I. Pendahuluan
Selama 4 (empat) dasawarsa ini pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi telah menghasilkan perubahan dan kemakmuran ekonomi besar-besaran. Namun demikian, di sisi lain, pembangunan telah mengorbankan lingkungan alam dan warisan budaya begitu luar biasa. Setidak-tidaknya sejak 3 (tiga) dasa warsa yang lalu kerusakan warisan budaya terjadi terus-menerus.
Warisan budaya itu terutama berupa bangunan-bangunan dan peninggalan-peninggalan kuno lainnya, yang dikenal sebagai benda cagar budaya, yang menandai tata nilai, perjalanan, sejarah dan tradisi bangsa, yang secara kognitif dan kultural menjadi memori bangsa baik secara kelompok, komunitas atau masyarakat, maupun kolektif, bangsa. Memori yang masih membekas dan berdampingan dengan kehidupan masyarakat dan bangsa. Disampaikan dalam tulisan ini antara lain tentang nilai pelestarian dan pemanfaatan bangunan kuno, disertai sejumlah catatan dan sampel yang terjangkau tentang benda cagar budaya yang dibongkar, digusur, rusak, terlantar, hilang, dan mengalami alih fungsi seperti di Surabaya dan Semarang.
II. Nilai Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Kuno
Dalam pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya, terutama bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah, kiranya sejumlah nilai dapat dipertimbangkan sebagai acuan dan reasoning, kenapa sebuah benda atau bangunan harus dipertahankan, dilestarikan, dan dimanfaatkan.
Gagasan tentang benda cagar budaya sejarah (historic monument) dalam pengertian luas pada dasarnya sudah tumbuh sejak Renaisans Itali, ketika pembagian ke dalam ’benda cagar budaya artistik’ (artistic monuments) dan ’benda cagar budaya sejarah’ (historical monuments) dianggap identik. Dengan landasan sejarah budaya, perhatian tertuju pada nilai sejarah dari rincian-rincian dan fragmen-fragmen kecil sebagai bagian tak tergantikan dari warisan budaya. Namun perlahan-lahan nilai historis berkembang menjadi nilai evolusioner, nilai usia, di mana rincian pada akhirnya menjadi tidak penting. Nilai usia peninggalan dianggap paling moderen dalam penghargaan terhadap benda cagar budaya (Jokilehto, 2002: 216), sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang merupakan upaya formal bagi penyelamatan dan pelestarian ”(a) benda buatan manusia... yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun” (dan seterusnya).
Dua gugusan nilai setidak-tidaknya dapat dipertimbangkan dalam melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya yang berupa bangunan kuno, yaitu
(1) nilai-nilai memorial (memorial values): nilai usia, nilai historis, dan nilai memorial yang dimaksud;
(2) nilai-nilai masa sekarang (present-day values): nilai guna/manfaat, nilai seni, nilai kebaruan, dan nilai seni relatif (Jokilehto, 2002: 216).
UURI No. 5. Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya pun sudah mengatur mengenai ”pemanfaatan” benda cagar budaya, seperti tertulis pada Bab VI Pemanfaatan, Pasal 19 yang berbunyi:
1. Benda cagar budaya tertentu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
2. Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan dengan cara atau apabila:
a. bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
b. semata-mata untuk mencari kepentingan pribadi dan/atau golongan.
3. Ketentuan tentang benda cagar budaya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan cara pemanfaatannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dapat dikatakan bahwa keputusan untuk melakukan pelestarian dan pemanfaatan bangunan kuno disebabkan antara lain karena bangunan tersebut bernilai seni (seni bangunan/arsitektur, seni rupa, dsb.) dan merupakan benda cagar budaya bernilai sejarah (berumur lama). Nilai-nilai lain dalam bidang-bidang keilmuan dan kebudayaan tentu melekat bersama nilai-nilai memorial dan nilai-nilai masa sekarang.
III. Dibongkar, Digusur, Rusak, Terlantar, Hilang, dan Mengalami Alih Fungsi
Setidak-tidaknya sejak akhir tahun 1970an cagar budaya yang berupa bangunan kuno dan benda-benda warisan budaya lainnya telah dibongkar, digusur, rusak, terlantar, hilang, dan mengalami alih fungsi, oleh tangan-tangan kita sendiri. Tragedi yang memprihatinkan ini antara lain disebabkan oleh tekanan-tekanan pembangunan yang selalu berorientasi berlebih-lebihan pada pertumbuhan ekonomi, sehingga mengabaikan penjagaan dan pelestarian cagar budaya yang bernilai arsitektural, historis dan kultural yang tinggi, unik dan khas.
Sekedar mengingatkan kembali, menurut catatan (Budihardjo, 1979), tragedi sejak tahun 1970an itu menimpa:
(1) rumah panjang tradisional Kalimantan dibongkar;
(2) rumah Bupati Semarang zaman dahulu, Kanjengan digusur;
(3) gedung Proklamasi di Jakarta lenyap;
(4) benteng tua Rotterdam, tempat Pangeran Diponegoro ditawan selama 21 tahun di Ujung Pandang (Makassar) pernah menjadi gudang sepeda yang jorok; dan
(5) Loji bersejarah di Tondano dibongkar.
Menurut Eko Budihardjo (1974), sangat memprihatinkan bahwa instansi-instansi dan tokoh-tokoh pemerintahan daerah yang seharusnya menjaga kelestarian arsitektur di daerahnya seringkali justrumenjadi pelopor pembongkaran; sedangkan protes dari masyarakat setempat tidak ditanggapi, dianggap angin lalu. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena banyak pimpinan daerah dihinggapi ”obsesi membangun,” bahwa kemajuan daerah identik dengan pesatnya pembangunan baru dan bahwa modernisasi di segala bidang adalah dambaan yang harus dikejar dengan segenap cara.
Beberapa penyebab penting cagar budaya yang berupa bangunan kuno dan peninggalan sejarah sulit bertahan antara lain:
(1) terjadinya desakan komersialisasi karena pertumbuhan dan perkembangan kota ditentukan oleh kegiatan ekonomi, yaitu ekonomi dan bisnis komersial – sehingga setiap kegiatan yang tidak mendorong perolehan komersial dan tidak menghasilkan keuntungan ekonomi dianggap tidak layak dipertahankan;
(2) pemerintahan dan masyarakat kota tidak memiliki sense of belonging yang tinggi terhadap peninggalan berupa bangunan kuno yang dibangun oleh ”pihak lain” pada ”zaman lain” – misalnya oleh kolonial Belanda pada masa lalu;
(3) sebagian besar warga kota adalah pendatang atau tinggal sementara untuk kegiatan ekonomi dan mata pencaharian, sehingga merasa tidak punya kepentingan langsung dengan benda-benda cagar budaya; selain itu, bangunan-bangunan kuno tidak mencerminkan karakteristik yang terkait langsung dengan identitas lokal warga masa sekarang;
(4) kurangnya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya penghargaan terhadap benda peninggalan kuno yang bernilai sejarah dan arsitektural yang bermutu tinggi;
(5) tidak tersedianya anggaran pemerintah (daerah dan pusat) yang cukup bagi penjagaan dan pelestarian benda cagar budaya;
(6) kesemuanya itu terjadi karena prioritas pembangunan negara dan kebutuhan masyarakat belum sampai pada tahap pembangunan ”sejarah, arsitektur dan nilai budaya” melainkan berkutat pada pembangunan ekonomi dan kegiatan-kegiatan mata pencaharian dalam kerangka kebutuhan dasar.
III. 1. Surabaya
Nanang Purwono, penyusun buku Mana Soerabaia Koe, menyatakan pembangunan Surabaya pada masa lalu paling pesat terjadi pada tahun-tahun 1900-1950. Pada waktu itu, Surabaya lama yang disebut Oude Stad (Kota Lama) atau Beneden Stad (Kota Bawah) sudah tak cukup lagi menampung perkembangan kota. Pembangunan diluaskan melintasi tembok yang dibangun di Jalan Indrapura, Kebonrojo, Stasiun Kota, Nyamplungan, Danakarya dan Jakarta. Pemerintah kolonial Belanda mulai membangun Midden Stad (Kota Tengah), yang membentang dari kawasan Sikatan sampai Genteng, untuk pusat pemerintahan dan bisnis; sedangkan Boven Stad (Kota Atas), yang membentang dari jurusan selatan Genteng hingga kawasan Darmo, sejuk, nyaman dan letaknya lebih tinggi dari kawasan Cantikan dan sekitarnya, ditujukan untuk pemukiman elit. Penasehat Surabaya Heritage, Edi Simon, mengatakan bahwa pembangunan Surabaya pada waktu itu sudah memperhitungkan peruntukan kawasan. Tanda sebagai pusat bisnis terlihat dari beberapa gudang dan kantor yang tersisa di kawasan Sikatan, selain itu sisa-sisa pusat niaga masa lalu masih ada di kawasan Tunjungan, sebagian lainnya punah karena pembangunan.
Masyarakat sekarang tak bisa lagi menyaksikan tembok pembatas Oude Stad dan Belvedere (benteng pertahanan) di sisi barat Kalimas yang dibangun Cornelis Speelman. Bangunan yang bisa dikomersialkan atau bermanfaat bisa bertahan, seperti House of Sampurna, Kantor Bank Mandiri di sudut Jl. Pahlawan, Hotel Majapahit, dan Rumah Sakit Darmo dapat terjaga, dilestarikan dan dimanfaatkan, meskipun mengalami alih fungsi; sedangkan pendapa bekas Keraton Kanoman Surabaya juga beralih fungsi menjadi pendapa di Kompleks Taman Budaya Jawa Timur karena memiliki ciri lokal yang menimbulkan rasa kepemilikan penduduk dan bernilai wisata.
Selain itu, Pintu Air Jagir bisa bertahan karena bermanfaat untuk mengendalikan Sungai Kalimas dan dianggap sebagai penanda keberhasilan Raden Wijaya: tempat pintu berdiri dipercaya sebagai tempat Raden Wijaya berhasil memukul mundur pasukan Tar-Tar pada 31 Mei 1293. Sementara sebagian pertokoan di kawasan Tunjungan, Kafe Kadet Pelaut di sudut Jl. Kramat Gantung dan bekas Stasiun Kota hilang. Kehancuran Stasiun Kota adalah ironis, karena bangunan itu termasuk satu dari 100 (seratus) bangunan cagar budaya Surabaya sejak 1998, dengan SK Walikota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04/1998, yang tidak kuat cukup menahan desakan buldoser untuk merobohkan sebagian besar bangunan. ”Sejarah bukan perkara bangunan kuno dan tua semata. Namun, pada bangunan tua dan kuno terekam jejak peradaban. Sekali terhapus, jejak akan hilang tanpa bekas.”
III. 2. Semarang
Sebagai kota peninggalan kolonial, Semarang memiliki bangunan-bangunan kuno, yang tidak saja bersejarah melainkan juga bermutu arsitektural tinggi seperti Gereja Blenduk (gereja Kristen tertua di Jawa Tengah, dibangun sekitar 1742-1753) yang menjadi land mark Kota Lama, Stasiun Tawang (stasiun kereta utama, diresmikan pada tahun 1914), Pasar Johar (dibangun sekitar 1933), dan Lawang Sewu (dibangun sekitar 1904-1908) di kawasan Tugu Muda.
Selain bangunan-bangunan peninggalan Belanda di Kota Lama yang disebut Little Netherlands, Semarang memiliki bangunan bersejarah di bagian barat kota dengan arsitektur khas Cina yang disebut Sam Poo Kong atau Gedong Batu (bangunan dari batu yang dibangun sejak dibebaskan oleh Oei Tjie Sien, Oei Tiong Ham, saudagar kaya Semarang) sebagai dedikasi kepada Laksamana Cheng Ho, seorang Cina muslim yang datang pertama kali pada tahun 1406. Ada pula Klenteng (kuil tempat peribadatan) Cina Buddha, Tay Kak Sie di Jalan Lombok, kawasan Pecinan, yang dibangun pada tahun 1772 .
Bangunan-bangunan kuno bersejarah telah lama menjadi korban pembangunan berorientasi capital power, sejak Kanjengan (Rumah Bupati Semarang) dihancurkan untuk menjadi Kanjengan Shopping Center, disusul oleh eks Stasiun Jurnatan (stasiun kereta api pertama di Indonesia) menjadi ”Pusat Pertokoan Jurnatan” (Budihardjo, 1997: 126) dan belakangan gedung ”Gris” (sedang dibangun menjadi kompleks Paragon City).
Pada tahun 1992, Pemerintah Kota Semarang mengeluarkan SK Walikota 650/50/1992 untuk 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi. Pada tahun 2006, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang melansir 325 bangunan kuno yang perlu dikonservasi berdasarkan kriteria usia bangunan di atas 50 tahun.
Wilayah Kota Lama oleh Pemerintah Kota Semarang dijadikan area konservasi dan Wali Kota Semarang Soetrisno Suharto pada 1999 memasang paving block jalan-jalan dan memasang lampu-lampu dengan desain seperti di Belanda. Selanjutnya, pada September 1993 ke luar Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang No. 16 Th. 2003 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Kota Lama. Dengan Perda itu Pemkot Semarang bertekad menjadi Kota Lama sebagai kawasan wisata budaya: penataan ruang dan pengembangan kawasan itu diupayakan menyerupai aslinya, bentuk bangunan dan nama jalan akan dikembalikan seperti pada masa kolonial; tapi aturan itu belum efektif: bangunan-bangunan lama masih nampak lusuh, kadang dengan coretan-coretan liar menghiasi tembok gang-gang kumuh, dan pada malam hari terlihat jalan-jalan yang remang-remang dan lengang karena sarana penerangan sering tak berfungsi. Hanya area di sekitar Gereja Blenduk yang berhias taman, yang berhadapan dengan kantor cabang Asuransi Jiwa Sraya yang bersih, tertata rapi dan nyaman dikunjungi.
Di antara benda-benda cagar budaya penting di Semarang, upaya-upaya pelestarian dilakukan terhadap Lawang Sewu yang tengah dalam pemugaran dan, untuk mengatasi rob dan kekumuhan, Pasar Johar menunggu penataan, sedangkan Stasiun Tawang tengah ditinggikan. Peristiwa budaya penting juga belum lama terjadi, yaitu ditemukannya peninggalan arkeologis Benteng Kota Lama (de Vijfhoek van Semarang) yang dibangun pada tahun 1686 dan selesai pada 9 Juni 1705, dan perluasannya disebut lebih besar dari pada benteng VOC di Batavia.
III. 2. 1. Pemanfaatan Lingkungan Kota Lama
Kota Lama layak dimanfaatkan untuk kawasan konservasi bangunan kuno dan tujuan wisata dengan membenahi lingkungannya terutama dengan city walk, tempat pengunjung bisa menikmati bangunan-bangunan berarsitektur Belanda yang unik dan bermutu, mempelajari desain-desain arsitektural, belajar sejarah dan mengenang masa kolonial. Makna-makna setiap benda peninggalan budaya yang sudah digali dan dipelajari agar diperdalam dan diperluas sebagai bahan untuk pengembangan kebudayaan dan kawasan quality tourism yang menyediakan pengayaan pengalaman dan wawasan.
Dengan paradigma quality tourism, kawasan ini juga dapat dimanfaatkan untuk laboratorium hidup (living laboratory) dan laboratorium lapangan (field laboratory) bagi pengembangan studi ilmu arsitektur, ilmu konservasi, ilmu sejarah, ilmu politik, dan ilmu pariwisata serta ilmu budaya yang lebih luas. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lingkungan Kota Lama kiranya harus dilakukan untuk menggali potensi-potensi budaya dan ekonomi yang mereka simpan sebagai energi sosial-budaya dalam perencanaan dan pengelolaan pariwisata.
III. 2. 2. Pasar Johar
Pasar Johar yang dibangun pada tahun 1930an masih tetap dibutuhkan masyarakat untuk berjual-beli barang kebutuhan sehari-hari, berdagang eceran berbagai kebutuhan masyarakat. Penataan Pasar Johar untuk pemanfaatan berkelanjutan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan dan paradigma berbasis masyarakat (community based approach and paradigm), terutama masyarakat pedagang pengguna Pasar Johar, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi (misalnya dengan Participatory Urban Market Appraisal), dan dengan upaya teknis lingkungan mengatasi rob yang terus mengganggu.
Pasar Johar juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan penelitian dan menyelenggarakan laboratorium hidup (living laboratory), misalnya untuk mempelajari ilmu ekonomi bisnis usaha kecil dan menengah, ilmu ekonomi keluarga, ilmu arsitektur, perencanaan kota dan desain bangunan kolonial bermatra tropis.
III. 2. 3. Stasiun Tawang
Tak bisa tidak, Stasiun Tawang tetap dimanfaatkan sebagai stasiun kereta api utama antar kota, antar provinsi, dengan penanganan yang serius untuk mengatasi genangan air dari rob yang sangat mengganggu, tapi tetap menjaga nilai bangunan kuno dengan arsitektur yang khas, indah dan bermutu, serta mengindahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Mengenai pemugaran dan peninggian kompleks Stasiun Tawang kiranya yang harus diperhatikan dan dijalankan adalah Bab IV, Pasal 15 yang berbunyi: 1. Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.
IV. Penutup
Setidak-tidaknya sejak 1970an benda cagar budaya di sejumlah kota dan daerah mengalami pembongkaran, penggusuran, rusak, terlantar, hilang, dan mengalami alih fungsi. Dapat dipastikan kasus-kasus tragedi benda cagar budaya yang terjadi di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang disampaikan dalam tulisan ini. Kiranya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan perlunya melindungi, menghargai, melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkrit implementasinya, dengan partisipasi masyarakat.*
Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko. Cetakan I 1983, cetakan III 1991. Arsitektur dan Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
_______, Editor. 1997. Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Jakarta: Djambatan.
Jokilehto, Jukka. 2002. A History of Architectural Conservation. Oxford: Butterworth Heinemann.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jakarta, 21 Maret 1992, Presiden Republik Indonesia, Soeharto.
Sumber-Sumber Lain
Dari Kompas dan Suara Merdeka, Mei-Juni 2009.
Kamis, 14 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)