangkapan ikan, yang menjadi target, telah menjadi darah-daging-tulang-sumsum mereka sehari-hari, bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bergenerasi-generasi.
Untuk kepentingan tersebut dan kepentingan-kepentingan “mulya” lainnya yang mengatasnamakan “keramahan lingkungan,” “sustainable fisheries,” “kesejahteraan masyarakat” (nelayan, pembudidaya perikanan), kegiatan-kegiatan yang “berbasis masyarakat” wajib dilakukan, agar mereka paham, tidak mudah menerima informasi lain yang berlawanan dengan maksud dan tujuan “mulya” para industrialis, pecinta lingkungan, dan pemerintah, yang dapat dan mudah menyulut dan membakar maksud dan tujuan lain.
Rapid Rural Appraisal (RRA) dan Participatory Rural Appraisal (PRA) atau dengan sebutan-sebutan lain semacam itu - yang merupakan pendekatan dan metode partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, yang pada lazimnya digunakan untuk mengajak masyarakat berperan serta dalam kegiatan dengan tujuan akhir melakukan pemberdayaan - kiranya sudah cukup dikenal di lingkungan lembaga-lembaga berbasis masyarakat. Secara singkat disampaikan berikut ini.

III. RRA dan PRA
III. 1. Perbandingan dan Prinsip-Prinsip RRA dan PRA
Tabel 1 menunjukkan perbandingan unsur-unsur dan prinsip-prinsip kesinambungan antara RRA dan PRA.







Tabel 1: Perbandingan antara RRA dan PRA

RRA

PRA

(1) Kurun perkemb
(2) Pembaharu
(3) Pengguna utama
(4) Sumber informasi yg dilihat lebih dulu
(5) Pembaharuan utama
(6) Paling banyak
digunakan
(7) Tujuan ideal

(8) Hasil jangka
Panjang
(1) Akhir 1970an-80an
(2) Universitas
(3) Lembaga donor, Univ.
(4) Pengetahuan masyarakat setempat
(5) Metode
(6) Penggalian, elicitif

(7) Belajar melalui orang luar
(8) Perencanaan, proyek,
publikasi
(1) Akhir 1980an-90an
(2) LSM
(3) LSM, org lapang pem.
(4) Kemampuan masyarakat setempat
(5) Perilaku
(6) Fasilitasi, partisipatif

(7) Pemberdayaan
masyarakat setempat
(8) Kelembagaan &
tindakan masy setempat yg
berkelanjutan
Prinsip-Prinsip Kesinambungan RRA dan PRA

Sifat Proses

Metode RRA
Metode PRA
(1) Cara melakukan

(2) Peran orang luar
(3) Informasi dimiliki,
dianalisis dan digunakan
(1) Penggalian, elicitif

(2) Penyelidik/peneliti
(3) Oleh orang luar
(1) Saling berbagi,
Pemberdayaan
(2) Fasilitator
(3) Masyarakat setempat
Diolah dari Robert Chambers 1996: 30-33.

Pemanfaatan prinsip-prinsip tersebut harus mempertimbangkan tahapannya. Yang pertama-tama harus dilakukan adalah penyusunan perencanaan, sehingga agaknya RRA lebih tepat, atau in-between, di antara RRA dan PRA. Prinsip-prinsip tersebut disajikan berikut ini.


III. 2. Beberapa Prinsip dalam RRA dan PRA
(1)     Pembalikan pemahaman: belajar dari masyarakat desa, secara langsung, di daerah pinggiran (pantai), mendapatkan pengetahuan fisik, teknis, dan sosial secara lokal;
(2)     Belajar secara cepat dan progresif: melalui eksplorasi dan terencana, pemakaian metode yang fleksibel, improvisasi, pengulangan, cek silang, tidak mengikuti program cetak biru tapi menyesuaikan proses belajar atau pemahaman;
(3)     Menyeimbangkan bias, khususnya bagi wisata pengembangan pedesaan, rileks dan tidak tergesa-gesa, mendengarkan dan bukan menggurui, penggalian topik, tidak memaksakan, mencari masyarakat yang lebih miskin dan dianggap bodoh, memahami prioritas dan pokok perhatian mereka;
(4)     Mencari keanekaragaman: dengan “maksimalisasi keanekaragaman dan kekayaan informasi” dan dengan pengambilan sampel non-statistik melainkan secara deskriptif – sehingga harus diperhatikan bahwa penjelasan deskriptif memerlukan catatan-catatan dan mencermati kontradiksi, anomali (variasi dari apa yang normal) dan perbedaan-perbedaan.
III. 2. 1. Prinsip-Prinsip Tambahan yang Ditekankan dalam PRA
(1)  Memfasilitasi penyelidikan, analisis, penyajian dan pemahaman oleh masyarakat sendiri, sehingga mereka dapat menyajikan, memiliki hasil dan mempelajarinya: handling over the stick, memberikan wewenang kepada masyarakat untuk memahami, merencanakan dan melakukan;
(2)  Kesadaran dan tanggungjawab diri yang kritis: fasilitator terus-menerus menguji tingkah-laku mereka dan mencoba melakukannya secara lebih baik, termasuk menerima kesalahan untuk melakukan yang lebih baik; menggunakan penilaian orang yang paling baik, yakni mereka yang dapat menerima tanggungjawab diri;
(3)  Saling berbagi informasi dan gagasan antar masyarakat desa, atau antar kelompok masyarakat desa; antara masyarakat desa dengan fasilitator; antar fasilitator yang berbeda, yang saling berbagi wilayah kegiatan, pelatihan dan pengalaman antar organisasi atau kelompok yang berbeda.

III. 2. 2. Strategi, Pendekatan dan Metode


(1). Strategi dan Pendekatan
Strategi yang dipilih adalah strategi perencanaan yang lebih berorientasi pada karakteristik “dari bawah ke atas” atau bottom-up strategy. Strategi ini sesuai dengan pendekatan yang telah ditentukan yakni “berbasis komunitas” (community based approach) yang menilai tinggi partisipasi masyarakat dalam proses-proses perumusan masalah dan penyusunan perencanaan, dengan orang luar sebagai fasilitator sehingga pandangan dari dalam masyarakat sendiri (emic) merupakan pendekatan utama.
(2). Metode
Sedangkan metode-metode dan langkah-langkah yang ditempuh, terutama dalam pengumpulan dan analisis data mengikuti metode-metode yang lazim dimanfaatkan dalam PRA (lihat Chambers 1996: 36-39), antara lain:
(1) Sumber sekunder: berkas, laporan, peta, foto, artikel, buku;
(2) Informan kunci: mengetahui secara mendalam persoalan dan masalah dalam masyarakat setempat;
(3) Wawancara semi-terstruktur, memperoleh checklist tertulis atau tidak-tertulis tapi terbuka dan, mungkin, unpredictable;
(4) Kegiatan dan wawancara dengan berbagai kelompok dan jenis serta kepentingan;
(5) Mereka - yakni masyarakat sebagai pengamat dan peneliti: kaum wanita, kaum miskin, guru sekolah, sukarelawan, pelajar, petani, nelayan dan ahli pedesaan – melakukan pengamatan, wawancara dengan penduduk desa lain, menganalisis data dan menyajikan hasilnya;
(6) Membuat model dan peta secara partisipatif: masyarakat menggunakan tanah, lantai, kertas, untuk membuat peta sosial, kependudukan, kesehatan, sumber daya alam atau peta pertanian;
(7) Transect walks: berjalan dengan informan secara sistematis melewati suatu area, mengamati, menanyakan, mendengarkan, mendiskusikan, mengidentifikasi zona yang berbeda, teknologi lokal, mengenalkan teknologi; menemukan masalah, peluang dan pemecahan; membuat peta sumberdaya dan penemuan-penemuan;
(8) Lintasan waktu: kronologi kejadian, daftar kejadian utama yang diingat;
(9) Analisis kecenderungan: pertimbangan masyarakat pada waktu yang lalu tentang bagaimana hal-hal yang dekat dengan mereka berubah, sejarah ekologis, pola dan perubahan kegiatan kerja; perubahan kebiasaan dan praktik, perubahan dan kecenderungan penduduk, migrasi, penggunaan BBM, pendidikan, kesehatan, praktik kredit, sebab-sebab perubahan dan kecenderungan;
(10)  Ethnobiographies: sejarah lokal suatu kegiatan penting seperti menelayan, perbaikan atau pembuatan perahu, penangkapan ikan di laut, dst.;
(11)  Membuat diagram musiman: musim utama atau bulanan, musim panen atau musim tangkap ikan besar/ikan kecil, dll.;
(12)  Analisis matapencaharian: stabilitas, krisis dan penanggulangannya, pendapatan, pengeluaran, kredit dan hutang, kegiatan ganda, dll.;
(13)  Membuat diagram secara partisipatif: metode untuk identifikasi individu dan lembaga penting di dalam dan bagi komunitas, serta hubungan mereka;
(14)  Tingkat kesejahteraan: identifikasi kelompok rumahtangga menurut kesejahteraan dan kesehatannya, termasuk yang paling miskin dan paling buruk;
(15)  Analisis perbedaan: melalui gender, kelompok sosial, kesejahteraan, kemiskinan, pekerjaan, usia; identifikasi perbedaan antar kelompok, masalah dan pilihan mereka: perbandingan kontras antar keluarga, menanyakan pada keluarga tentang keluarga lain yang berbeda, dan sebaliknya;
(16)  Estimasi dan kuantifikasi, dapat menggunakan ukuran lokal;
(17)  Penyelidikan kunci: dengan pertanyaan langsung ke masalah kunci, misalnya” “Apa yang anda lakukan ketika tidak menangkap ikan?” “Alat tangkap apa saja yang anda gunakan di musim ikan besar?” dsb.;
(18)  Menyusun cerita, studi kasus dan profil;
(19)  Menyusun tim: gabungan antara orang luar dan masyarakat atau stakeholder;
(20)  Analisis dan penyajian: peta, model, diagram, penemuan yang disajikan oleh warga desa, atau bersama orang luar, diuji, dikoreksi dan didiskusikan;
(21)  Perencanaan partisipatif, pembuatan anggaran dan pemantauan: warga desa menyiapkan rencana mereka sendiri, anggaran, jadual dan memantau perkembangannya;
(22)  Kuesioner sederhana pada akhir proses, dirancang untuk pengisian tabel untuk laporan atau yang akan dibutuhkan kemudian;
(23)  Laporan tertulis secara langsung, baik di lapangan sebelum kembali ke kantor maupun satu atau dua orang yang ditunjuk sebelumnya untuk melaksanakannya dengan segera setelah kegiatan RRA atau PRA.
Untuk keperluan mendesak, kiranya butir-butir dapat dikerjakan secara lebih sederhana.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar