Rabu, 13 Januari 2010

Pendekatan Sosiologis Terhadap Agama


I. Marx, Durkheim & Weber
Tiga teoris sosiologis klasik: Karl Marx, Emile Durkheim dan Max Weber mempengaruhi pendekatan-pendekatan sosiologis terhadap agama dalam ilmu sosial Barat moderen. Ketiga-tiganya berpandangan bahwa makna agama akan berkurang pada zaman modern – pandangan yang acuannya kondisi masyarakat Barat modern, terutama dalam konteks Eropa Barat dan Amerika Utara. Mereka percaya bahwa agama dalam pengertian yang mendasar adalah sebuah ilusi. Alasan dari keimanan yang berbeda-beda secara keseluruhan dipengaruhi validitas kepercayaan yang mereka peluk dan ritual-ritual yang diikuti. Akan tetapi keragaman agama dan hubungan agama-agama dengan jenis masyarakat yang berbeda-beda menimbulkan keraguan terhadap klaim para teoris social tersebut. Seseorang yang lahir dari lingkungan masyarakat Australia pemburu dan pengumpul (hunters & gatherers) akan memeluk kepercayaan agama yang berbeda dari seseorang yang lahir dalam sistem kasta India atau dalam lingkungan Gereja Katolik Eropa abad pertengahan. Pemelukan kepercayaan dan agama tertentu yang dilihat dari latar belakang lingkungan masyarakat pun berlaku di berbagai kelompok masyarakat di Indonesia.

II. Marx dan Agama
Gagasan Marx tentang agama bersumber dari bacaan-bacaan yang ditulis para pengarang filsafat dan agama awal abad ke-19. Salah satunya Ludwig Feuerbach yang menulis karya terkenal The Essence of Christianity (1841, 1957). Menurut Feuerbach, agama berisi gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang dihasilkan umat manusia dalam perjalanan perkembangan kebudayaannya, tapi dengan keliru diproyeksikan pada kekuataan-kekuatan besar atau tuhan-tuhan. Karena manusia tidak sepenuhnya paham sejarahnya sendiri, mereka cenderung menghasilkan nilai-nilai dan norma-norma yang diciptakan berdasarkan lingkungan sosial untuk kegiatan para tuhan. Sehingga kisah mengenai 10 Perintah Tuhan oleh Tuhan kepada Musa merupakan versi mitis dari ajaran moral yang menuntun kehidupan para pemeluk Yahudi dan Kristen.
Feuerbach menggunakan istilah alienation untuk merujuk penciptaan tuhan-tuhan atau kekuatan-kekuatan seperti dewa yang berbeda dari manusia.Nilai-nilai dan gagasan-gagasan manusia sampai dilihat sebagai produk dari alien atau makhluk asing – yakni kekuatan-kekuatan agama dan dewa-dewa. Sementara efek alienasi pada masa lalu adalah negatif, menurut Feuerbach, pemahaman agama sebagai alienasi memberikan harapan besar bagi masa depan.
Marx menerima pandangan bahwa agama merepresentasikan keterasingan (alienasi) diri manusia. Agama, tulis Marx, adalah ‘hati dari dunia yang tak berhati’ (the heart of a heartless world) – tempat berlabuh bagi kekerasan realitas sehari-hari. Dalam pandangan Marx, agama dalam bentuk tradisionalnya akan dan harus menghilang, disebabkan nilai-nilai positif yang menjelma dalam agama dapat menjadi ideal yang membimbing menuju perbaikan-perbaikan kemanusiaan di bumi, bukan karena ideal-ideal dan nilai-nilai itu sendiri adalah salah. Menurut Marx, kita tidak perlu takut pada tuhan-tuhan yang kita ciptakan sendiri, dan kita harus berhenti menyokongnya dengan nilai-nilai yang kita sendiri laksanakan. Marx menyatakan dalam frasa yang terkenal, bahwa agama telah menjadi “candu bagi masyarakat” (opium of the people).

III. Durkheim dan Upacara Keagamaan
Berbeda dari Marx, Emile Durkheim menyediakan waktu yang cukup untuk belajar tentang agama, khususnya mengenai agama dalam masyarakat tradisional dalam skala kecil. Karya Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (1912, 1976) menjadi salah satu studi paling berpengaruh dalam sosiologi agama.Durkheim tidak menghubungkan agama terutama dengan kesenjangan sosial atau kekuasaan, tapi dengan keseluruhan alam dari institusi-institusi masyarakat. Dasar karyanya adalah studi mengenai totemisme yang dihayati masyarakat aborigin Australia; dan dia berpendapat bahwa totemisme merepresentasikan agama dalam bentuk yang paling dasar (elementary form) atau sederhana – sehingga menjadi judul bukunya.
Sebuah totem pada dasarnya adalah seekor binatang atau sebuah tanaman yang diambil karena memiliki kepentingan simbolik khusus bagi suatu kelompok. Ia adalah obyek yang suci atau keramat (sacred), berkaitan dengan pemujaan dan dikelilingi oleh berbagai kegiatan ritual. Durkheim mendefinisikan agama dengan melakukan pembedaan antara the sacred (yang suci, keramat) dan the profane (yang kotor, najis, tak senonoh). Bagi Durkheim, obyek-obyek dan simbol-simbol sacred, suci diperlakukan sebagai terpisah dari aspek-aspek keberadaan yang rutin, sehari-hari – yang merupakan dunia profane, kotor. Memakan binatang atau tanaman totemic, kecuali dalam upacara khusus, biasanya dilarang, dan sebagai benda suci, keramat, totem dipercaya memiliki perlengkapan langit, dewata, (tuah) yang benar-benar memisahkannya dari binatang-binatang lain yang diburu, atau tanaman yang dikumpulkan dan dimakan.
Kenapa totem suci? Menurut Durkheim karena ia merupakan symbol dari kelompok itu sendiri; ia mewakili nilai-nilai sentral bagi kelompok atau komunitas. Penghormatan yang dihayati orang terhadap totem berasal dari rasa hormat yang mereka genggam bagi nilai-nilai sosial sentral. Dalam agama, obyek pemujaan sesungguhnya masyarakat itu sendiri.
Durkheim sangat menekankan fakta bahwa agama-agama tidak pernah semata-mata hanya persoalan kepercayaan. Semua agama bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan seremonial dan ritual regular, di mana kelompok penganut berkumpul bersama. Dalam seremonial kolektif, rasa solidaritas kelompok menguat dan meninggi. Seremonial menjauhkan individu dari perhatian terhadap kehidupan sosial yang profan untuk memasuki daerah, suasana di atas (elevated sphere), tempat mereka merasakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi. Kekuatan-kekuatan tinggi, yang disimbolkan pada totem, pengaruh langit atau dewa-dewa, benar-benar merupakan ekspresi pengaruh kolektifitas atas individu.
Seremoni dan ritual, dalam pandangan Durkhim, penting untuk mengikat anggota-anggota kelompok menyatu. Oleh sebab itu, seremoni dan ritual tidak hanya dilakukan dalam situasi pemujaan lazim melainkan dalam berbagai krisis kehidupan, di mana transisi utama kehidupan dialami, seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada lazimnya semua masyarakat, prosedur-prosedur ritual dan seremonial dipatuhi dalam kumpulan tersebut. Seremonial kolektif mengukuhkan solidaritas kelompok ketika mereka harus mengatur perubahan-perubahan penting dalam kehidupan mereka.

IV. Weber dan Agama-Agama Dunia
Durkheim mendasarkan argumen-argumennya atas kawasan contoh yang sangat terbatas, meski pun dia mengklaim gagasan-gagasannya dapat dikenakan pada agama pada umumnya. Sebaliknya, Max Weber berangkat pada studi agama-agama seluruh dunia yang massif, sehingga perhatiannya adalah agama-agama dunia. Dia melakukan studi mengenai agama-agama Hindu, Budha, Tao, dan Judaism kuno (Weber 1958, 1951, 1952, 1963, dan dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1976; aslinya 1904-5) dan juga mengenai dampak Kristiani terhadap sejarah Barat. Sayangnya dia belum menyelesaikan studinya mengenai Islam.
Penekanan Weber terhadap agama dan perubahan social mendukung argumentasinya bahwa agama tidak selalu harus menjadi kekuatan atau pendorong konservatif; sebaliknya, gerakan-gerakan yang terilhami agama seringkali menimbulkan transformasi-transformasi social yang dramatik. Faham Protestan – khususnya Puritan – merupakan sumber pandangan kapitalistik yang ditemukan di dunia Barat moderen. Para wiraswastawan awal adalah sebagian besar kaum Kalvin. Dorongannya untuk sukses, yang mendorong pembangunan ekonomi Barat, pada awalnya didorong oleh kerinduan melayani Tuhan. Sukses materi bagi mereka menjadi penanda bagi ridho Tuhan. Pembicaraannya mengenai dampak faham Protestan terhadap kemajuan Barat merupakan bagian dari upaya komprehensif untuk memahami pengaruh agama terhadap kehidupan social-ekonomi dalam berbagai kebudayaan.

V. Studi tentang Tingkah Laku Beragama
Perhatian studi agama dalam ilmu-ilmu sosial antara lain tingkah laku manusia dan kelompok manusia dalam beragama, hubungan antara tingkah laku bergama tersebut dengan kegiatan-kegiatan lain, pengaruh dari tingkah laku beragama terhadap kegiatan-kegiatan hidup yang lain; deskripsi mengenai upacara keagamaan, berbagai seluk-beluk yang dianggap berkaitan dengan kepercayaan dalam religi; pengelompokan komunitas agama; agama dan kegiatan politik, aliran; dst., dst. (Belum selesai). (21-11-2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar